Jumat, 28 April 2017

Biodata Aris Primasatya Zebua



Nama lengkap
ARIS PRIMASATYA ZEBUA.

Tempat dan tanggal lahir
Gunungsitoli, xx Ju*i 19xx. 
Tumbuh besar, meski badan tidak tinggi, sampai SMA di Desa Luaha Laraga (Kalau belum tahu daerahnya, silakan cek di google map ya. Sudah ada lho....)

Alamat
Saat ini tinggal di Cibinong, Bogor. Ke depannya mungkin bisa berpindah-pindah. Sebelum di Cibinong, saya tinggal di Cawang, Jakarta Timur. Sebelumnya lagi tinggal di desa.

Pendidikan
Tahun 2014 - 2016, saya menyelesaikan studi S2 jurusan administrasi pendidikan dan memperoleh gelar magister pendidikan (M.Pd) di Program Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia.

Tahun 2005 - 2009, saya mengambil sudi S1 jurusan pendidikan fisika dan memperoleh gelar sarjana pendidikan (S.Pd) di Universitas Kristen Indonesia.

Tahun 2002 - 2005, bersekolah di SMA Negeri 3 Plus Gunungsitoli, Nias.

Tahun 1999 - 2002, bersekolah di SMP Swasta Pembda 1 Gunungsitoli, Nias.

Tahun 1993 - 1999, bersekolah di SD Negeri 074038 Tohia, Gunungsitoli, Nias.

Pernah juga mengalami masa taman kanak-kanak di TK Hanna Blindow.

Karier
Setelah lulus S1, bekerja di lembaga bimbingan belajar khusus sains yaitu Galileo Junior hingga tahun 2011. Dulu sebagai pengajar sains dengan metode eksperimen sederhana dan pengembang program pengajaran sains untuk anak.

Tahun 2011 - sekarang, saya mengajar di Sekolah Eka Wijaya Cibinong sebagai guru fisika dan matematika tingkat SMA.

Hobi
Saya suka membaca buku. Untuk komitmen baca, saya selalu menyisihkan penghasilan untuk membeli minimal satu dua buku sebulan. Membaca adalah manifestasi berpikir. Buku yang dibaca bervariasi - novel, cerpen, filsafat, ilmu pengetahuan, buku rohani, dll. Selain baca buku, kadang-kadang, saya bermain gitar. Gitar pinjaman hahaha.

Tulisan
Beberapa tulisan sederhana saya dapat dibaca dan/atau di-download di academia edu

Saya juga aktif di media sosial seperti facebook, twitter dan tumblr. Tumblr itu tempatku menulis puisi dan curhatan lainnya. Sekarang sudah punya akun instagram (Aku agak ketinggalan soal ini). 

(Edited, 14/3/2019)

Rabu, 05 April 2017

Atas Nama Agama

Menanggapi kekerasan atas nama agama, serta pelarangan beribadah, aku teringat sebuah kalimat pembuka suatu buku: "Pada mulanya manusia menciptakan Tuhan yang menciptakan langit dan bumi". Sebenarnya kalimat itu merupakan kritik terhadap orang yang percaya pada Tuhan. Manusialah yang menciptakan Tuhan. Manusialah yang berkuasa. Oleh karena itu, sekelompok orang yang merasa paling benar berhak menindas orang yang tak sepaham dengan mereka. Melarang orang lain beribadah sebab mereka telah menciptakan tuhannya sendiri. Tuhan yang mereka inginkan adalah tuhan yang melarang orang lain beribadah — tuhan yang memaksa. Bukan Tuhan yang penuh belas kasih dan adil. 

***


Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Allah juga yang menciptakan manusia. Jadi, Allah adalah mahakuasa. Dan di hadapan Allah semua manusia adalah sama. Jika memiliki paham seperti ini, maka manusia sebenarnya tidak berhak menghakimi sesamanya, apalagi menindas. 


Selanjutnya, keyakinan pada suatu kebenaran bukanlah kebenaran itu sendiri. Berteriak "BENAR" dengan keras pun tidak membuktikan sesuatu benar. Hanya satu, satu-satunya, Pribadi yang berkata, "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup..." yaitu Tuhan Yesus Kristus. Tidak ada tokoh, bahkan nabi besar, yang pernah berkata demikian, sebab mereka tahu mereka hanyalah manusia biasa.

Lalu bagaimana menanggapi orang yang berbeda agama dgn kita? kenalkanlah mereka pada kebenaran, yaitu Yesus Kristus. Bukan ditindas seperti yang dilakukan sekelompok orang tertentu.

Intoleransi

Mengapa intoleransi ada?

Salah satu masalah bangsa kita adalah adanya kelompok intoleran yang sulit sekali "dibasmi". Tapi mengapa bisa terjadi?

Sebuah analisis dari seorang tokoh pendidikan kritis, Paulo Freire, mengenai hal ini. Pertama, adanya ketidakamanan (baik psikologis, emosional, politis, ideologis, dan ilmiah). Gabungan ketidakamanan ini membuat seseorang memilih posisi sektarian, artinya membangun tembok di sekitar dan diterima sebagai satu-satunya kebenaran, lalu memaksa orang lain menerapkannya demi pembebasan mereka. Tapi, karena belum yakin betul mengenai kebenaran itu, maka orang lain dilarang mempertanyakannya.

Kedua, lemahnya kepercayaan terhadap orang lain. Orang lain dianggap tidak mampu melakukan sesuatu yang luar biasa. Tidak mampu menciptakan sejarah. Ini juga bisa terjadi karena ketakutan pada reaksi orang lain. Tidak siap menerima kritik atau risiko.

Mungkin inilah yang terjadi di bangsa kita. Ketidakstabilan dalam berbagai bidang melahirkan kelompok-kelompok yang menganggap diri sebagai pembebas. Kebenaran versi kelompok tertentu dijadikan satu-satunya jalan keluar. Ketika ada kelompok lain yang berseberangan paham, maka dianggap pengganggu—yang harus dilawan dan dimusnahkan. Sayangnya, kelompok intoleran ini tidak siap dengan reaksi atau kritik dari orang lain. Sehingga mereka makin giat membangun tembok mereka sendiri sambil menghancurkan tembok orang lain.