Sabtu, 07 Oktober 2017

Pelanggan Sekolah



Intitusi pendidikan (sekolah atau perguruan tinggi) adalah institusi pemberi jasa. Namun pertanyaannya, siapakah pelanggan (penerima jasa) sekolah? Ada dua jenis pelanggan di sekolah dari perspektif manajemen mutu sekolah.

Pertama, pelanggan eksternal. Pelanggan eksternal utama adalah pelajar. Lalu pelanggan eksternal kedua adalah orang tua, kepala daerah, sponsor. Pelanggan eksternal ketiga adalah pemerintah, masyarakat luas, dan bursa kerja.
Kebutuhan dan gagasan para pelajar seharusnya menjadi fokus utama dari setiap institusi pendidikan. Pelajar adalah alasan utama berdirinya sebuah sekolah dan reputasi sekolah terletak di pundak pelajar. Dan kebutuhan pelajar bukan hanya belajar dan terus belajar (apalagi dalam kondisi tidak nyaman), melainkan juga bermain, bersosialisasi, berorganisasi, menunjukkan bakat dan talenta melalui wadah-wadah yang mendukung. 

Pengelola pendidikan harus peka terhadap kebutuhan pelanggan eksternal. Memang akan terbentur dengan mekanisme dana, tetapi, jika direncanakan dengan baik, maka pasti bisa dilaksanakan. Pelajar dan orang tua akan tertarik pada perubahan yang diciptakan oleh sekolah, bukan pada namanya

Rabu, 27 September 2017

Self-Esteem (Harga Diri)



Apakah pekerjaan kita membuat kita lebih berharga atau lebih bangga? Atau sebaliknya, kita malah malu mengungkapkan apa pekerjaan kita, dimana kita bekerja, dan bagaimana suasana pekerjaan di kantor kita. 
 
sumber: google image
Self-esteem adalah tingkatan seseorang menyukai, menghargai, dan dipuaskan dengan dirinya. Self-esteem juga diartikan sebagai keyakinan seseorang menilai dirinya berdasarkan pada evaluasi diri secara umum. Self-esteem berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk menilai diri dan citra diri. Orang dengan self-esteem lebih tinggi memiliki sikap, perasaan, dan kepuasan hidup yang positif dan tidak terlalu cemas, putus asa dan depresi. Orang yang memiliki self-esteem tinggi menangani kegagalan dengan lebih baik daripada orang dengan self-esteem rendah. Jika self-esteem Anda rendah dan Anda tidak percaya dengan kemampuan berpikir Anda, maka Anda mungkin takut mengambil kesimpulan, lemah dalam bernegosiasi dan keahlian interpersonal, serta menjadi malas dan tidak dapat berubah.

Sabtu, 23 September 2017

Mengenal Diri Sendiri (Konsep Diri)


Pernahkah Anda menghadapi teman kuliah, tetangga, teman kerja atau kenalan yang sulit menerima masukan atau ide-ide baru? Adakah teman Anda yang selalu merasa rendah diri dan kurang percaya diri? Atau apakah Anda punya teman yang sombong yang selalu menganggap dirinya rendah hati, baik hati dan lemah lembut kepada orang lain? Apakah Anda punya teman yang tidak suka menerima teguran karena ia selalu merasa dirinya baik-baik saja?
sumber: google image


Semua kita pernah menghadapi orang yang ditanyakan di atas. Bahkan secara  tidak sadar kita pun telah menjadi orang seperti di atas terhadap sesama kita. Lalu apa masalahnya? Masalahnya ada pada pengenalan diri. Socrates pernah berkata “kenalilah dirimu”. Mengapa harus bertanya seperti itu? Bagaimana kita sampai tidak kenal dengan diri kita sendiri?
Mungkin banyak orang menganggap mengenal diri mereka sendiri. Sehingga tidak membutuhkan apa kata orang lain. Tetapi, hal ini harus diuji. Kalau benar seseorang mengenal dirinya sendiri, maka ia tidak perlu hidup dari opini orang lain tentang dirinya. Sekalipun orang lain berkata sesuatu tentang dirinya, ia tidak akan terpengaruh. Namun, jika ia sampai terpengaruh dan sibuk memikirkan apa kata orang tentangnya, maka orang tersebut belumlah mengenal dirinya sendiri. Ia tidak lulus ujian.
Apakah penting kita mengenal diri sendiri? Tentu sangat penting. Ini adalah langkah awal untuk mengenal dunia luar dan mengevaluasi diri secara terus-menerus. Kita memulai dengan pertanyaan “siapakah aku?” Pertanyaan ini sederhana―pertanyaan terbaik adalah pertanyaan sederhana. Namun, banyak orang tidak peduli dengan pertanyaan sederhana ini.
Dalam teori kepribadian, usaha untuk memahami diri sendiri disebut konsep diri (self-concept). Konsep diri adalah tentang “siapa aku” dan “bagaimana aku merasa tentang diriku”.

