Senin, 19 November 2018

Gen

Kepadamu,
hanya kepadamu kutuliskan ini.

Gen di dalam tubuhku ingin melestarikan diri. Gen yang diwariskan padaku ini ingin kuwariskan pula kepada keturunanku kelak. Hanya saja aku belum menemukan seorang pasangan untuk mewariskannya. Hingga suatu hari aku bertemu kamu.

Ketika bertemu kamu, gen di dalam diriku memilihmu. Ia seolah berkata padaku bahwa kamulah perempuan yang tepat dan terbaik untuk berbagi dan melestarikan diri. Semua kualitas terbaik ada padamu. Itulah yang dikehendaki oleh gen yang kumiliki. Sehingga anak-anak kita kelak mewarisi gen terbaik yang kaumiliki.

Ketika bertemu kamu, gen di dalam diriku membuat mataku jatuh hati padamu. Ia menggetarkan dadaku lewat degup jantung. Sehingga aku bisa mendengar darah mendesir di telingaku. Singkatnya, ia membuatku menyukaimu. Inilah asal-usul jatuh cintaku padamu.

Jadi, perasaan jatuh cinta ini, yang padamu kuungkapkan, memiliki cerita yang jauh lebih mendalam dari dalam diriku. Ini berasal dari gen yang ingin lestari di alam semesta ini. Ini menyangkut kehidupan di alam semesta.

Maukah kau membagi kualitas yang ada padamu untukku? Maukah kau melestarikan gen kehidupan ini bersamaku? Maukah kau menjadi teman hidupku?

Dariku,
yang sedang jatuh cinta padamu
Cibinong, 20/11/2018

Minggu, 11 November 2018

(Tidak) Bekerja?

Hai, kamu yang spesial di hatiku. Apa kabar?

Aku agak ragu ada yang mengunjungi blogku ini. Tapi tidak mengapa kalau menyapa sesekali demi sopan-santun. Lagian aku jarang sekali mengucapkan salam dalam tulisan-tulisanku.

Kali ini aku ingin bercerita tentang sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan kerjaku. Eh sebaliknya, kehidupan 'tanpa-pekerjaan'ku. Jadi, siapkan telinga untuk membacanya.

Aku memutuskan keluar dari pekerjaanku bulan April yang lalu sambil menyerahkan surat pengunduran diri. Aku resmi mengundurkan diri pada bulan Juni yaitu akhir tahun pelajaran 2017/2018.

Mulai bulan Juli hingga awal November ini, aku belum mendapatkan pekerjaan baru. Ada tiga tawaran pekerjaan, namun ketiganya belum 'tepat'  bagiku.  Aku memang tidak sembarang memilih pekerjaan terutama bila tidak sesuai dengan passion. Lagipula setelah tujuh tahun menjadi guru di sebuah sekolah plus setahun di lembaga sains, tidak ada salahnya untuk 'beristirahat' sejenak.

Sudah 4 bulan 13 hari (per tanggal 13 november) aku jadi pengangguran. Aku mulai merasakan bosan, agak stres, dan malu. Aku malu pada diriku sendiri dan kepada orang-orang di sekitarku. Apalagi kepada mantan rekan kerjaku karena aku tinggal dekat sekolah yang kutinggalkan. Aku malu karena aku sudah bergelar magister tapi nyatanya susah cari kerja.

Aku makin memahami bahwa manusia membutuhkan pekerjaan. Hakikat manusia ada di dunia ini adalah bekerja. Tidak ada manusia yang tahan bila sepanjang hidup tidak mengerjakan apa-apa. Bahkan sering kuamati orang lain menyibukkan diri agar dirinya bermakna. Meskipun apa yang dikerjakannya tidak terlalu penting atau bahkan membuat orang lain tidak nyaman. (pelajaran I)

Hal lain yang kupelajari adalah rasa malu itu sendiri. Di atas aku mengatakan bahwa aku malu pada diriku sendiri dan orang lain. Mengapa aku malu juga sudah sampaikan di atas. Namun, jauh lebih dalam, di dasar hati, aku merasa malu karena kebanggaan diriku telah kuletakkan di atas pekerjaan. Ukuran harga diriku dilihat dari pekerjaan yang kulakukan. Aku ingin orang lain melihat itu. Aku ingin mengatakan pada semua orang: 'Ini aku, aku punya pekerjaan', 'aku bukan pengangguran', dlsb. Perasaan ini semakin kuat ketika ada teman bercerita tentang pekerjaan mereka. (pelajaran II)

Aku yakin bukan hanya aku yang mengalami hal ini. Ada pula orang yang sudah bekerja dan masih saja tidak puas dengan pekerjaannya. Tidak puas karena gaji yang didapat sedikit, pekerjaan tidak sesuai keahlian, pekerjaan tidak sesuai minat, dll. Selain itu banyak orang tidak percaya diri dengan pekerjaan yang dimilikinya. Sehingga selalu memikirkan untuk mencari pekerjaan lain yang, katanya, lebih pas di hati. Tetapi, tetap bertahan dengan alasan menyambung hidup.

Menurutku, tidak ada manusia yang benar-benar bahagia dengan pekerjaannya. Pekerjaan apa pun. Karena ada masanya orang mengalami jenuh dan bosan, bahkan sekalipun sudah di puncak kesuksesan. Tubuh manusia awalnya memang diciptakan sempurna—yang dengannya manusia bisa bahagia. Namun, kejatuhan manusia dalam dosa membuat relasi manusia dengan Tuhan menjadi retak. Dan inilah pangkal ketidakbahagiaan manusia. Ia terlepas dari sumber kehidupan sejati, Tuhan.

Lalu apa yang harus kulakukan? Pertama, tetap percaya kepada Tuhan. Penyertaan Tuhan sungguh sempurna. Kedua, tetap berusaha mencari pekerjaan. Buang semua kekhawatiran. Ketiga, pertahankan visi: diberkati untuk menjadi berkat. Pekerjaan bukanlah yang utama. Ambisi bekerja jangan untuk keuntungan pribadi saja.

Bulan Agustus lalu aku sempat dipanggil untuk wawancara kerja di sebuah yayasan di bagian program pendidikan. Yayasan ini menaungi puluhan sekolah di Kalimantan dan Riau. Saat wawancara berlangsung aku mendapati bahwa visi yayasan tersebut tidak sejalan denganku. Selain itu, ini alasan utamaku tidak bersedia, yaitu yayasan ini bernaung di bawah perusahaan kelapa sawit. Penempatan kerjanya di tengah perkebunan di Kalimantan sana. Padahal dalam informasi lowongan (iklannya) penempatan Jakarta Selatan. Kalau di sini saja mereka tidak konsisten, tidak ada jaminan ke depannya akan baik-baik saja. Posisi yang ditawarkan yayasan ini sesungguhnya sesuai dengan passion-ku.

Sedikit cerita tambahan untuk paragraf di atas yaitu ketika aku bercerita kepada seorang senior mengenai wawancaraku. Saat dia mendengar 'perusahaan sawit', wajahnya mengungkapkan ketidaksetujuan. Ia pun menyampaikan pandangannya tentang itu sambil menyarankanku untuk tidak menerima pekerjaan tersebut (memang tidak jadi). Alasannya adalah kerusakan lingkungan yang semakin parah akibat sawit. Aku setuju tentang itu.

