Jumat, 31 Juli 2015

Guru, Pendidikan, dan Permasalahannya

Apa yang menjadi topik-topik pembahasan mengenai pendidikan kita akhir-akhir ini? Kira-kira seputar kualitas guru, prestasi akademis, standar kinerja guru, karya ilmiah guru, minat baca siswa, budi pekerti, kurikulum, penyebaran guru, dll. Pembahasan utama adalah mengenai guru.
Ada apa dengan para guru kita? Beberapa kondisi yang sering kita dengar – rendahnya kualitas, rendahnya minat guru menulis karya ilmiah, sertifikasi guru yang tidak memengaruhi kinerja dan penyebaran guru. Selain guru, ada juga pembahasan mengenai penumbuhan budi pekerti pada siswa.

Kinerja Guru
Sulit sekali menilai kinerja guru karena hasilnya baru akan terlihat ketika murid-muridnya telah sukses beberapa tahun kemudian. Itupun sulit dilakukan. Adalah suatu pemikiran sempit pula jika kinerja guru dinilai hanya berdasarkan nilai prestasi siswa. Mungkin cara mudahnya adalah dengan melihat kepuasan siswa dan orang tua terhadap kinerja guru. Kalau siswa dan orang tua merasa puas, berarti guru tersebut memiliki kinerja yang baik. Tapi itu tidak cukup. Masih banyak lagi aspek yang perlu dinilai – misalnya profesionalisme guru, kedisiplinan, kemampuan melakukan evaluasi, atau kemampuan guru menerapkan rencana-rencana pengajaran, dll. Singkatnya, tidak ada cara terbaik untuk mengukur kinerja guru.

Rendahnya Minat Guru Menulis Karya Ilmiah
Mengenai rendahnya minat guru menulis karya ilmiah merupakan masalah serius. Rendahnya minat menulis menunjukkan rendahnya minat baca. Sebab, seseorang mampu menulis karena banyak membaca. Bayangkan seorang guru malas membaca, bagaimana ia menjadi teladan bagi murid-muridnya? Untuk menumbuhkan minat siswa dalam menulis karya ilmiah, dibutuhkan guru yang berminat dan mampu menulis. Seharusnya guru diberikan program wajib baca. Bagi sekolah yang belum memiliki perpustakaan harus segera menyediakannya.

Senin, 20 Juli 2015

Teori dan Praktik dalam Organisasi Pendidikan

Ada sebuah pertanyaan yang terbersit di pikiran ketika saya sedang membaca buku. Pertanyaannya, "apakah penting untuk mengetahui berbagai teori dalam menjalankan organisasi?" "Bukankah organisasi dijalankan (praktik) saja tanpa harus sibuk berteori?" Saya sempat beradu argumen dengan seorang rekan kerja. Pendapat kami berbeda mengenai menjalankan organisasi. Dia, teman saya itu, menuduh saya terlalu kaku dengan teori. Dan, saya menganggapnya terlalu miskin pengetahuan. Perbedaan kami lainnya, saya suka membaca buku, dia tidak. Persamaan kami, kami sama-sama seorang pendidik (guru).

Defenisi Teori
Kembali ke pertanyaan saya tadi. Apa pentingnya teori? Pertama kita harus mengetahui, teori adalah bahasa khusus yang menerangkan dan membantu kita memahami fenomena (Tosi, 2009). Teori adalah serangaian konsep, asumsi, dan generalisasi yang saling berhubungan yang melukiskan dan menjelaskan secara sistematis keteraturan perilaku dalam organisasi-organisasi pendidikan (Hoy dan Miskel, 2014). Ilmu pengetahuan kita terdiri atas teori-teori kita. Fenomena terjadi di sekitar kita setiap saat. Itulah realita. Namun, kita tidak bisa membawa realita itu seluruhnya ke dalam pikiran kita karena pikiran kita terbatas. Karena itu, kita membawa kesan-kesan tentang realita itu ke dalam pikiran kita dalam bentuk teori-teori. 