Minggu, 10 September 2017

Guru Masa Lalu v.s. Guru Masa Kini




Guru Masa Lalu

Paradigma guru masa lalu: pada abad 20 (antara 1901 – 2000) adalah masa dimana ilmu pengetahuan diidentifikasi sebagai sebuah "konsep" pengetahuan. Pengetahuan tersebut ditransfer kepada siswa. Guru adalah penguasa kelas, sumber ilmu pengetahuan, dan dianggap “serba-tahu”. Ceramah adalah metode mengajar favorit. Sebaliknya, siswa adalah peserta yang kepalanya siap diisi oleh pengetahuan baru. Siswa disebut pintar, jika siswa tersebut mampu memroses pengetahuan dalam memorinya dan mampu menjawab semua pertanyaan yang diajukan guru. Kemampuan awal yang dituntut adalah menghafal/mengingat. Pada abad ini pendidikan direduksi hanya sekadar mengingat, memahami, dan mengamalkan. Dengan kata lain, kemampuan berpikirnya hanya pada level rendah. Atau disebut sebagai lower order thinking skills (LOTS). Apabila ada orang-orang tertentu yang mampu menemukan hal baru, itu hanya sedikit dan biasanya dicap sebagai “pemberontak”di kelas.

Guru Masa Kini

Posisi guru saat ini yaitu abad 21 (antara 2001 – 2100). Menurut world forum economic, kemampuan pertama yang harus dimiliki abad ini adalah complex problem solving, disusul oleh critical thinking dan  creativity. Kemampuan ini hanya bisa dicapai jika (dan hanya jika) ada perubahan paradigma pendidikan dari LOTS ke HOTS (higher order thinking skills). Pada abad ini, proses pendidikan harus mencapai tingkat “menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta”. Tiga kata inilah (analisis-evaluasi-cipta) yang seharusnya dipraktikan di kelas-kelas masa kini – tanpa mengabaikan atau membuang LOTS tentunya.

Selasa, 30 Mei 2017

Bedanya Hukuman dan Kekerasan dalam Pendidikan



Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh guru di sekolah adalah bagaimana memberikan hukuman yang tepat kepada peserta didik. Tidak hanya guru, termasuk pula orang tua. Salah memberikan hukuman bisa dianggap sebagai kekerasan kepada anak. Untuk lebih memahaminya kita perlu mengetahui perbedaan antara hukuman dan kekerasan.

Selasa, 02 Mei 2017

Problematika Pendidikan Indonesia



Sebuah catatan sederhana di hari pendidikan nasional 2017 tentang problematika pendidikan di Indonesia.
 
Saat memperingati hari pendidikan nasional, apakah kita bertanya kira-kira seperti apa kondisi pendidikan kita saat ini? Masih berlakunya dua sistem pendidikan yaitu kurikulum 2006 dan 2013 menandakan kondisi pendidikan kita masih kurang baik. Katanya kurikulum baru, kurikulum nasional/kurnas, sudah diberlakukan di semua sekolah. Nyatanya, masih banyak sekolah kebingungan tentang ini. Selain kurikulum, masih banyak lagi ditemukan penyimpangan seperti penyalahgunaan dana BOS, penyimpangan pengurusan tunjungan sertifikasi, dan termasuk berbagai tindakan kekerasan di sekolah. Belum lagi masalah klasik yaitu birokrasi yang korup, guru yang malas baca buku, guru jarang masuk, dll.

Masalah Kurikulum
Pemerintah sebenarnya sudah mulai membenahi masalah kurikulum. Hanya saja terlalu lamban. Mungkin karena kurikulum masih di bawah kekuasaan tertentu. Kurikulum adalah jalan menggapai tujuan pendidikan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Siapa yang dicerdaskan? Tentunya peserta didik. Bagaimana mereka dicerdaskan? Di sinilah masalahnya. Demi kepentingan tertentu (pemilik modal atau penguasa), maka muatan kurikulum pun diatur untuk kepentingan tersebut. Seperti kita ketahui bersama bangsa ini rasa-rasanya dikuasai oleh golongan tertentu saja. Asal ada uang, maka berkuasa. Bagi mereka, jika generasi penerus bangsa menjadi cerdas dan kritis, maka bisa menggoyahkan kekuasaan mereka kelak.

