Minggu, 12 Januari 2020

Aku, Kamu dan Dia


Hai, kamu.

Aku sudah lama tak mendengar kabarmu. Bolehkah kau memberitahuku sekali saja? Sebab rinduku sudah sebesar gunung; tak dapat kutanggung lagi. Ujung rindu ini sudah tak mampu kudaki lagi.

Aku tahu aktivitasmu pasti sangat padat; banyak tugas yang harus diselesaikan. Tetapi, karena kau tidak memberiku kesempatan untuk mendengar kabarmu, maka apa yang bisa kuperbuat? Tidak ada!

Tidak hanya itu, jarak telah memisahkan kita. Aku tidak benci pada jarak. Aku sedikit tidak menyukai ketidakmampuanku menggapaimu. Rasanya seperti ketika aku sedang menatap bintang di malam hari; tak pernah bisa kugapai. Bahkan bintang yang jauh di sana rela menunjukkan dirinya meski hanya terlihat setitik di langit yang mahaluas. Andai kau tahu, kau telah menjadi bintang bagiku.

Aku menuliskan ini untuk melepas semua yang ada dalam kepalaku. Aku akan menceritakan hal-hal yang mungkin kurang menarik bagimu. Lagipula ceritaku kali ini tidak akan beralur; aku menceritakan apa saja yang keluar dari pikiranku, lalu tanganku akan menuliskannya.

Bulan Juni tahun lalu aku pindah ke daerah Serpong. Kota itu asing bagiku meskipun aku pernah ke sana satu-dua kali. Untuk tinggal di sana, belum pernah. Baru kali itulah aku benar-benar pindah dan tinggal di sana di sebuah kontrakan. Tapi aku tidak lama di sana karena lima bulan setelah itu aku pulang kampung.

Aku suka membaca. Itulah yang membantuku setiap berada pada lingkungan baru. Misalnya aku sedang tidak berminat berpergian, aku lebih memilih membaca buku di kamar.

Pada waktu itu aku belum memutuskan akan bergereja di mana. Aku belum tahu gereja terdekat di situ. Jujur saja dua minggu aku tidak ke gereja. Pertama, karena pada minggu pertama aku juga baru pulang dari acara alumni di Bogor. Minggu berikutnya, kalau tidak salah, saat itu aku bangun kesiangan dan sorenya aku ketiduran hehe.

Barulah pada minggu ketiga aku ke gereja. Aku memilih bergereja di HKBP. Tidak jauh dari kontrakanku. Terakhir aku beribadah di HKBP satu kali sekitar 7 tahun lalu di Cibinong. Selebihnya aku bergereja di GKC - Cibinong.

Ada kisah menarik dan manis, meskipun sedikit lucu, ketika aku pertama kali ke HKBP Serpong. Untuk menuju lokasi aku tidak kesulitan karena mengandalkan driver grab hehe. Kemudian aku cukup kebingungan untuk masuk karena di sana terdapat juga gereja Katolik. Untung saja aku sempat menanyakan ke sekuriti yang ada di sana.

Tidak hanya itu, ketika masuk ke dalam ruang ibadah, namanya pertama kali ke sana, belum ada yang kukenal, aku agak kebingungan duduk di sebelah mana. Pikiranku segera berputar: aku akan duduk di dekat perempuan cantik (dasar laki-laki!) hehe. Misi kujalankan.

Kursi masih banyak yang kosong. Kuedarkan pandangku ke seluruh ruang gereja secara cepat sambil menimbang duduk di sisi kiri atau kanan. Aku hampir lupa dengan misiku karena ternyata masih jemaat masih sedikit yang datang. Oh iya, itu ibadah sore jam 5 dan aku datang agak lebih awal.

Itu dia, pikirku, setelah memasuki pintu gereja dan masuk ke lorong kursi di bagian tengah. Di sebelah kiri kulihat seorang perempuan berbaju putih, rambut panjang terurai manis, dan, aha! dia sendirian. Seorang perempuan cantik!  Ini dia yang kucari haha. Aku pun menuju kursi satu baris di belakangnya. Aku duduk di belakangnya agak ke kanan agar bisa kulihat siapa dia. Di sinilah sisi lucunya; ternyata dia adalah rekan guru sendiri hehehe. Kecewa? Tentu tidak sama sekali dong. Dia adalah rekan baru karena aku baru pindah sekolah.

Dia adalah teman kerja. Aku tidak akan beritahu dia ngajar apa, cukup petunjuknya; dia mengajar mata pelajaran yang kurang disukai kebanyakan siswa haha. Aku juga tidak begitu berminat dengan pelajaran itu, dulu!