Hanya saja, pertimbangan awalku melakukan wawancara adalah 'ini kan yayasan yang mengurusi sekolah (pendidikan), tidak langsung bersentuhan dengan sawit'. Setelah kupikir-pikir, 'untung aku tidak menerimanya' karena akan sama saja mendukung perkembangan/perluasan perusahaan yang dimaksud. Secara tidak langsung ikut memperparah kerusakan lingkungan. Seandainya aku tidak memiki visi dan nilai lingkungan, mungkin aku menerima begitu saja demi 'menyambung hidup'.

Hal berikutnya yang kupelajari adalah selama tidak bekerja aku semakin bijaksana mengatur keuangan. Pengeluaran terjadi hanya untuk hal yang sangat penting dan mendesak. Ini tidak berarti aku membatasi diri juga untuk 'menikmati hidup'. Aku masih bisa berpergian, belanja buku (ini sih wajib), makan-makan bersama teman, ganti hape, dlsb. Bedanya, aku menggunakannya tepat sasaran. Tidak untuk berfoya-foya. Setiap pengeluaran kucatat di catatan pribadi seperti yang biasa kulakukan. Hasilnya pengeluaranku menurun tajam. (pelajaran III)

Selama bekerja jarang sekali seseorang menghitung pengeluaran karena pastinya di akhir bulan bakal gajian. Kalau pun hitung-hitungan, itu untuk jaga-jaga agar dompet jangan sampai jebol di minggu pertama. Bukan untuk menjaga agar pengeluaran dimanfaatkan semaksimal mungkin. Makanya tidak heran kalau ada orang lebih memilih naik transportasi online (yang notabene lebih mahal)  padahal sebenarnya masih memungkinkan untuk menggunakan transportasi umum. Alasannya, 'toh duit masih ada kok'. Mungkin inilah yang dialami oleh ibu-ibu yang sudah punya anak; hemat maksimal.

Memiliki banyak waktu untuk refleksi, pelayanan,  dan mendoakan banyak orang. Delapan tahun bekerja ternyata membuatku berada dalam zona nyaman. Selama ini aku tidak menyadarinya. Sebab sedikit sekali waktu untuk berefleksi. Waktu-waktu berharga inilah yang kupakai untuk mengevaluasi seluruh pekerjaanku. Ternyata, selama ini aku bekerja dengan tujuan membangun kerajaanku sendiri. Pelayanan rohani yang kulakukan seringkali hanya jadi selubung kedalaman hatiku. Kadang sebagai pelarian saat jenuh kerja. (pelajaran IV)

Pemahaman di atas tidak muncul begitu saja. Ada yang kuperoleh dari perenungan pribadi, khotbah di gereja, ibadah alumni, kamp tahunan alumni, GCLC, KPM, hingga lagu rohani. Ya, banyak alumni membangun kerajaan sendiri. Semakin jauh dari persekutuan. Bahkan ada yang sudah meninggalkan Tuhan. Kasih mula-mula yang pernah dialami selama kuliah menguap begitu saja. Mereka terpesona indahnya dunia. Aku bersyukur Tuhan menangkapku dan memelihara hidupku. Hingga sekali pun aku menjauh, Ia membawaku kembali pada-Nya.

Keputusanku berhenti bekerja di tengah jalan tanpa jaminan 'sudah mendapat pekerjaan baru' memang tergolong nekat ketimbang disebut sebagai langkah iman. Bagi sebagian orang mungkin dianggap kebodohan. Bahkan aku sendiri pernah berpikir bahwa aku mengambil keputusan yang salah.

Tentang salah ambil keputusan, aku diingatkan oleh Firman (lagi-lagi ini bukan pencerahan yang tiba-tiba muncul di kepalaku) bahwa aku adalah domba yang bodoh. Ketika rumput di depanku habis, bukannya bergeser ke tempat lain, malahan aku memakan tanah di depanku. Aku tidak bisa melihat lebih jauh ke depan. Namun, aku percaya Tuhanku adalah gembala yang baik. Ia menuntunku ke padang yang berumput hijau dan membimbingku ke air yang tenang. Apa yang perlu kutakutkan? Apa yang harus kukhawatirkan? Seharusnya tidak ada lagi.

Aku sudah 8 tahun bekerja dan baru 4 bulan aku menganggur. Harusnya aku bersyukur. Jarang orang memilih langkah ini. Umumnya kerja terus bagai kuda (Pesan: jangan mau diperbudak pekerjaan!). Tapi kedaginganku kadang melemahkan imanku. Khawatir, cemas, dan malu adalah perasaan yang benar-benar ada. Aku tidak menyangkalinya. Perasaan negatif ini harus kusingkirkan. Oleh karena itu, aku sangat butuh pertolongan Roh Kudus untuk membimbingku melakukan kehendak Tuhan.

Jangan tanya soal keuanganku? Kalau aku masih bisa menulis ini dan memostingnya di blog ini, artinya kuota internet masih ada, hehehe. Bukan itu poinnya. Aku percaya Tuhan-lah yang memenuhi kebutuhanku. Ia memelihara hidupku dengan sempurna. Aku hanya perlu bergantung penuh pada-Nya.

Tuhan, tolonglah aku yang tidak percaya ini!

Catatan: Renungan Ibadah Minggu

Kali ini aku akan membagikan sebagian khotbah yang kunikmati minggu tanggal 11-11-2018. Tema khotbahnya tentang persembahan. Bagian yang dibahas adalah cara hidup para ahli Taurat versus persembahan janda miskin. Untuk lebih jelas silakan baca Markus 12:38-44.

Cara hidup ahli Taurat memperlihatkan pada kita bahwa jubah yang mereka kenakan tidak berarti hidup mereka benar. Mereka terlihat seperti seorang cendekiawan atau hartawan, padahal mereka merampas rumah janda-janda. Cara hidup yang menipu orang lain lewat penampilan. Jangankan memberikan persembahan kepada Tuhan, malahan mereka merampas orang miskin. Kelak mereka akan dihukum lebih berat.

Refleksi dari cara hidup ahli Taurat: apakah aku selama ini menipu orang lain lewat penampilanku? Apakah hidupku berintegritas; tidak hanya tahu Firman Tuhan tapi juga melakukannya dalam keseharianku?

Memberi persembahan karena kemampuan memberi. Itulah kebiasaan orang percaya pada umumnya. Tidak seperti janda miskin memberikan seluruh yang ada padanya. Tuhan Yesus sendiri loh yang memberikan penilaian terhadap janda miskin tersebut. Orang percaya tentu pernah mendengar ini alias bukan hal baru. Refleksi: bagaimana aku memberi persembahan? Apakah didasari oleh rasa syukur?

Bagaimana dengan jemaat saat ini? Inilah yang menarik. Pendeta menyampaikan bahwa kebiasaan jemaat saat ini adalah memberikan persembahan karena kemampuan. Bukan didasari oleh rasa syukur yang melimpah. Atau sebaliknya, enggan memberi karena merasa 'kebutuhan sehari-hari saja masih kurang'. Kehadiran di gereja tiap minggu pun hanya sekadar rutinitas belaka. Rasanya ada yang janggal kalau tidak ke gereja. Ini adalah kritik bagi umat Tuhan.