Seharusnya kurikulum mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mencerdaskan, maka harus disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik dan bukan kebutuhan golongan tertentu. Untuk memulainya, pendidikan harus sesuai dengan budaya yang ada. Sebab manusia adalah makhluk yang menyejarah. Proses pendidikan terjadi di dalam masyarakat yang berbudaya dan oleh sebab itu pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan suatu masyarakat. Sayangnya pendidikan kita telah lepas dari akar budaya kita sendiri. Dalam budaya Indonesia, prinsip gotong royong merupakan nilai budaya utama. Prinsip gotong royong tercermin dari perilaku saling membantu, kerja sama, komunikasi, kerja keras untuk menciptakan kehidupan bersama yang lebih baik. Sementara, prinsip persainganlah yang menjadi corak pendidikan Indonesia selama ini. Prinsip persaingan berakar dari paham liberal atau paham sosial Darwinisme. Prinsip persaingan menekankan “siapa yang kuat dialah pemenang”.

Prinsip persaingan telah melahirkan ratusan bimbingan belajar (bimbel) yang sebenarnya tidak memberi kontribusi mencerdaskan kehidupan bangsa. Bimbel justru melemahkan daya pikir anak. Korea Selatan telah memahami ini jauh sebelumnya, sehingga di negara mereka bimbel justru dilarang. Bimbel merupakan lembaga pendidikan bayangan. Prinsip persaingan juga membuat kita melihat ke luar. Membandingkan diri dengan negara maju yang jelas budayanya berbeda dengan kita. Sehingga kita tidak melihat masalah konkrit yang terjadi di bangsa kita sendiri. Prinspip persaingan juga melahirkan sekolah-sekolah “elit” yang hanya bisa dijangkau oleh orang kaya. Oleh karena itu, kurikulum kita seharusnya tidak lagi mengutamakan prinsip-prinsip persaingan. Konkritnya, sistem rangking sebaiknya dihapuskan, perekrutan siswa/mahasiswa baru tidak lagi berdasarkan rangking karena sangat rawan kecurangan nilai, penilaian autentik sebaiknya diterapkan namun sebelumnya guru perlu dilatih akan hal ini karena selama ini guru pun “bermain-main” dalam memberikan nilai.

Kekerasan di Sekolah
Salah satu dilema yang dihadapi oleh pendidik saat ini adalah pemberian hukuman kepada siswa yang biasanya dianggap sebagai tindakan kekerasan. Memang pemberian hukuman dan tindakan kekerasan memiliki perbedaan yang sangat tipis. Hukuman dan kekerasan sama-sama bersifat menyakiti atau melukai baik fisik maupun psikis. Tujuannya adalah untuk menghentikan perbuatan-perbuatan tertentu dari peserta didik. Lalu apa perbedaannya? Hukuman lebih dilandasi komitmen moral, dilakukan dalam rangka mendidik, mempertimbangkan perkembangan mental anak, dan diberikan secara konsisten. Sedangkan kekerasan dilakukan bukan dalam rangka mendidik, disertai emosi dan dampaknya membahayakan anak.

Beberapa tindakan guru yang dikategorikan kekerasan seperti memukul, menejewer, membentak, siswa disuruh lari keliling lapangan, mengusir siswa dari kelas, menjemur siswa, dan sebagainya, hingga ada yang melakukan kekerasan seksual. Semua tindakan tersebut dikategorikan kekerasan karena sering tindakan tersebut tidak mendidik dan tidak konsisten terhadap kesalahan anak. Misalnya, ketika siswa tidak mengerjakan latihan yang diperintahkan guru, maka siswa tersebut diusir dari kelas. Tindakan guru biasanya tanpa evaluasi diri atau mencari tahu penyebab si anak tidak mengerjakan tugasnya, atau guru tersebut merasa diremehkan, dlsb. Hukuman tidak konsisten terhadap perilaku anak, itulah kekerasan.
Saya pikir, mungkin perlu bagi seorng guru mempelajari dan mendalami tentang pemberian hukuman yang tepat kepada peserta didik agar tidak terjerumus pada tindakan kekerasan. Berbagai tinjauan bisa dilakukan seperti tinjauan dari sisi sosiologi, psikologi, ataupun agama.