Teori dan Praktik
Bagaimana dengan praktik? Bukankah praktik juga penting? Ya, praktik juga penting. Teori dan praktik saling berkaitan secara langsung. 1) teori membentuk kerangka acuan bagi praktik; 2) proses teori memberikan pola analisis umum tentang peristiwa-peristiwa praktis; 3) teori memandu pembuatan keputusan. Dalam organisasi, teori memandu pengambilan keputusan adminstratif. Jadi, sebaiknya kita jangan mempertentangkan teori dengan praktik. Permasalahannya adalah beberapa pemimpin organisasi menjalankan kepemimpinan dan organisasi tanpa memiliki landasan teori yang pasti dan jelas. Mungkin mereka berpikir bahwa berteori hanya usaha membuang-buang waktu. Jelas ini adalah sikap yang salah.

Minggu, 19 Juli 2015

Pentingnya Belajar

Beberapa hari yang lalu, saya berbincang-bincang dengan seorang guru senior. Beliau sudah mengajar di atas 15 tahun. Banyak kisah yang beliau ceritakan. Mulai dari peristiwa-peristiwa menyenangkan hingga yang tidak menyenangkan. Pengalaman beliau menjadi pembelajaran bagi saya karena, sebagai guru, saya bisa dikatakan belum berpengalaman.

Guru senior ini menceritakan beberapa keberhasilannya. Salah satunya, sempat menolak siswa-siswi yang ingin mendaftar. Artinya, jumlah yang ingin mendaftar ke sekolah - saat itu - sangat membludak. Itu dulu semasa kepemimpinannya. Beda dengan sekarang, jumlah siswa terus menurun. Beliau juga menceritakan pernah konflik dengan atasan. Ia menceritakan begitu detil, sehingga saya tidak bisa menuliskannya di sini. Intinya, ia kecewa dan kesal dengan kepemimpinan di organisasi/yayasan kami sekarang. Sekolah kami ini adalah sekolah swasta di bawah yayasan. Intervensi yayasan begitu terasa sehingga kepemimpinan kepala sekolah menjadi kabur. Kadang-kadang para guru dibuat bingung, pemimpin sebenarnya siapa - yayasan atau kepala sekolah?

Ternyata guru senior ini sudah memprediksi bahwa jumlah siswa yang mendaftar akan cenderung menurun. Yayasan yang terlalu otoriter dan terlalu 'masuk' ke proses pembelajaran, akan membuat guru tidak nyaman, merasa tertekan, dan buktinya, banyak guru tidak betah. Memang benar, tiap semester terjadi pergantian guru. Akibatnya, kepuasan pelanggan (orang tua, siswa) menurun dan ini tersebar dari mulut ke mulut kepada masyarakat. Pembaca mudah-mudahan paham penjelasan saya.

PERUBAHAN ORGANISASI PENDIDIKAN MENENGAH ATAS

PERUBAHAN ORGANISASI PENDIDIKAN MENENGAH ATAS

Aris Primasatya Zebua, S.Pd*
*Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia
arisprimasatya@gmail.com 

 Abstraksi
Makalah ini membahas tentang pengembangan organisasi dan perubahan. Setiap organisasi pasti memikirkan kemajuan. Kemajuan hanya terjadi jika ada perubahan dalam organisasi tersebut. Perubahan ini bisa direncanakan. Ada tiga model perubahan terencana (planned change) yang akan dibahas yakni: model perubahan Lewin, model action research, dan model positif. Makalah ini juga dilengkapi dengan contoh penerapan teori-teori perubahan dalam dunia pendidikan. Misalnya, ketika terjadi perubahan kurikulum di Indonesia. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menambah wawasan mengenai pengembangan organisasi dan perubahan bagi para pendidik, dan untuk membantu para pemimpin pendidikan dalam merancang perubahan di lembaga yang dipimpin. Di bagian akhir, terdapat perbandingan ketiga teori yang dibahas. Tidak ada model yang terbaik. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh karena, itu penulis menyarankan untuk melakukan kolaborasi antara dua model perubahan.
Kata kunci: perubahan, lewin, action research, positif, pendidikan.