Gedung gereja juga tidak lepas dari kritikan sang pendeta di mimbar. Terlepas dari izin pembangunan gereja yang agak rumit di negeri ini, bangunan gereja yang telah ada terlihat berlomba-lomba dalam kemewahan. Jemaat akan protes kalau AC rusak sehingga bikin panas, lahan parkir diisi oleh mobil-mobil mewah, dekorasi interior gereja harus 'wow', dlsb. Ketika pendeta menyampaikan bagian ini, di benakku muncul: bagaimana bila tiba-tiba ada seorang pemulung datang beribadah ke gereja saat itu (sambil meletakkan keranjang sampahnya di luar)? Apakah penerima tamu mengizinkannya masuk?

Melihat gedung gereja yang mentereng membuat sebagian orang ragu, merasa tidak pantas, atau minder memasukinya. Ditambah barisan mobil di parkiran. Gereja telah menjadi tempat bagi mereka 'kelas atas'. Gedung besar berpagar, interior mewah, musik yang membahana, tidak membuat orang semakin rindu beribadah. Malah sebaliknya, merasa tidak layak untuk datang.

Pertanyaan kembali muncul di kepalaku: kalau kondisinya begitu, bagaimana gereja bisa menjadi berkat? Jangan-jangan gereja telah menjadi representasi ahli Taurat masa kini? Penampilan fisik lebih diutamakan. Tugas mencari jiwa dinomorduakan. Biarkan Tuhan yang menilai.

Dari khotbah minggu itu aku ingat sebuah anekdot. Begini:

Seorang istri mengajak suaminya bergereja. Biasanya si suami malas ke gereja. Tapi berkat usaha istrinya, ia pun datang. Di tengah ibadah, tiba-tiba handphone si suami berdering. Ia lupa mematikannya. Hampir semua mata tertuju pada si suami termasuk sang pendeta di mimbar. Mata menghakimi dan menyalahkan. Sang istri merasa malu atas peristiwa tersebut. Sepulang dari gereja, si istri memarahi suaminya.

Suatu ketika si suami mampir ke bar. Ia meminum bir banyak sekali sehingga membuatnya mabuk dan muntah. Muntahannya mengotori meja dan lantai. Tapi sang pramusaji tidak memarahinya. Malah berlaku ramah terhadapnya dan berkata bahwa semuanya baik-baik saja. Sambil terus melayaninya dengan ramah. Seorang pelayan membersihkan meja dan lantai yang kotor. Sang suami merasa betah di sana.

Anekdot ini kubaca dari sebuah media online yang aku lupa alamatnya. Menurutku, cerita tersebut mewakili kondisi gereja saat ini. Gereja mesti berubah. Agar Tuhan semakin dimuliakan.

Selasa, 06 November 2018

Mengamati Kinerja Guru*

Pada kesempatan ini, saya menuliskan pengamatan sederhana saya tentang pengukuran kinerja guru. Pengukuran kinerja guru pada kenyataan tidak membawa perubahan signifikan pada kualitas pendidikan kita. Malahan survei baru-baru ini mengungkapkan bahwa peringkat anak Indonesia semakin menurun secara global. Ini bisa berarti bahwa guru kurang berhasil mencerdaskan anak bangsa. Guru adalah ujung tombak pendidikan. Meskipun demikian, tulisan ini hanya sekadar opini dan subjektif.
Awalnya tulisan ini hanya catatan pribadi. Aku suka menuliskan unek-unek tentang apa saja termasuk pekerjaanku. Aku punya prinsip bahwa untuk belajar menulis, ya, banyaklah dan seringlah menulis. Kualitas nanti saja. Kuantitas mendahului kualitas. Nah, daripada tulisan ini tersimpan begitu saja di laptop, lebih baik membagikannya kepada khalayak.
Saya memulainya dengan sebuah kalimat: pengamatan itu sendiri mengganggu fenomena yang terjadi. Ini adalah asas ketidakpastian Heisenberg dalam fisika. Namun, dalam tulisan ini saya tidak akan membahas fisika. Mungkin saja kalimat tersebut bisa digunakan untuk bidang pendidikan. Barangkali.
Langsung saja, saya pernah dipercayakan untuk mengamati rekan guru mengajar. Awalnya tidak nyaman karena setiap guru memiliki privasi tersendiri saat di dalam kelas. Tapi, karena ini adalah tugas, maka saya pun melaksanakannya. Tujuan berada dalam kelas sambil mengamati rekan guru adalah dalam rangka supervisi untuk melakukan penilaian kinerja guru.
Saya mengamati setiap aktivitas di dalam kelas termasuk kelengkapan administrasi guru. Beberapa hal yang dapat kubagikan tentang kegiatan supervisi ini.
Setiap guru mempunyai gaya tersendiri saat mengajar. Bisa dikatakan sebagai ciri khas seorang guru. Menariknya adalah aku sendiri makin melihat begitu banyak ciri khas yang selama ini aku tidak miliki. Ini memperkaya pengetahuanku akan variasi mengajar di kelas. Tentu ini menambah referensiku dalam mengembangkan diri di dunia belajar mengajar.
Umumnya guru akan merasa terganggu bila ada orang lain yang memerhatikannya mengajar di kelas. Ketika berada dalam kelas guru serasa menjadi 'raja'. Keberadaan orang lain akan menjadi 'ancaman' yang membuat tidak nyaman. Seakan-akan wilayahnya direbut oleh musuh.  Atau, serasa dirinya ditelanjangi.  Keberadaan orang lain membuat tidak percaya diri, terlebih bila yang berkunjung adalah pimpinan atau pengawas sekolah. Ini semakin membuat gugup.
Sebaliknya, seorang guru jarang sekali mengunjungi kelas lain untuk mengamati rekannya mengajar dengan tujuan untuk belajar. Jarang sekali melakukan studi banding ke kelas di mana rekan guru sedang mengajar. Bahkan mungkin tidak pernah sama sekali. Menurutku, penyebabnya adalah setiap guru sudah merasa kompeten sehingga tidak perlu belajar dari sesama guru. Bisa pula karena gengsi. Apalagi kalau sudah berstatus guru 'senior'.

Minggu, 28 Oktober 2018

Mendambakan Berkat

Siapa di antara kita yang tidak suka mendapat berkat? Saya pikir tidak ada. Semua orang menginginkan hidupnya selalu diberkati. Baik kesehatan, kebutuhan sehari-hari, kepandaian, dlsb.

Setiap orang mengharapkan dirinya diberkati. Bahkan kalau bisa selama hidup ini tidak merasakan penderitaan. Kenyataannya tidak seperti itu.

Apakah berkat selalu membuat kita bahagia dalam hidup ini? Nyatanya tidak. Hal ini ditunjukkan oleh orang Israel ketika mengembara di padang gurun selepas keluar dari tanah Mesir. Orang Israel menerima Manna setiap hari. Roti dari surga itu diterima dengan cuma-cuma tanpa perlu bekerja terlalu keras (Bilangan 11:1-11). Itu adalah berkat yang sangat besar.

Di zaman yang serba susah ini, orang-orang tentu sangat ingin bila ada makanan yang diperoleh secara gratis. Tanpa perlu bekerja keras. Orang Israel malah sebaliknya. Mereka mengharapkan berkat lebih. Mereka bosan dengan Manna. Mereka menginginkan daging, meskipun harus kembali ke Mesir; kembali ke perbudakan.