Sebenarnya aku sedikit malu memikirkan niatku sebelumnya. Tapi kupikir, toh, hanya aku yang tahu (Tuhan juga tahu sih) hehehe. Akhirnya kusapa dia dan meminta izin untuk duduk di sebelahnya. Dia tentu saja mengizinkan. Kupasang wajah datar dan biasa saja (memang sudah datar sebelumnya) untuk menyembunyikan rasa malu, takut ketahuan. Padahal dia pasti tidak tahu - kecuali kalau dia dukun.

Rekan yang kuceritakan barusan (sekarang sudah mantan rekan kerja) lumayan cantik. Aku suka rambutnya dan saat dia ketawa, meskipun tawanya agak pelit. Setidaknya menurutku ya. Sepertinya dia seorang pendiam jika dengan orang baru, tapi kalau sudah dekat mungkin baru terlihat kelakuannya hehehe. Penilaian ini sebenarnya adalah cerminan diriku sendiri yang pendiam dan tak banyak bicara. Hanya dengan orang yang benar-benar kukenal aku bisa “terbuka”.

Mengenai dia, selanjutnya, tidak akan kubicarakan lagi. Aku tahu cerita di atas hanya terdengar lucu bagiku karena aku yang mengalaminya. Entah bagimu. Mengenai dia, secara khusus, nanti akan kutuliskan juga sebuah cerita jika ada kesempatan. Atau, mungkin saja, kelak, dia dan aku menuliskan cerita bersama. Entahlah.

Sejauh ini baru kusadari menulis itu lumayan susah. Apa yang kupikirkan belum tentu bisa kutuliskan sesuai yang kupikirkan kata demi kata, kalimat demi kalimat. Butuh koreksi beberapa kali. Hasil akhirya, ya, seperti ini!

Aku akhirnya pulang. Keputusan pulang bukanlah perkara mudah bagiku. Pulang berarti aku akan kembali ke (dan tinggal di) kampung halaman. Ini berat karena hampir separuh usiaku saat ini berada di perantauan. Banyak hal yang berubah. Bukan berarti aku tidak bisa hidup lagi di desa. Butuh penyesuaian yang cukup besar dari kehidupan di kota ke kehidupan desa.

Aku memutuskan pulang kampung setelah menggumulkannya dalam doa. Jujur saja, tidak mudah untuk memilih pulang. Berbagai pertimbangan, terutama pekerjaan, membuatku cukup lama memilih untuk pulang ketimbang menetap di Serpong. Walaupun pada saat itu aku sudah resign dari sekolah karena alasan kesehatan. Bisa saja aku mencari pekerjaan baru. Tetapi setelah kupikirkan kembali, demi kesehatan, maka kuputuskan untuk pulang. Entah bagaimana ke depannya, sepenuhnya kuserahkan pada tangan pemeliharaan Tuhan.

Seminggu sebelum aku pulang, aku sudah mengirimkan semua barangku dengan memakai jasa kargo. Biayanya lumayan besar. Aku juga sudah memesan tiket pesawat. Namun, beberapa hari sebelumnya, salah satu maskapai membatalkan penerbangan sehingga aku harus memesan maskapai lain. Sampai sekarang uang kembalian alias refund belum ada kabar.
Sehari sebelum pulang, aku pamit ke pemilik kontrakan, lalu menginap di rumah saudara yang ada di Tangerang. Alasannya supaya lebih dekat dari bandara karena jadwal keberangkatanku jam 5 pagi. Aku ke sana dengan grab bike.

Di Tangerang aku sempat berjalan-jalan di sekitar tempat tinggal saudara tadi. Kebetulan malam itu ada pasar malam, jadi banyak orang berdatangan. Kebanyakan berbelanja karena harganya lumayan miring. Pada malam itu aku juga sempat belanja di minimarket untuk keperluan sarapan terutama saat transit esok hari di Kualanamu Airport. Aku akan transit selama 4 jam.

Sekitar jam 4 pagi aku sudah di bandara Soekarno-Hatta. Sebuah insiden kualami. Ternyata salah satu kartu ATM-ku tertinggal. Aplikasi mobile banking-ku telah dinon-aktifkan. Nanti setelah aku di Kualanamu aku baru mengetahui ATM-ku tertinggal di minimarket yang kukunjungi semalam dan kartunya tertelan dalam mesin sehingga otomatis rusak dan oleh karenanya aplikasi tidak bisa diaktifkan.

Subuh itu aku membutuhkan uang untuk membayar biaya tambahan bagasi. Saldo dalam kartu ATM-ku yang lain pun kosong. Karena aku biasa memakai satu kartu saja. Pagi itu aku panik! Jadwal boarding tinggal hitungan menit. Aku mencoba membujuk petugas, tetap tidak bisa. Akhirnya, aku menghubungi saudara tempatku menginap tadi malam. Untung mereka terbangun dan bersedia transfer lewat aplikasi. Itulah keuntungan teknologi, tidak perlu repot-repot ke mesin ATM.