Guru Malas Baca
Saya pikir inilah masalah utama pendidikan Indonesia. Guru malas membaca. Ujung tombak pendidikan justru tidak mencerminkan karakteristik seorang intelektual. Seorang intelektual selalu membahas ide-ide (gagasan) besar. Orang yang senang dan tidak jemu membahas gagasan. Orang yang selalu memikirkan kaitan antara satu bidang kehidupan dengan bidang kehidupan lainnya. Orang yang selalu membuka diri untuk bertukar pikiran. Orang yang mempertaruhkan gagasannya. Orang yang memiliki komitmen moral yang kuat; memiliki keprihatinan yang nyata terhadap nilai-nilai inti dari masyarakat. Bagaimana seorang guru membahas gagasan dengan siswanya, jika tidak pernah membaca buku? Jika guru hanya menguasai materi yang sama bertahun-tahun? Guru seperti apa yang akan diteladani seorang murid? 

Implikasi dari malas membaca yang ditularkan guru kepada muridnya adalah kurangnya wawasan, kurangnya kemampuan berpikir kritis, sehingga mudah disusupi oleh isu-isu yang berpotensi memecah belah bangsa. Mungkin hal ini menjadi penyebab mudahnya generasi penerus diprovokasi menggunakan isu-isu rasial. Ketidakmampuan memilah (menganalisis) bacaan membuat seseorang mudah dipengaruhi oleh isu-isu negatif. Dan justru ketidakmampuan tersebut diperoleh dari sekolah. Sebuah ironi pendidikan.

Begitu banyak problematika di dunia pendidikan kita. Dan dibutuhkan komitmen yang kuat dari berbagai pihak – pemerintah, birokrat, masyarakat, keluarga, dan para pendidik – untuk membenahi pendidikan kita. Langkah-langkah pemerintah perlu didukung dan diawasi, meskipun saat ini belum ada gebrakan dari pemerintah. Mungkin yang paling utama adalah memastikan sistem pendidikan nasional apa yang diterapkan di sekolah-sekolah, sehingga tidak ada lagi dualisme kurikulum. Semoga menteri pendidikan berani mengambil langkah.


Sumber bacaan:
Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.sc.Ed. Pengembangan Kreativitas dan Entrepreneurship dalam Pendidikan Nasional.
Dr. M. Djamal, M.Pd. Fenomena Kekerasan di Sekolah.
Dr. Daoed Yoesoef. 10 Wacana tentang Aneka Masalah Kehidupan bersama.

Jumat, 28 April 2017

Biodata Aris Primasatya Zebua



Nama lengkap
ARIS PRIMASATYA ZEBUA.

Tempat dan tanggal lahir
Gunungsitoli, xx Ju*i 19xx. 
Tumbuh besar, meski badan tidak tinggi, sampai SMA di Desa Luaha Laraga (Kalau belum tahu daerahnya, silakan cek di google map ya. Sudah ada lho....)

Alamat
Saat ini tinggal di Cibinong, Bogor. Ke depannya mungkin bisa berpindah-pindah. Sebelum di Cibinong, saya tinggal di Cawang, Jakarta Timur. Sebelumnya lagi tinggal di desa.

Pendidikan
Tahun 2014 - 2016, saya menyelesaikan studi S2 jurusan administrasi pendidikan dan memperoleh gelar magister pendidikan (M.Pd) di Program Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia.

Tahun 2005 - 2009, saya mengambil sudi S1 jurusan pendidikan fisika dan memperoleh gelar sarjana pendidikan (S.Pd) di Universitas Kristen Indonesia.

Tahun 2002 - 2005, bersekolah di SMA Negeri 3 Plus Gunungsitoli, Nias.

Tahun 1999 - 2002, bersekolah di SMP Swasta Pembda 1 Gunungsitoli, Nias.

Tahun 1993 - 1999, bersekolah di SD Negeri 074038 Tohia, Gunungsitoli, Nias.

Pernah juga mengalami masa taman kanak-kanak di TK Hanna Blindow.

Karier
Setelah lulus S1, bekerja di lembaga bimbingan belajar khusus sains yaitu Galileo Junior hingga tahun 2011. Dulu sebagai pengajar sains dengan metode eksperimen sederhana dan pengembang program pengajaran sains untuk anak.