Mengapa bisa seperti itu? Karena mereka mendambakan berkatnya. Bukan Sang Pemberi Berkat yaitu Allah semesta alam. Mereka tidak bersyukur.

Secara ilmiah manusia memang tidak pernah bisa dipuaskan. Ketika manusia merasa bahagia karena sesuatu, maka di lain waktu sesuatu tersebut tidak lagi membuatnya bahagia. Seperti lelucon yang diulang-ulang, tak akan lagi terasa lucu. Begitulah kira-kira.

Agar kita bisa merasakan bahagia, maka datanglah kepada Sang Pemberi Berkat. Kepada Allah semesta alam. Jika dan hanya jika kita berada dalam Tuhan, maka kita akan merasakan hidup yang penuh berkat.

Berkat tidak selalu sama dengan materi atau benda. Hati yang damai,  hidup yang aman dan tenteram,  adalah juga termasuk berkat. Dan berkat terindah adalah keselamatan dari Allah melalui Tuhan Yesus. Tidak seorang pun dapat memberikan berkat yang terakhir ini; bahkan tokoh agama besar sekali pun.

Yesus memerintahkan murid-murid-Nya untuk tinggal di dalam-Nya. "Jika kamu hidup tinggal di dalam-Ku, " kata Yesus, "maka kamu akan berbuah." Perintah ini berlaku juga pada kita orang percaya, orang kristen. Kita akan menghasilkan buah. Buah itu akan dinikmati juga oleh orang lain. Diberkati untuk menjadi berkat. Tujuannya adalah agar orang lain melihat Tuhan melalui hidup kita.

Jadi, hidup seorang kristen bukanlah mendambakan berkat, tapi tinggal di dalam Yesus.

Orang yang sibuk mencari berkat tidak akan pernah merasa bahagia dalam hidupnya. Tetapi orang yang tinggal di dalam Yesus, akan berbuah banyak.

Sabtu, 27 Oktober 2018

Sampai kapan

kau biarkan aku bertanya-tanya
sementara hangatnya cinta ini terus 'ku jaga
sampai kapan
aku tak tahu.

barangkali aku harus menghibur diri
dengan bernyanyi bersama hujan di luar sana
sambil berharap cinta ini
tetap membara.

bila nanti akhirnya kita bertemu
seluruh tanyaku akan 'ku simpan dalam hati
sebab menemuimu cukup bagiku.

entah nanti kita kan bersama
tiap tanyaku akan tetap tersembunyi
atau kutitipkan dalam bulir hujan
biarkan ia hanyut.

aku tak tahu
sampai kapan
hangatnya cinta ini terus 'ku jaga
sementara hujan makin deras dan
udara makin dingin.

hatiku menjadi satu-satunya benda terhangat
di hari hujan ini
ada cinta di dalamnya
hanya untukmu, ya,
hanya untukmu!

Cibinong, 28/10/2018
20:43 Hujan

Jumat, 26 Oktober 2018

Sesuatu

"Bagaimana caranya untuk agar kau mengerti bahwa aku cinta?" Itu adalah sepenggal syair lagu yang dipopulerkan oleh grup Band Dewa feat Agnes Monica beberapa tahun lalu.

Seperti lirik di atas, kita ingin sekali mengetahui atau memiliki 'sesuatu' untuk menjelaskan isi hati kita. Atau saat mengharapkan seseorang berubah dari kebiasaannya, kita berharap memiliki 'sesuatu' untuk mengubahnya.

Seperti tukang memiliki palu untuk menancapkan paku pada kayu, nelayan memiliki jaring untuk menangkap ikan, atau pak polisi memiliki senjata untuk melumpuhkan penjahat. Kita sering berpikir demikian ketika ingin mencapai tujuan hati kita.

Namun, menyangkut karakter seseorang bukanlah perkara yang mudah. Karakter itu sendiri melekat pada diri tiap manusia dan terus terbentuk seiring waktu. Pembentukannya makin menguat bila terus diulang. Sehingga kita pun semakin sulit mengubahnya. Bahkan diri kita sendiri sekali pun kadang terasa sulit berubah.

Guru di sekolah mungkin memahami hal ini. Guru kadang geregetan bila ada murid yang tidak juga paham dengan pelajaran, meskipun sudah dijelaskan berulang kali dengan cara yang berbeda. Guru yang mengalami ini biasanya berharap memiliki 'sesuatu' untuk membuat si murid paham. Namun, tidak bisa. Penelitian di bidang pendidikan pun kadang-kadang tidak memberi solusi.

Orang tua barangkali yang paling sering mengalami 'ingin berbuat sesuatu' demi anaknya. Terlebih bila perilaku si anak tidak seperti yang diharapkan. Orang tua berharap memiliki 'sesuatu' untuk mengubah perilaku anaknya. Tidak jarang banyak orang tua yang putus asa.

Atau, seseorang yang sedang jatuh cinta terhadap lawan jenis. Biasanya seseorang tersebut mengharapkan 'sesuatu' yang ajaib terjadi hingga si gebetan peka. Eaa.

Lebih luas lagi, kita merindukan 'sesuatu' terjadi atas bangsa kita, Indonesia, agar bangsa ini terbebas dari segala permasalahannya saat ini. Apalagi ini sedang memasuki tahun politik. Belum lagi ditambah munculnya kelompok-kelompok tertentu yang gemar merusuh dan hendak memaksakan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Ya, kita berharap 'sesuatu' terjadi.

Lalu apakah 'sesuatu' itu? Sesuatu yang mungkin kita butuhkan? Jawabannya adalah doa.

Doa sering dijadikan pilihan terakhir. Ketika semua alternatif dilakukan dan persoalan belum juga selesai, barulah kita dengan penuh kesungguhan hati berdoa. Kalau doa dijadikan pilihan akhir, itu artinya Tuhan bukan yang utama. Dan memang begitulah yang biasa dilakukan.

Termasuk saat berharap seseorang agar berubah atau mengerti suatu hal, berdoalah baginya. Tidak ada yang sanggup mengubahnya selain Tuhan.

Rabu, 24 Oktober 2018

Mimpi

Beberapa bulan lalu aku bermimpi dalam tidurku. Ada mimpi buruk dan ada mimpi indah. Kadang aku bermimpi tentang kampungku, kadang tentang rumah, kadang tentang keadaanku saat ini, kadang juga tidak jelas atau terlupakan sesaat setelah terjaga dari tidur. Anehnya tiap kali aku bermimpi tentang rumah, selalu yang 'terlihat' adalah rumah kami yang lama. Mungkin memori yang terekam baik di otakku adalah rumah kami yang lama. Di rumah itu aku tinggal sejak kelas 1 SD hingga masuk SMA. Sementara rumah kami yang sekarang, waktu itu masih proses penyelesaian, meskipun sudah bisa ditempati.

Aku beberapa kali memimpikan rumah kami yang lama. Sehingga aku bisa mengingat detailnya. Dulu pertama kali aku ke situ lantainya masih pasir pantai. Dinding kayu dan ada lotengnya. Belum ada listrik. Jadi masih pakai lampu semprong. Di sebelah kiri ada pohon jambu dan belimbing yang akar-akarnya muncul ke permukaan tanah. Di sisi kanan ada pisang kipas dan rerumputan liar. Di belakang rumah, agak menurun, ada pohon jeruk dan kebun. Di situ juga ada sumur. Nah, di halaman belakang inilah 'rumah kami yang sekarang' dibangun.