PENDAHULUAN
Pembahasan mengenai perubahan sama halnya dengan membahas tentang kemajuan (Manahan, 2012). Sebuah organisasi yang sudah besar pun akan mengalami perubahan. Karena jika tidak melakukan perubahan, organisasi tersebut akan kalah bersaing oleh organisasi-organisasi lain yang juga menghendaki kemajuan.
Sekolah sebagai sebuah organisasi juga harus memikirkan perubahan. Pengaruh faktor eksternal maupun internal dapat mendorong sekolah melakukan perubahan. Faktor eksternal misalnya perubahan kurikulum, lingkungan sosial, atau kebijakan pemerintah. Faktor internal misalnya budaya sekolah, fasilitas, sistem imbalan guru honor, faktor orang tua murid, dan lain-lain.
Makalah ini akan menganalisis dan membandingkan model-model dalam teori perubahan, antara lain model perbahan Lewin, model action research, model positif, serta contoh penerapannnya dalam dunia pendidikan khususnya pada pendidikan menengah.
MODEL PERUBAHAN LEWIN
Salah satu model awal dari perubahan terencana (planned change) diberikan oleh Kurt Lewin. Dia memahami perubahan sebagai modifikasi dari kekuatan-kekuatan mempertahankan perilaku sistem yang stabil. Dengan kata lain, menjauh dari zona kenyamanan. Secara khusus, bagian tertentu dari perilaku setiap waktu adalah hasil dari dua kelompok kekuatan: mereka yang berjuang untuk mempertahankan status quo (menentang perubahan) dan mereka mendorong/mendukung perubahan. Bila kekuatan kedua kelompok ini sama, artinya berada dalam keadaan seimbang, maka disebut “kesetimbangan kuasi-stasioner”. Kurt Lewin mengajukan teori tiga tahap perubahan dan sering disebut sebagai pencairan (unfreezing), tindakan (moving) dan pembekuan/pendinginan (refreezing).
1.      Unfreezing (Pencairan)
Unfreezing adalah tahap awal yang sangat penting untuk melakukan perubahan. Tahap ini membahas tentang persiapan untuk berubah. Atau suatu kesadaran dan pemahaman bahwa perubahan mulai diperlukan, serta bersiap-siap untuk mulai menjauh dari zona kenyamanan yang ada saat ini. Persiapan perubahan ini berlaku untuk perubahan secara individual maupun tim kerja. Hal yang diperhatikan adalah faktor pendukung dan penentang perubahan. Bila semakin banyak yang mendukung, maka perubahan mudah dilakukan. Sebaliknya, jika tidak, maka perubahan akan susah dilakukan. Karena itu, pada tahap ini setiap individu atau tim kerja diberi pemahaman bahwa sebuah organisasi memerlukan perubahan secara mendesak. Semakin besar anggota organisasi merasa perubahan mendesak diperlukan, semakin mudah pula melakukan perubahan.
Dalam dunia pendidikan, tahap unfreezing ini seperti ketika terjadi perubahan kurikulum. Hampir semua guru menolak perubahan itu. Karena itu, pemerintah melakukan sosialisasi. Pemerintah memberikan penjelasan tentang perlunya perubahan dalam sistem pendidikan. Perubahan terletak pada metode pembelajaran konvensional menjadi metode pembelajaran yang menghendaki keterlibatan siswa secara aktif. Dasar-dasat perubahan kurikulum dijelaskan secara detail dan logis. Sehingga reaksi guru yang awalnya menolak, pelan-pelan bisa menerima. Pihak-pihak yang menolak ‘dicairkan’ sehingga perubahan bisa dilakukan.