Aku melewati pagi yang berat. Tasku sudah masuk bagasi, pembayaran belum selesai, jadwal boarding hampir habis, aku masih di loket check-in. Aku bisa saja kehilangan penerbanganku dan barang bawaanku. Setelah transaksi selesai, aku berlari menuju tangga, melewati pemeriksaan, dan di gate yang kutuju ada seorang petugas menunggu dan menebak bahwa aku adalah penumpang yang terlambat. Benar saja. Aku penumpang terakhir yang ditunggu. Mungkin sudah beberapa kali namaku dipanggil lewat pengumuman suara.

Akhirnya aku sudah di pesawat. Jantungku berdegup kencang, terengah-engah seperti kehabisan napas, tetapi ada rasa tenang yang tak bisa digambarkan. Pramugari membantu memasukkan tas ranselku ke bagasi kabin. Penerbangan akan ditempuh selama dua jam.

Jam 7 pagi aku berada di Kualanamu Airport. Setiba di ruang tunggu, segera kuhubungi pihak bank untuk mengamankan kartu ATM-ku, yang jangan-jangan telah diambil orang. Pihak bank mengonfirmasi bahwa ATM-ku telah diamankan. Namun, m-banking baru bisa digunakan jika aku ke kantor cabang terdekat. Sialnya, aku sedang di bandara dan di sana tidak ada kantor cabang bank yang kubutuhkan. Kalau aku ke Medan, aku ragu tidak cukup waktu untuk kembali lagi ke bandara untuk penerbangan berikutnya. Dan di kampungku, bank tersebut tidak memiliki cabang.

Apakah kau mengikuti ceritaku sampai di sini?

Aku ingin menyampaikan bahwa pertolongan Tuhan itu tepat waktu. Sesuai dengan apa yang kita butuhkan. Kadang kita lupa membedakan mana kebutuhan mana keinginan. Kepanikanku pagi itu teratasi oleh pertolongan dari saudara. Aku menganggap pertolongan itu berasal dari Tuhan. DIA bisa memakai siapa saja untuk menolong kita, bahkan di saat-saat tersulit dan mustahil. Bayangkan kalau saudara tadi tidak menjawab telfonku karena masih terlelap tidur? Padahal aku sedang membutuhkan pertolongan – penting dan mendesak.

Ngomong-ngomong apa kabar, kamu? Aku selalu berdoa agar kamu selalu dalam keadaan baik dan sehat, meskipun hal itu tidak mungkin. Bisa saja kondisimu sedang tidak baik, kurang sehat, kurang bersemangat. Aku selalu meminta pada Tuhan agar DIA mengirim malaikat penjaga untuk menjagamu setiap saat, terutama di masa-masa sulitmu. Apakah kau merasakannya?

Apapun keadaanmu – baik atau kurang baik, mungkin kamu memiliki kegiatan yang sangat padat, jangan pernah lupa, selalu ingat, untuk tetap memiliki relasi pribadi dengan Tuhan. Memang kadang kita mengalami kondisi jenuh, aku berharap kamu bisa mengatasi itu dengan pertolongan-Nya.

Ada satu petikan Firman yang ingin kubagikan: “semoga Allah, yang adalah sumber ketekunan dan pengiburan, mengaruniakan kerukunan kepada kamu sesuai dengan, sesuai dengan kehendak Kristus Yesus (Roma 15:5)”.

Di ayat itu Paulus menggambarkan Allah sebagai sumber ketekunan. Ya, Dia-lah yang membuat kita mampu bertekun di dalam Dia. Jika dengan kekuatan kita sendiri, kita tidak akan sanggup. Sebab, seperti kukatakan di atas, kita kadang mengalami kejenuhan. Kita punya keterbatasan. Pertahanan diri kita bisa runtuh. Kejenuhan itu bisa saja disebabkan oleh padatnya aktivitas, tekanan dari orang lain, dan/atau berbagai pergumulan lain.

Barangkali itu saja yang bisa kuceritakan di sini. Kalau lebih panjang, aku yakin, kau pasti bosan membacanya. Itu pun kalau kamu memiliki waktu membaca ocehan tidak pentingku ini!

Ingat, aku masih menantikan keajaiban itu. Masih ingatkah kamu? Kau tentu sudah melupakannya. 

airplanes window view of sky during golden hour
sumber: https://unsplash.com/photos/oCdVtGFeDC0

Selasa, 07 Januari 2020

Kemarau Kehidupan


Selamat pagi, siang, atau malam.