Setelah rumah baru ditempati secara permanen, rumah lama yang berada di depannya pun dibongkar. Saat itu aku sudah merantau ke Jakarta demi masa depan, cieelah. Artinya aku hanya menempati rumah baru kami tidak begitu lama.

Di atas aku bicara soal mimpi dalam arti bunga tidur. Katanya, mimpi itu terjadi karena saat tidur otak bekerja untuk menghapus sebagian memori yang tersimpan. Saat proses itulah mimpi terjadi.

Namun, ada arti mimpi yang sama sekali berbeda dengan ceritaku di atas. Mimpi yang memiliki arti angan-angan atau cita-cita. Ya, itu yang kumaksud. Semua orang pasti pernah punya mimpi. Ada yang mampu membuatnya menjadi kenyataan, ada juga yang tidak.

Seberapa besarkah mimpi yang kau miliki? Apakah kau rela mengorbankan segalanya demi meraih mimpi-mimpimu? Pertanyaan ini sering ditanyakan kepada orang yang mempunyai mimpi. Biasanya dimaksudkan untuk menguji dan menyelidiki orang tersebut. Karena tidak jarang ditemui ada orang memiliki mimpi yang mustahil ia wujudkan, atau, ekstrimnya, terlalu berbahaya untuk diwujudkan. Orang seperti ini tidak mempertimbangkan kemampuannya, waktu yang ada, dana, umurnya, dan dampak mimpinya bagi lingkungan sekitar.

Terlepas dari itu, apakah penting memiliki mimpi? Menurutku sih sangat penting. Mimpi atau cita-cita membantu kita mengarahkan langkah. Arah mana yang akan ditempuh, kebutuhan apa saja yang perlu dipersiapkan, risiko apa yang akan terjadi, dlsb. Bila suatu saat ternyata mimpi itu tidak tercapai, mudah bagi kita untuk mengevaluasinya, lalu mengubah arah bila perlu. Bahkan mengubah mimpi itu sendiri. Sering juga di tengah jalan, orang mengganti mimpinya karena alasan tertentu. Lain lagi dengan orang yang pernah punya mimpi, tapi karena kendala tertentu, maka ia membiarkan mimpinya tetap menjadi mimpi.

Orang yang rela mengubur mimpinya demi orang lain menurutku luar biasa. Banyak kisah nyata tentang ini. Seperti anak yang rela berhenti sekolah demi membantu orang tuanya mencari kebutuhan sehari-hari, seperti seorang ibu yang rela mengubur harapannya memiliki perhiasan mewah demi pendidikan si buah hati, dan masih banyak lagi. Dan hal terbaik yang lebih dari itu adalah orang yang rela mengubur mimpinya oleh karena Tuhan ternyata berkehendak lain baginya. Dia lebih memilih untuk taat.

Di sisi lain, ada pula orang yang rela meninggalkan orang-orang terkasihnya demi meraih mimpi setinggi-tingginya. Pantang pulang sebelum sukses. Memang terlihat seolah-olah memiliki mimpi adalah hal yang buruk. Lebih memilih menggapai mimpi ketimbang orang terkasih. Tidak salah. Yang salah adalah ambisi meraih mimpi itu didasari oleh kepentingan pribadi, keuntungan yang dinikmati sendiri, atau kebanggaan diri sendiri. Sehingga tidak lagi peduli pada yang lain. Yang salah adalah ambisi meraih mimpi itu ternyata bertentangan dengan kehendak Tuhan.

Mengorbankan mimpi atau cita-cita jangan sampai merugikan diri sendiri. Jika itu perlu diraih, raihlah. Jika itu perlu ditunda, ya lakukan. Jika bukan kehendak Tuhan, taati. Sama halnya juga, meraih mimpi jangan sampai merugikan orang lain. Intinya adalah jika punya mimpi, maka ujilah mimpi itu. Apakah motifnya untuk kemuliaan bagi diri sendiri? Sesuaikah dengan kehendak Tuhan?

Sebesar apapun mimpi kita, sejatinya, harus membawa kemuliaan bagi Tuhan. Jangan pernah mencuri kemuliaan untuk diri sendiri. Pikirkan pula orang-orang terdekat kita. Jangan-jangan kita masih dibutuhkan di dekat mereka. Pikirkan pula dampak dari mimpi kita. Bila tidak membawa berkat bagi sesama, ujilah kembali. Setiap orang percaya diberkati untuk memberkati orang lain.

Aku pun punya mimpi yang membuatku meninggalkan kampung halaman. Hal ini terus kuuji dalam setiap permohonanku dalam doa. Juga telah membahasnya dengan keluarga di kampung. Untuk saat ini, dalam anugerah-Nya, Tuhan terus membimbingku. Dan bila Dia memanggilku untuk sebuah panggilan khusus, di mana pun, maka aku siap. Karena aku percaya, dikuatkan oleh bukti kasih-Nya selama ini, bahwa Tuhan pasti menyertaiku. Asal aku setia. Bahkan Dia akan menempatkan seseorang menjadi penolong bagiku, yaitu teman hidup yang tepat, untuk menggenapi misi-Nya melalui diriku.

Beranilah bermimpi.

Selasa, 23 Oktober 2018

Cukup

Orang biasanya mengatakan cukup ketika keinginan terpenuhi, ketika jenuh dengan hubungan yang kurang baik, ketika merasa lelah, ketika kekenyangan, atau ketika bosan hidup sendiri dan memutuskan mencari pasangan. Ini artinya ada batasan untuk sebuah cukup. Kapan batasan cukup terpenuhi atau belum terpenuhi? Mengapa ada orang yang merasa tidak pernah cukup? Sebaliknya, mengapa ada orang yang selalu merasa cukup?

Cukup itu berarti dapat memenuhi kebutuhan atau memuaskan keinginan, lengkap, genap. Cukup juga berarti tidak berlebihan, tidak kurang, pas, tepat.

Apakah batasan cukup ditentukan oleh tiap individu? Apakah ada batasan yang melampaui semua keinginan manusia? Pertanyaan pertama, bila standar cukup ditentukan oleh tiap individu, maka setiap individu memiliki batas cukup masing-masing. Masalahnya bagaimana agar tiap kebutuhan terpenuhi tanpa merugikan orang lain. Pertanyaan kedua, menurutku ada. Hidup manusia memiliki batas. Contohnya, tidak mungkin kita makan sebanyak-banyaknya karena volume lambung kita terbatas. Itulah batasan cukup mengenai makan. Masalahnya adalah bagaimana bila menyangkut harta, kekuasaan, dan nafsu memiliki?

'Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah', kata Rasul Paulus. Ukurannya jelas yaitu makanan dan  pakaian. Setiap percaya tahu akan hal ini. Tapi apa benar mereka menghidupinya? Banyak juga yang akhirnya menumpuk dan menikmati sendiri kekayaannya. Sebagian lagi terus merasa khawatir dan kekurangan padahal sebenarnya hidupnya berkecukupan.

Ada yang bilang bahwa cukup itu ketika kita sudah merasa bahagia dengan apa yang kita miliki. Bisa makan dan minum, bahagia? Punya rumah sederhana, bahagia? Punya mobil, bahagia? Bisa keliling dunia, bahagia? Biasanya sih bahagianya cuma sementara. Lama-kelamaan bosan. Kemudian butuh sesuatu yang lebih lagi agar bisa bahagia. Kata lain, tidak cukup. Hahaha. Ini sih bukan hal baru ya. Semua orang juga tahu.