Sabtu, 18 Juli 2015

MERANCANG BUDAYA ORGANISASI SEKOLAH (3)

BUDAYA ORGANISASI PENDIDIKAN (SEKOLAH)
Hasil analisis pengembangan budaya organisasi di atas berakhir pada terbentuknya suatu budaya sekolah yang baru. Kita mengharapkan sebuah sekolah menjalankan pendidikan secara efektif sesuai dengan amanat pendiri bangsa yang tercantum dalam undang-undang. Agenda pendidikan, sejatinya adalah agenda pembangunan moral dan budaya bangsa (Komaruddin Hidayat dalam Tim PGRI, 2014). Bung Hatta secara tepat menyatakan bahwa apa yang diajarkan dalam proses pendidikan adalah kebudayaan, sedangkan pendidikan itu sendiri adalah proses pembudayaan (Tim PGRI, 2014).
Salah satu cara membentuk budaya bangsa yang bermartabat adalah melalui pendidikan. Oleh karena itu, penting sekali untuk membangun budaya sekolah yang bermartabat untuk mencapai pembentukan budaya bangsa. Bayangkan sebuah sekolah yang dipimpin oleh seorang kepala sekolah, namun beberapa gurunya adalah pendatang baru. Demikian juga di awal tahun ajaran, datang peserta didik baru. Semua berkumpul dalam satu sekolah, melakukan kegiatan bersama, menghadiri rapat bersama, bersosialisasi, guru dan peserta didik dalam proses pembelajaran di kelas, dan tenaga kependidikan bekerja di ruangannya masing-masing. Bagaimana memadukan semua itu? Dengan membangun budaya sekolah.
Pemimpin sekolah atau para “pahlawan” menceritakan cita-cita penyelenggara sekolah – pemerintah atau swasta – kepada  semua warga sekolah (baik yang lama maupun yang baru); menciptakan seperangkat aturan yang jelas tentang hak dan kewajiban yang harus dipatuhi semua warga sekolah; menciptakan kebijakan yang mampu memberdayakan guru (struktur yang memberdayakan); memperhatikan kepentingan warga sekolah (sekolah yang perhatian), dan mengoordinasikan semua kegiatan kelompok.

MERANCANG BUDAYA ORGANISASI SEKOLAH (2)

MERANCANG BUDAYA ORGANISASI BARU PENDIDIKAN
Menurut Cross dan Schichman yang dikutip dari Manahan (2012), menuliskan bahwa untuk mengembangkan suatu budaya organisasi, kita harus dapat mengondisikan budaya tersebut ibarat sebuah rumah tempat tinggal (HOME). Gambar berikut ini adalah skema pengembangan budaya organisasi Cross dan Schichman.

(SKEMA TIDAK DILAMPIRKAN DI SINI)

Penulis akan melakukan analisis dan solusi merancang suatu budaya organisasi pendidikan berdasarkan skema tersebut. Ada empat metode yang digunakan yang terdiri dari variabel-variabel. Bila semua variabel tersebut disatukan, maka akan membentuk suatu budaya organisasi.