Tahun 2011 - sekarang, saya mengajar di Sekolah Eka Wijaya Cibinong sebagai guru fisika dan matematika tingkat SMA.

Hobi
Saya suka membaca buku. Untuk komitmen baca, saya selalu menyisihkan penghasilan untuk membeli minimal satu dua buku sebulan. Membaca adalah manifestasi berpikir. Buku yang dibaca bervariasi - novel, cerpen, filsafat, ilmu pengetahuan, buku rohani, dll. Selain baca buku, kadang-kadang, saya bermain gitar. Gitar pinjaman hahaha.

Tulisan
Beberapa tulisan sederhana saya dapat dibaca dan/atau di-download di academia edu

Saya juga aktif di media sosial seperti facebook, twitter dan tumblr. Tumblr itu tempatku menulis puisi dan curhatan lainnya. Sekarang sudah punya akun instagram (Aku agak ketinggalan soal ini). 

(Edited, 14/3/2019)

Rabu, 05 April 2017

Atas Nama Agama

Menanggapi kekerasan atas nama agama, serta pelarangan beribadah, aku teringat sebuah kalimat pembuka suatu buku: "Pada mulanya manusia menciptakan Tuhan yang menciptakan langit dan bumi". Sebenarnya kalimat itu merupakan kritik terhadap orang yang percaya pada Tuhan. Manusialah yang menciptakan Tuhan. Manusialah yang berkuasa. Oleh karena itu, sekelompok orang yang merasa paling benar berhak menindas orang yang tak sepaham dengan mereka. Melarang orang lain beribadah sebab mereka telah menciptakan tuhannya sendiri. Tuhan yang mereka inginkan adalah tuhan yang melarang orang lain beribadah — tuhan yang memaksa. Bukan Tuhan yang penuh belas kasih dan adil. 

***


Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Allah juga yang menciptakan manusia. Jadi, Allah adalah mahakuasa. Dan di hadapan Allah semua manusia adalah sama. Jika memiliki paham seperti ini, maka manusia sebenarnya tidak berhak menghakimi sesamanya, apalagi menindas. 


Selanjutnya, keyakinan pada suatu kebenaran bukanlah kebenaran itu sendiri. Berteriak "BENAR" dengan keras pun tidak membuktikan sesuatu benar. Hanya satu, satu-satunya, Pribadi yang berkata, "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup..." yaitu Tuhan Yesus Kristus. Tidak ada tokoh, bahkan nabi besar, yang pernah berkata demikian, sebab mereka tahu mereka hanyalah manusia biasa.

Lalu bagaimana menanggapi orang yang berbeda agama dgn kita? kenalkanlah mereka pada kebenaran, yaitu Yesus Kristus. Bukan ditindas seperti yang dilakukan sekelompok orang tertentu.

Intoleransi

Mengapa intoleransi ada?

Salah satu masalah bangsa kita adalah adanya kelompok intoleran yang sulit sekali "dibasmi". Tapi mengapa bisa terjadi?

Sebuah analisis dari seorang tokoh pendidikan kritis, Paulo Freire, mengenai hal ini. Pertama, adanya ketidakamanan (baik psikologis, emosional, politis, ideologis, dan ilmiah). Gabungan ketidakamanan ini membuat seseorang memilih posisi sektarian, artinya membangun tembok di sekitar dan diterima sebagai satu-satunya kebenaran, lalu memaksa orang lain menerapkannya demi pembebasan mereka. Tapi, karena belum yakin betul mengenai kebenaran itu, maka orang lain dilarang mempertanyakannya.

Kedua, lemahnya kepercayaan terhadap orang lain. Orang lain dianggap tidak mampu melakukan sesuatu yang luar biasa. Tidak mampu menciptakan sejarah. Ini juga bisa terjadi karena ketakutan pada reaksi orang lain. Tidak siap menerima kritik atau risiko.

Mungkin inilah yang terjadi di bangsa kita. Ketidakstabilan dalam berbagai bidang melahirkan kelompok-kelompok yang menganggap diri sebagai pembebas. Kebenaran versi kelompok tertentu dijadikan satu-satunya jalan keluar. Ketika ada kelompok lain yang berseberangan paham, maka dianggap pengganggu—yang harus dilawan dan dimusnahkan. Sayangnya, kelompok intoleran ini tidak siap dengan reaksi atau kritik dari orang lain. Sehingga mereka makin giat membangun tembok mereka sendiri sambil menghancurkan tembok orang lain.