Menariknya, manusia terkadang menghadapi dilema. Misalnya ada seseorang merasa cukup (makan, minum, pakaian, tempat tinggal, pekerjaan tercukupi), lalu ia memutuskan hidup seadanya dan terlihat sederhana di mata orang lain, namun ada saja yang mengatakan orang itu tidak punya semangat hidup, tidak berambisi, tidak punya gairah. 'Masa ia mau hidup begitu-begitu saja,' kata mereka. Atau ada teman atau kerabat berkata, 'berkembang dong', 'jangan mau begini terus'.

Di pihak lain, ada orang sudah berkecukupan namun hidupnya masih dipenuhi ambisi untuk meraih sesuatu, entah kekayaan, popularitas, jabatan. Kemudian orang lain berkata, 'apa sih yang dia cari, dia sudah punya segalanya', 'serakah', dlsb.

Bingung, kan? Aku juga bingung. Aku pernah ditanya seseorang mengapa aku memakai pakaian yang itu lagi-itu lagi alias jarang ganti. Kalau tidak yang ini, pasti yang itu. Begitulah. Lantas, aku harus ganti terus gitu tiap ketemu? Apa yang harus aku lakukan? Toh, pakaiannya masih layak pakai. Bingung saya.

Untuk mengakhiri tulisan ini, maka akan kubagikan beberapa pandanganku. Ingat, ini belum tentu benar dan bila keberatan, aku siap berdiskusi tapi di warung kopi ya dan kamu yang bayar. Hehehe.

Ini dia. Kalau dipikir-pikir sesungguhnya rata-rata kebutuhan dasar manusia itu sederhana saja: makanan, pakaian, tempat tinggal. Untuk memperolehnya perlu bekerja. Tapi populasi kian bertambah sehingga membutuhkan lebih banyak makanan, pakaian, tempat tinggal dan kerja.

Kebutuhan manusia diproduksi banyak. Ditambah hal-hal lain seperti hiburan dan pelayanan jasa. Saking banyaknya, saat ini, sampai-sampai kita tidak bisa bedakan antara kebutuhan dan keinginan.

Kita disuguhi berbagai cara hidup yang "ideal", gaya berpakaian yang keren, gadget terbaru, makanan mewah, hiburan terasyik, lewat iklan atau media massa atau media sosial. Sialnya banyak orang terpengaruh. Yang tadinya hidup dengan cukup, sekarang merasa kekurangan karena tidak sesuai dengan standar "ideal" yang ditawarkan iklan. Yang tadinya puas dengan pakaian sederhana, menjadi minder karena tidak mengikuti tren.

Kita disandera atau tersandera oleh brand, merek, dan 'pandangan orang tentang kita'. Aku sendiri berjuang melepaskan diri dari jeratan (pandangan orang tentang kita) ini. Dalam anugerah-Nya berhasil. Dan saat melakukannya memang sering terlihat aneh, kuno, dan 'miskin'. Dan kurasa ada banyak orang juga yang merasakan hal sama. Yaitu mereka yang berusaha hidup seadanya.

Pangkal dari hidup yang selalu merasa tidak cukup menurutku adalah menaruh hati pada sesuatu yang tidak kekal; memberhalakan apa yang ada di dunia. Sehingga hidup tidak pernah bersyukur.

Aku ingat cerita George Muller (lagi-lagi tokoh ini) ketika cadangan makanan panti asuhannya tinggal sedikit, maka ia meminta asistennya untuk mengeluarkan semuanya cadangan yang ada. Artinya, habis sudah semua. Tapi George Muller berharap pada Tuhan - Sang Kekal. Tuhan-lah yang kemudian memenuhi seluruh kebutuhan panti asuhannya di hari-hari berikutnya.

Sekarang, kita sangat mengkhawatirkan masa depan kita, berapa tabungan yang tersisa, bagaimana nanti ke depan, dan lain sebagainya. Celakanya, kita berharapnya pada uang, kuasa, jabatan, orang lain, kepada calon pasangan (bagi yang lajang); bukan pada Tuhan. Sehingga hidup pun diliputi rasa tidak cukup dan khawatir.

Kalau hidup ini berkelimpahan melulu, kapan kita akan merasakan keajaiban penyertaan Tuhan. Tapi orang tidak menyadari ini. Ketika situasi genting, uang menipis misalnya, bukannya mencari Tuhan lebih dulu, tapi membuat berbagai langkah antisipasi yang masuk akal.

Jadi, cukup itu adalah mensyukuri apa yang ada dan mengharapkan yang terbaik dari Tuhan. Jangan jadi hamba uang, jangan jadi hamba 'keinginan hatimu'. Hidup bersyukur merupakan konsekuensi dari berjalan bersama Allah. Apakah boleh meminta lebih? Tentu boleh dong, asal Tuhan berkenan.

Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah!

Senin, 22 Oktober 2018

Cinta


Satu kata seribu makna. Itulah cinta. Para filsuf, politikus, penyair, rohaniwan, setiap insan berusaha memaknainya. Hasilnya? Tidak ada kesepakatan apa itu cinta. Untuk memudahkan, maka cinta diberi definisi atau batasan makna yaitu suka sekali, kasih, terpikat, sayang; bahkan dimaknai juga sebagai rindu, risau, atau khawatir, dll.



Terkadang cinta diwujud-nyatakan sebagai benda seperti sekuntum bunga, uang, kekayaan, atau istana megah. Ada pula dalam bentuk pengorbanan, kesetiaan, atau komitmen. Dan lebih sering dituliskan dalam kata-kata. Puisi, prosa, cerita pendek, cerita panjang, novel. Tapi semua itu hanyalah tanda. Tanda adanya cinta. Sementara orang Yunani kuno membagi cinta dalam beberapa bagian: agape, eros, filia, dan storge.



Ajaibnya setiap orang boleh membicarakan cinta. Tidak perlu seorang ahli cinta. Jadi jangan menolak bila seseorang bicara cinta karena ia bukan ahli cinta. Jangan (atau anda akan saya tuduh melakukan argumentum ad hominem – apaan sih)! Karena tidak seorang pun yang benar-benar ahli dalam cinta. Yang ada adalah orang-orang yang berpengalaman dengan kisahnya sendiri.



Setiap insan memiliki kisah cinta. Sebagian lagi sedang berusaha mengukir kisah cinta mereka. Seperti kata Hemingway bahwa di setiap kisah cinta yang pernah ditulis, tidak satu pun yang mewakili kisah cintanya. Kita pun demikian. Sebab itu kita perlu menuliskannya sendiri. 



Bila cinta mendatangimu, ikuti dia,

Walaupun jalannya sulit dan terjal.

...

Dan jangan kau berpikir kau dapat langsung menuju cinta karena cinta,

Bila cinta menganggapmu berharga, ia akan mendatangimu



Syair di atas ditulis oleh Kahlil Gibran. Dia adalah penyair besar yang terkenal dengan syair-syair cinta. Kisah cinta memang tidak selalu berjalan lurus. Kadang berliku dan jalannya sulit. Ia menguji kesabaran dan perjuangan kita menggapainya. Tidak hanya itu, ia menguji kepekaan kita.