1.      Pengembangan Budaya Sesuai Tuntutan Sejarah
Sebagaimana dikemukakan oleh Cross dan Schichman dalam Manahan (2012), pengembangan budaya sesuai tuntutan sejarah ialah membentuk kondisi organisasi yang dapat mengidentifikasi tuntutan berdasarkan komitmen sejarah dari orang-orang terdahulu yang dianggap sebagai “pahlawan”. Penulis berasumsi bahwa jika sebuah organisasi – seperti sekolah – belum memiliki budaya yang kuat, maka merancang budaya sekolah juga harus diawali dengan mengidentifikasi tuntutan sejarah. Jadi, masih sejalan dengan pengembangan budaya oleh Cross dan Schichman.
Langkah pertama adalah mengidentifikasikan tuntutan komitmen sejarah dari orang-orang terdahulu yang disebut sebagai “pahlawan”. Ide konsep dari pahlawan tersebut terbentuk berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan kerumitan permasalahan yang menurut mereka harus diatasi  dan akan dihadapi (Manahan, 2012). Pertanyaan yang muncul adalah siapakah “pahlawan” di sekolah? Terrance Deal (1985), dalam Hoy dan Miskel (2014), mengemukakan bahwa kepala sekolah sebagai pahlawan yang mewujudkan nilai-nilai utama. Sementara, karyawan sebagai pahlawan situasional. Dalam lingkup sekolah swasta, selain kepala sekolah, koordinator yayasan bisa disebut sebagai “pahlawan”.
Sebagai contoh, ketika guru-guru menghadapi permasalahan dengan orang tua siswa, kepala sekolah harus membela guru-gurunya bahkan ketika tekanan dari orang tua semakin kuat. Pembelaan kepala sekolah terhadap guru-gurunya bisa menjadi nilai baru, bisa pula menjadi simbol kerekatan dan kesetiaan di lingkungan sekolah. Kisah pembelaan ini akan terus menerus diceritakan kepada guru baru nantinya. Dengan kata lain, ada transfer nilai dan simbol. Inilah budaya organisasi baru.
Contoh lain, ketika terjadi konflik ide/gagasan antar guru atau konflik dengan kepala sekolah sendiri. Pemecahan konflik harus dimusyawarahkan bersama dengan memilih gaya pemecahan yang tepat, kolaborasi misalnya; bukannya baku-hantam karena perbedaan pendapat. Kebiasaan bermusyawarah menjadi budaya baru bagi sekolah dan terus-menerus dipertahankan.
Cita-cita dan harapan pendidikan masa depan bisa juga dijadikan sebuah budaya. Misalnya dalam menghadapi globalisasi, hilangnya batas antar bangsa, maka penting sekali menguasai Bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya. Sekolah wajib menyediakan kegiatan belajar tambahan tentang penguasaan bahasa asing untuk memfasilitasi peserta didik menguasai bahasa asing. Budaya belajar bahasa asing menjadi budaya sekolah dengan tetap mempertahankan bahasa lokal dan bahasa nasional. Artinya, sekolah tersebut menyiapkan peserta didiknya untuk menghadapi tantangan globalisasi.

MERANCANG BUDAYA ORGANISASI SEKOLAH (1)

MERANCANG BUDAYA ORGANISASI SEKOLAH

ARIS PRIMASATYA ZEBUA, S.Pd*
*Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia

Abstraksi
Budaya adalah norma sosial, cara berperilaku, tingkah laku, kepercayaan, simbol-simbol, warisan yang dipegang dan dilakukan oleh mayoritas orang dalam suatu masyarakat. Budaya organisasi adalah sebuah usaha untuk mendapatkan perasaan, kesan, atmosfir, karakter, atau gambaran sebuah organisasi. Adapun fungsi utama budaya adalah sebagai peran batas-pendefinisian; budaya menciptakan perbedaan di antara sekian banyak organisasi. Organisasi pendidikan atau sekolah juga memilik budaya tersendiri. Bagaimana merancang budaya organisasi pendidikan? Sebagaimana organisasi lainnya, langkah pertama, adalah mengembangkan tuntutan sejarah sambil belajar dari “pahlawan”. Kedua, meningkatkan kreativitas dan pemahaman akan keutuhan. Ketiga, promosi dan pemahaman tentang anggota. Dan terakhir, tingkat pertukaran informasi di antara anggota. Keempat metode ini bila dianalisis dan disatukan kembali, maka akan menciptakan budaya organisasi pendidikan yang baru.
Kata kunci: budaya, budaya organisasi, pendidikan, sekolah