Salam di atas sengaja kubuat lengkap karena siapa tahu yang membaca tulisan ini berbeda zona waktu (padahal biar tulisannya kelihatan banyak hehehe). Oke, itu gak penting!

SELAMAT TAHUN BARU!

Beberapa hari ini di Pulau Nias terasa sangat panas. Sejak kedatanganku di sini, hanya beberapa kali hujan deras. Aku pulang  sejak 19 November 2019. Sekarang, pada saat aku mulai menulis ini, tanggal 07 Januari 2020. Itu sebabnya, berita banjir di ibukota dan wilayah lain cukup mengherankan karena di sini malah sangat panas. Banyak orang mengeluhkan betapa panasnya cuaca.

Aku pulang kampung dalam rangka mengistirahatkan tubuh dari berbagai aktivitas rutin dan ‘berat’ karena sebelumnya - pertengahan tahun lalu - aku sakit. Aku sadar kalau aku tetap bekerja di Serpong, aku tidak bisa mengendalikan diri untuk beristirahat secara cukup karena selain bekerja aku juga punya aktivitas tambahan yaitu pelayanan yang biasanya membuatku pulang larut malam. Harus kuakui aku kurang bijak mengatur aktivitas.

Selama di kampung, kegiatanku di rumah tidak banyak, kecuali pada saat pernikahan kakak desember lalu. Maklum, pernikahan di Nias lumayan ‘merepotkan’ karena banyak persyaratan adat yang harus dilakukan. Meskipun demikian, aku tetap menjaga diri untuk tidak bekerja terlalu berat.

Aktivitas yang biasa kulakukan di rumah sangat sederhana seperti menyapu dan mengepel lantai, membersihkan sekitar rumah. Tidak berat sama sekali. Dua hari yang lalu aku ikut membersihkan halaman sebelah kiri rumah. Di sana ada banyak bunga dan tumbuhan, bisa disebut taman, namun banyak sekali gulma atau rumput liar. Aku ikut mencabuti atau memotong rumput sehingga tanaman bisa hidup dengan sempurna. Selain itu, halaman juga terlihat bersih dan indah.

Bunga-bungaan di samping rumah tidak terlihat segar karena panasnya cuaca dan banyaknya gulma yang ikut tumbuh. Jika disiram, maka gulma ikut juga tumbuh. Setelah dibersihkan, baru terlihat lebih indah.

Setidaknya ada dua hal yang kuperhatikan ketika membersihkan taman dan menyiram tanaman.


Pertama, taman yang dipenuhi gulma tidaklah indah. Bunga yang indah bersaing dengan rerumputan liar. Biasanya yang kalah adalah bunga. Pertumbuhan gulma sangat cepat dibanding bunga. Bunga akan layu dan tidak tumbuh dengan baik. Lama kelamaan bisa mati.

Gambaran taman yang dipenuhi gulma ini ibarat kehidupan. Orang-orang percaya sering kali dihadapkan dengan berbagai macam pergumulan atau cobaan. Pergumulan itu bermacam-macam dan tidak pernah ada habisnya. Bagi yang tidak mampu bertahan atau kalah, maka akan mengalami kelesuan dan kehilangan semangat hidup. Mirip dengan itu, sebenarnya Tuhan Yesus telah memberikan perumpamaan benih yang jatuh di tempat yang berbeda serta dengan penjelasannya (Matius 13:1-23).

Kedua, panas terik matahari juga merupakan gambaran ujian atau pergumulan hidup yang bisa membuat kehidupan kita menjadi layu.

Ketika aku menyiram bunga dan tanaman lain di pagi dan sore hari, maka mereka terlihat lebih kuat dan tidak mudah layu ketika mendapat sengatan matahari yang panas. Air memberikan mereka kekuatan untuk menghadapi kerasnya lingkungan.

Ibarat air yang memberikan kekuatan pada tanaman tadi, demikian pula dengan hidup manusia. Kita harus selalu meminum “air kehidupan” agar kita sanggup melewati setiap pergumulan. Kalau tidak,kita akan layu dan binasa. Seperti yang tertulis dalam Yesaya 17:7-8:

“Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN! Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah.”

Agar kita dapat mengalami hidup yang damai, kita harus berharap kepada Tuhan; DIA-lah sumber hidup itu sendiri. Dengan mengandalkan Tuhan, kita tidak takut menghadapi musim “kemarau kehidupan” atau dilanda “kekeringan”. Sekalipun terjadi kemarau dan kekeringan, kita akan tetap menghasilkan buah (07/01/2020).

Hasil gambar untuk kemarau adalah
sumber: liputan6.com