Cinta selalu diidentikkan dengan pertemuan dua insan. Mars dan Venus. (Terkadang juga ada cerita cinta segitiga atau cinta terlarang). Meskipun sulit sekali menemukan alasan mengapa dua orang saling mencintai. Aku pernah ditanyai seseorang, ‘mengapa aku mencintai dia’. Waktu itu, sudah lama sekali, kuajak dia bertemu. Kuutarakan isi hatiku padanya dan dia pun menanyakan pertanyaan tadi. Seperti biasa, otakku berputar cepat mencari jawaban.  Otakku memang terlatih menjawab soal tapi soal fisika dan matematika. Soal seperti ‘mengapa aku mencintai dia?’ merupakan soal tersulit dan menjebak. Hahaha.



Bila kujawab karena dia cantik, berarti aku mencintai kecantikannya (bukan dirinya). Meskipun kuakui dia cantik. Ehm. Bila kujawab karena dia kaya, tidak juga, sebab bukan karena itu aku cinta dan memang dia juga bukan dari golongan orang berada. Bila kujawab karena ‘kamu juga menyukai hal yang kusukai’, maka sekali lagi bukan karena itu. Intinya, aku mencintai dirinya; bukan segala sesuatu yang melekat padanya.  Karena bingung, maka kujawab ‘aku tidak tahu’. Cinta datang begitu saja. Dia pun kebingungan. Hehehe. Cerita ini kukategorikan cerita lama karena aku sudah move on darinya.



Pernah juga sebelumnya – sebelum kisah di paragraf di atas – aku menjalin hubungan dengan seseorang (lawan jenis ya). Namun, karena perbedaan suku dan hubungan tidak direstui oleh orang tuanya, maka ceritanya pun berakhir. Bayangkan... yang saling cinta siapa, yang ‘ribet’ siapa. Tapi pertanyaan kritisnya (yaelah...), apakah saling mencintai harus berujung indah? Saling memiliki? Memiliki apa? Memiliki cinta? Hahaha. Kahlil Gibran menulis, ‘cinta memberi kesia-siaan, tetapi mengambil kesia-siaan juga’. Kesia-siaan di bawah matahari, kata Raja Salomo – sang bijak.



Pelan tapi lambat, eh, pelan tapi pasti, aku pun sedikit demi sedikit memahami apa itu cinta. Ada cinta yang lebih besar. Ada cinta yang menjadi standar tertinggi. Yaitu cinta kasih Tuhan padaku dan pada semua orang yang dikasihi-Nya. Itulah cinta sejati.



Mencintai Tuhan merupakan hal pertama dan utama. Inilah yang kupelajari. Orang boleh saja mencintai siapa pun, namun bila tidak ada Tuhan di sana, maka semua kesia-siaan. Mengapa harus mencintai Tuhan? Karena Tuhan telah lebih dulu mencintai kita (Yoh 3:16). Cinta Tuhan melampaui apa pun. Dia memperbaiki hubungan yang retak, membentuk pribadi dari ‘bukan siapa-siapa’ menjadi ‘berharga’, mentransformasi pandangan kita terhadap alam sekitar sehingga kita lebih peduli, dan lain sebagainya.



Oleh karena itu, aku pun meminta pada Tuhan seorang anak-Nya – hanya anak-Nya – menjadi cinta sejatiku. Jikalau Allah telah mengaruniakan Anak-Nya yang Tunggal – yang terbaik – maka permintaanku tadi sebenarnya terlalu kecil buat Dia. Siapakah dia yang akan ditempatkan di sisiku itu? Aku pun sedang mendoakannya – sambil menyebut namanya. Mungkin Tuhan sedang membentuk dia dan aku secara khusus masing-masing. Sehingga ketika kami dipertemukan, bukan lagi tentang aku atau dia, tetapi tentang DIA.



Kelak, entah cerita cintaku (dan dia) lebih manis dari yang kubayangkan atau sebaliknya – itu tidak penting, selama Tuhan berkenan di dalam cerita itu dan Dia dimuliakan. Tunggulah sampai aku menuliskannya kepada pembaca sekalian. Yang kurasakan saat ini dalam hatiku ada cinta – lebih matang, lebih dewasa dari sebelum-sebelumnya.

Kamis, 18 Oktober 2018

Belajar dari Tokoh, George Muller


Pada tulisan sebelumnya aku menyebut seorang tokoh yang disebut sebagai sang raksasa iman. Dia adalah George Muller. Kehidupannya diabadikan dalam sebuah buku berjudul “George Muller: Jawaban-jawaban doa sang raksasa iman” yang ditulis oleh Roger Steer. Buku ini kudapatkan secara cuma-cuma yaitu sebagai hadiah ulang tahunku pada tahun 2008. Sepuluh tahun yang lalu. Buku ini sangat memengaruhiku setelah membacanya hingga saat ini.

Nama George Muller sendiri kudengar sekitar tahun 2006 dari seorang pendeta kampus dari Korea, Mr. Kim. Beliau memperkenalkan Muller kepada kami. Maksudku kami di sini adalah anak-anak asrama. Aku selama kuliah tinggal di asrama sebagai salah satu mahasiswa yang mendapat anugerah beasiswa penuh. Tapi karena Mr. Kim berasal dari Korea, ia menyebutkan nama George Muller dengan logat Korea dan itu terdengar lucu (Jojo Milo, kira-kira seperti itu) sehingga teman-teman asrama sering menertawakannya. Saat itu mereka, termasuk aku, belum mengenal nama George Muller  (tapi aku tidak ikut-ikutan menertawakan Mr. Kim lho...). Ternyata dia seorang tokoh besar. Dan teman-temanku tadi sebenarnya menertawakan kebodohan mereka.

George Muller lahir pada tanggal 27 September 1805. Dia pernah mencuri uang ayahnya, dipenjara, menipu rekannya, dan hidup berfoya-foya sampai kasih Yesus mendesaknya hidup dalam persekutuan dengan Tuhan dan sesama. Sejak mengalami hidup baru, hidupnya selalu dimulai dengan bertanya pada Tuhan.

Segala sesuatu selalu diawali dengan doa. Begitulah hidup George Muller. Di saat ingin memulai sebuah pelayanan, berkhotbah, atau aktivitas sehari-hari selalu diawali dengan berdoa dan didasari dengan Firman Tuhan. Termasuk ketika ia jatuh cinta kepada seorang gadis, Mary Groves. Ia terus berdoa mengenai pemilihan pasangan hidupnya itu.

Setelah menikah, ia bermaksud menghentikan menerima gaji dari gereja. Sebab gajinya itu berasal bangku yang disewakan kepada jemaat. Ia berkata, tidak akan ada lagi “mendatangi manusia, tapi mendatangi Tuhan.  George Muller dan istri bermaksud menerapkan Firman Tuhan secara harafiah “juallah segala milikmu dan berikanlah sedekah!” (Lukas 12:33). Sangat radikal.

Keputusan George Muller di atas merupakan hal yang sangat menarik untuk diikuti selanjutnya. Sejak itu Muller benar-benar bergantung total kepada Tuhan. Ia meminta hanya kepada Tuhan. Ia tidak memberitahukan kondisi dan kebutuhan mereka kepada teman-temannya – betapa pun buruknya kondisi mereka. Alasannya, agar teman dan sahabatnya tidak berbelas kasihan.