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
“Pendidikan adalah senjata paling mematikan di dunia, karena dengan itu Anda dapat mengubah dunia.” Kalimat tersebut diucapkan oleh seorang tokoh dunia yaitu Nelson Mandela. Pendidikan memegang peranan penting dalam perkembangan sebuah bangsa. Di Indonesia, pendidikan mendapat perhatian yang besar dari pemerintah dengan mengalokasikan 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk kepentingan pendidikan.
Manusia mendapatkan pendidikan pertama kali dalam keluarga. Manusia mendapatkan nilai-nilai kehidupan berawal dari lingkungan keluarga. Kemudian seiring berjalannya waktu manusia pun bertumbuh dan bersosialisasi dengan masyarakat atau lingkungan sekitar. Manusia dipengaruhi juga oleh lingkungan tempat tinggalnya. Nilai-nilai yang ada dalam masyarakat bisa memengaruhi seseorang. Tidak hanya sampai di situ, ada juga yang disebut sebagai pendidikan formal yaitu sekolah. Sekolah adalah tempat seorang pribadi mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Sekolah adalah lembaga jasa yang berkomitmen pada dunia belajar-mengajar (Hoy dan Miskel, 2014).
Sekolah merupakan sarana yang secara sengaja dirancang untuk menjalankan pendidikan. Semakin maju suatu masyarakat, semakin penting peranan sekolah dalam mempersiapkan generasi muda sebelum masuk dalam proses pembangunan masyarakat itu. Peran masyarakat dalam pendidikan memang sangat berkaitan dengan perubahan cara pandang masyarakat terhadap pendidikan. Hal ini tentu saja bukan hal yang mudah untuk dilakukan.
Sekolah adalah lembaga pembelajaran; tempat para partisipan (peserta didik) terus menerus mengembangkan kapasitas mereka dalam mencipta dan meraih, tempat mendorong kemunculan pola-pola pemikiran baru, tempat penumbuhan aspirasi kolektif, tempat partisipan mempelajari cara belajar bersama,  dan tempat organisasi memperluas kapasitasnya akan inovasi dan pemecahan masalah (Senge, 1990; Watkins dan Marsick, 1993; dalam Hoy dan Miskel, 2014).
Sebagai sebuah lembaga-pembelajaran sekolah tidak hanya terdiri dari peserta didik. Di sekolah ada kepala sekolah, tenaga pendidik (guru), tenaga kependidikan, dan juga lingkungan, gedung, dan fasilitas. Artinya sekolah merupakan sebuah organisasi. Sebagai sebuah organisasi, sekolah memiliki tujuan bersama, nilai, simbol, seremoni; budaya organisasi. Agar tercipta sekolah yang efektif, maka penting sekali untuk membangun/merancang suatu budaya organisasi pendidikan (budaya sekolah) yang baru dan terbuka; sebuah budaya yang membawa karakter tersendiri bagi masyarakat sekolah dalam menjalankan fungsi kemanusiaannya dalam keluarga, masyarakat, serta bangsa dan negara.

Kamis, 16 Juli 2015

Manajemen Waktu Efektif

MANAJEMEN WAKTU EFEKTIF
"Bisnis utama kita adalah untuk tidak melihat apa yang terletak samar-samar di kejauhan, tetapi untuk melakukan apa yang jelas ada di tangan." - Dale Carnegie

Manajemen waktu adalah bagian penting dari kehidupan sehari-hari. Sering kali itu adalah akar penyebab stres, tantangan produktivitas, dan isu-isu lain yang berasal dari stres. Dengan memahami bagaimana mengelola waktu Anda secara efektif, Anda dapat lebih baik mengantisipasi masalah dan mengembangkan solusi lebih awal.
5 Wilayah Kritis untuk Melaksanakan Manajemen Waktu Efektif
Sikap dan Stres: Ketika kita memiliki sikap positif dan menjaga emosi kita terkendali, kita berada dalam posisi yang lebih baik untuk mengelola waktu secara efektif. Sikap antusias dan santai memberikan pikiran yang jernih untuk merencanakan.