Kamis, 24 Maret 2016

Nilai Hidup

Nilai adalah sesuatu yang dimaknai, diresapi, dijadikan ukuran dan landasan dalam bersikap dan berperilaku. Nilai yang dianut seseorang bisa berasal dari pengalaman sendiri maupun dari orang lain (seperti orang tua, guru, atau tokoh agama). Biasanya manusia berperilaku sesuai nilai yang dianutnya. Arti lain, nilai yang dianut tercermin pada perilaku.

Ada dua jenis nilai, pertama, nilai terminal yaitu keadaan akhir kehidupan yang diinginkan; tujuan yang orang ingin capai selama hidupnya. Kedua, nilai instrumental yaitu cara atau perilaku yang lebih disukai untuk mencapai nilai terminal. Misalnya, seseorang menginginkan kehidupan nyaman (nilai terminal) dalam hidupnya. Untuk mencapai hidup nyaman tersebut, orang itu bekerja keras siang-malam (nilai instrumental). Jadi setiap hari orang tersebut terlihat sangat giat bekerja.

Contoh lain, ada seseorang malu berjalan kaki atau naik angkutan umum, sehingga ia berupaya untuk memiliki mobil pribadi. Nah, bisa jadi orang tersebut menginginkan pengakuan masyarakat atas dirinya dengan cara memiliki mobil pribadi. Pengakuan masyarakat merupakan nilai terminal sementara memiliki mobil merupakan nilai instrumental orang tersebut.

Sebuah fenomena di bangsa kita Indonesia yaitu intoleransi. Sekelompok golongan tertentu mengklaim diri atau keyakinan merekalah yang  benar. Kalau diselidiki, nilai yang mereka anut mungkin adalah ingin menegakkan keyakinan mereka tersebut. Dan untuk menegakkan hal tersebut mereka bergiat untuk "menghabisi" atau menyingkirkan orang yang tidak sepaham dengan mereka. Bahkan melarang umat lain beribadah dan/atau mendirikan tempat ibadah. Nilai terminal golongan tersebut adalah menegakkan kebenaran versi mereka. Sedangkan, nilai instrumentalnya adalah giat menyingkirkan orang yang tidak sepaham dengan mereka. Karena itu, wajar kalau mereka melakukan kekerasan.

Berbeda dengan kekristenan. Nilai terminal orang Kristen adalah memuliakan Tuhan dan menikmati kasih-Nya. Karena itu, perilaku Kristen selalu menunjukkan kasih, pengampunan, kelemahkelemah-lembutan, kerendahan hati, dll. Itu semua adalah nilai instrumental. Nilai hidup orang Kristen bisa seperti itu karena orang Kristen telah beroleh keselamatan di dalam Kristus Yesus. Sangat kontras dengan yang bukan Kristen. Mereka berjuang berbuat baik hanya untuk mendapatkan keselamatan yang bahkan tidak pasti. Bagi orang Kristen, berbuat baik adalah ungkapan syukur karena sudah memperoleh keselamatan.

Ada pepatah berkata bahwa sesungguhnya manusia adalah kumpulan dari nilai-nilai yang dianutnya. Nilai yang dianut cenderung bersifat stabil kecuali ada peristiwa/pengalaman tertentu yang dialami. Contohnya Rasul Paulus, segala sesuatu (nilai-nilai) yang dulu dianggapnya berharga (identitas, aktivitas, kekuasaan, penganiaya orang Kristen) sekarang menjadi sampah karena pengenalannya akan Kristus.

Seharusnya nilai hidup kita tidak tergantung lagi pada "apa kata dunia" atau kehendak diri melainkan "apa yang Tuhan kehendaki". Sehingga kita tidak perlu malu dengan keadaan kita yang seadanya, tidak perlu membandingkan diri dengan orang lain. Dan juga, tidak memandang orang lain karena penampilan, harta, atau kekuasaan.

Sekarang, apa nilai hidupmu? Apa yang membuatmu semangat bekerja/melayani? Apa yang membuatmu malu dalam hidup ini?

Selamat Jumat Agung!

Rabu, 16 Maret 2016

Anak bukanlah Miniatur Orang Dewasa

Ada sebuah kalimat berkata, "dunia diselamatkan oleh napas anak-anak sekolah". Saya mengartikannya bahwa anak-anak sekolahlah yang akan menyelamatkan dunia ini dari kehancuran. Merekalah generasi penerus umat manusia di bumi ini. Pihak pertama dan utama yang bertanggung jawab atas pendidikan anak adalah orang tua. Karena keterbatasan kemampuan orang tua, maka pihak kedua yang dipercayakan untuk pendidikan anak adalah guru di sekolah.

Satu hal yang perlu diketahui oleh pendidik adalah bahwa anak bukanlah miniatur orang dewasa. Anak memiliki kepribadian sendiri. Dan tujuan pendidikan adalah untuk membentuk mereka menjadi manusia seutuhnya. Karena itu, seorang pendidik jangan bangga dulu bila menguasai materi pelajaran, rumus-rumus, teori-teori, dll. Itu memang baik. Tapi bukan yang pertama dan utama.

Seorang anak harus diajar untuk berpikir. Dengan kata lain, menghidupkan akalnya. Guru yang "tampaknya" menghafal banyak rumus misalnya, lalu murid merasa kagum, tidaklah menghidupkan akal si murid. Mereka hanya mengagumi "kepandaian" sang guru. Sementara mereka belum tentu memahami apa pun. Sebaiknya, guru merangsang daya pikir anak sehingga mereka membangun pengetahuan sendiri di bawah bimbingan guru. Pengetahuan yang diperoleh kemudian dikaitkan dengan kehidupan nyata. Ini lebih penting ketimbang menghafal banyak teori, rumus, dll, tapi lepas dari realitas. Buatlah anak menggunakan akalnya, bukan "mencocokkan" pikiran orang dewasa ke anak.

Hal yang perlu disadari oleh pendidik adalah bahwa pengetahuannya sudah diperoleh lebih dulu, bahkan sudah diajarkan berulang kali. Jadi bukan hal luar biasa. Karena anak bukan miniatur orang dewasa, maka baiknya pendidik memahami keunikan pribadi masing-masing anak.

Ada perbedaan antara anak dan orang dewasa dalam memandang realitas. Terlebih lagi dalam memandang sesuatu yang abstrak (teori dan rumus-rumus). Karena itu, penting sekali mengaitkan hal yang abstrak tersebut ke realitas. Agar murid memahaminya dengan mudah. Dan, dengan itu, pengetahuan yang mereka peroleh menjadi bermakna dan bermanfaat untuk menyelamatkan dunia.