Setelah penjadi pengkhotbah di sebuah gereja selama beberapa waktu, George Muller pun memutuskan “resign” dari gereja tersebut. Karena ia merasakan bahwa Tuhan memanggilnya melakukan sesuatu di Bristol.

Di sana ia sangat tergerak melihat anak-anak yang meminta-minta di jalan. Sejak itulah ia merencanakan untuk membangun sebuah panti asuhan bagi anak yatim piatu. Panti asuhan bagi anak-anak yang benar-benar tidak memiliki orang tua maupun sanak saudara sebagai penopang hidup.

George Muller terus mendoakan gagasannya ini hingga beberapa waktu. Ia juga menguji motifnya dengan bertanya kepada dirinya sendiri apakah seluruh gagasan itu tidak berasal dari hasrat untuk mencari kemuliaan bagi dirinya sendiri. Ia juga meminta saran temannya untuk menyelidiki hatinya.

Dalam pergumulan itu, George Muller tetap memegang prinsip bahwa tidak akan ada meminta kepada manusia, tapi meminta kepada Tuhan. Ia berdoa hanya kepada Tuhan agar Tuhan menggerakkan hati orang-orang membantunya. Seperti sebelum-sebelumnya, ia pun tidak memberitahukan kebutuhan atau kondisi yang ia alami.

Jawaban doanya terkabul satu per satu. Apa yang ia butuhkan untuk keperluan panti asuhan tersebut terwujud tepat seperti yang ia minta. Ada saja orang-orang yang tergerak untuk memberi. Ada saja orang-orang yang tergerak memberi diri menjadi pekerja yang bersedia tidak dibayar. Sehingga ketika segala sesuatu sudah siap, maka ia pun mulai mendoakan anak-anak yatim piatu yang akan tinggal di panti asuhannya itu.

Tahun pertama (April 1836) mereka menerima tiga puluh anak. Kemudian Oktober bertambah lagi tiga puluh anak. Selanjutnya Juni 1837, ia membuka panti asuhan lagi yang menampung empat puluh anak laki-laki. Jumlahnya pun terus bertambah hingga ribuan. Kira-kira bagaimana ya memenuhi kebutuhan anak panti yang banyak itu? Dengan hanya mengandalkan “sumbangan” orang dari hasil doa?

Apakah George Muller dan para asistennya menghadapi kekurangan makanan, uang, dan kebutuhan lainnya? ya, sering. Namun, George Muller tetap berdoa kepada Tuhan. Ajaib sekali, bantuan selalu datang tepat pada saat dibutuhkan. Aku sendiri tidak bisa membayangkan bila di posisi tersebut.

Berdasarkan pengalaman hidupnya yang sangat radikal itu, George Muller berbagi mengenai doa yang baik dan benar. Pertama, permohonan kita harus menurut kehendak Allah. Kedua, kita tidak boleh meminta untuk kebaikan atau keuntungan kita sendiri, tetapi ‘dalam nama Tuhan Yesus Kristus’. Ketiga, kita harus melatih iman dengan kuasa dan kesediaan Allah untuk menjawab doa kita. Keempat, kita harus terus bersabar menunggu Allah hingga berkat yang kita cari diberikan. “Mintalah, dan kamu akan menerima” bukanlah masalah waktu, jadi bersabarlah.

Selanjutnya ia berkata juga, “ketika aku sedang berdoa Dia berbicara kepada satu orang dan orang lain, di benua ini dan di benua lain, agar mengirimkan bantuan kepada kami”. Wow, itulah kesaksian yang luar biasa betapa kuasa doa itu sungguh nyata.

Apakah iman seorang George Muller berbeda dengan iman orang percaya lainnya? Ternyata pengakuannya sendiri adalah: “imanku adalah iman yang sama dengan iman yang ditemukan di dalam diri setiap orang percaya. Cobalah sendiri dan kau akan melihat pertolongan Allah, jika kau percaya kepada-Nya?”

Apa yang kita lakukan untuk memperkuat iman kita? Inilah saran dari George Muller: 1) bacalah Alkitab baik-baik agar kita mengetahui lebih banyak lagi karakter Allah; 2) jagalah hati nurani tetap bersih. Jangan biasakan melakukan apa yang tidak disukai Allah; 3) janganlah menghindari situasi saat imanmu sedang diuji.

George Muller meninggal dunia pada tanggal 10 Maret 1898. Ia meninggalkan harta yang paling berharga yaitu bahwa iman orang percaya itu terbukti sungguh nyata.

Apa yang kupelajari?
Tuhan mendengarkan doaku. Dia mengetahui kebutuhanku dan pasti memenuhinya pada waktu yang sangat tepat sesuai kehendak-Nya. Akulah yang sering tidak tekun berdoa. Aku sering pula berdoa sesuai kehendakku, bukan kehendak Tuhan.

Kuasa doa itu sungguh nyata. Banyak orang ragu akan hal ini. Beberapa orang juga jatuh kepada ekstrim lain yaitu hanya mengandalkan doa tanpa kerja atau usaha. Orang yang seperti ini menganggap doa seperti sihir. Duduk diam dan menanti jawaban turun dari langit. Doa tidak seperti itu. Doa memang sesuatu yang supernatural, namun bukan sihir. Doa merupakan konsekuensi dari perjalanan bersama Allah.

Perjalanan bersama Allah menuntut ketaatan dan kekudusan hidup. Sebab itu kita pun berdoa dalam kekudusan hidup dan ketaatan melakukan Firman-Nya. Aku terus berjuang dalam hal ini. Aku membutuhkan bimbingan Roh Kudus agar bisa berjalan bersama Allah setiap saat.

Sebenarnya dalam segala sesuatu Allah-lah yang bekerja. Aku tidak dapat berbuat apa-apa jika di luar Tuhan (Yohanes 15:5). Tinggal di dalam Yesus Kristus. Itulah intinya.

Saat ini, aku sedang mendoakan mengenai teman hidupku. Dan terus mengujinya di dalam doa. Meminta pada Tuhan agar Dia memilihkanku pasangan hidup yang tepat bagiku (selama mendoakan ini aku terus menyadari bahwa aku tidak layak bagi siapa pun. Tapi ini bukan perasaan rendah diri. Lebih pada refleksi diri. Artinya semakin aku berdoa, semakin aku mengenali diriku bukanlah siapa-siapa tanpa Allah). Dan berharap pada Tuhan agar Dia memberiku seseorang (dengan menyebut sebuah nama) yang dengannya aku bisa menikmati kehidupan doa. Aku telah siap seandainya Tuhan menjawab tidak seperti yang kuinginkan.

George Muller juga memberi teladan dalam menggumuli pasangan hidup. Tuhan memberikannya pasangan hidup yang mendukung pelayanannya sebagai pengkhotbah dan sebagai pendiri panti asuhan. Ia selalu berkata pada istrinya, “sayangku, Allah sendiri yang memilih dirimu untukku, sebagai istri yang paling cocok yang aku harap dapat aku miliki.” Indah sekali. 


Keterangan:
Bila seseorang yang kusebut namanya dalam doaku setahun ini membaca tulisan ini, semoga saja dia merasakan ada malaikat yang melindunginya. Dalam doaku, kuminta pada Tuhan untuk mengirim malaikat melindunginya.