Sabtu, 30 Agustus 2014

air mata

siapa yang mau memperpanjang kesedihan?

kepergianmu
hanya menambah duka
hari hari berlalu
aku semakin galau.

kau yang pernah mengisi hidupku
mengenali kebohongan-kebohonganku;
di depanmu aku selalu gagal berbohong
lalu mengapa kau pergi?

kau, yang pernah mengisi hidupku,
kuminta kau kembali.
apa mungkin kaukembali?
memintamu kembali bukti kekuatanku yang semu
yang selama ini kubanggakan di hadapan semua orang

ini sebuah lelucon hidup
yang garing
yang bikin tawa jadi mati.

tapi tak usah aku bersedih
air mata hanya mengaburkan mataku
yang kulihat selalu bergerak tak jelas
padahal air yang mengalir di mataku-lah
yang menderas.

siapakah yang bisa hilangkan sedih ini?
aku tak ingin memperpanjang kesedihanku.

Sabtu, 23 Agustus 2014

Orang Tua dan Pendidikan

Tulisan sebelumnya membahas tentang gagalnya pendidikan. Sebenarnya masih belum layak disebut tulisan yang baik sih. Tapi tidak masalah, masih belajar menulis. Di sini aku ingin membahas tentang peran orang tua terhadap pendidikan.

Belajar dari alam
Alam ini menyediakan berbagai pelajaran bagi kita. Hanya saja apakah kita mau mengamati dan belajar darinya, itu terserah kita. Secara khusus kita coba perhatikan bagaimana induk ayam merawat anaknya. Setelah menetas sang induk sangat peduli terhadap anak-anaknya. Melindungi mereka dari ancaman pemangsa. Kalau hujan, anak ayam akan berkumpul di balik sayap induknya. Ke mana saja induk pergi ke situlah anak ayam pergi. Mereka meniru bagaimana sang induk mencari makanan - mengais-ngais tanah dengan cakar mereka persis seperti yang dilakukan sang induk. Kaki-kaki imut anak ayam mengikuti kaki sang induk. Hingga lambat laun, anak ayam tersebut bisa mencari makan dan hidup sendiri.

Bagaimana dengan burung? Sama. Si induk dengan rajin mengantarkan makanan ke sarang. Hingga saat anak burung mulai belajar terbang, sang induk akan terbang di sekitar sarang, sehingga anak-anaknya tertarik untuk terbang juga karena melihat induk mereka. Kadang-kadang anak burung itu jatuh, tapi dengan segera ditolong oleh induknya.

Saya pikir demikian juga dengan hewan mamalia atau hewan lainnya. Sang induk merawat, melindungi, membesarkan, dan melatih anak-anaknya untuk bisa bertahan hidup. Bagaimana dengan manusia? Seharusnya lebih dari hewan-hewan tadi. Karena manusia adalah makhluk berpikir dan sosial. Manusia tidak sekadar memikirkan bertahan hidup.

Dari segi pendidikan, belajar dari alam tadi, seharusnya pendidikan merupakan kewajiban orang tua. Seharusnya orang tualah yang bertanggung jawab terhadap pendidikan anak. Inilah tugas dan kewajiban orang tua. Dan tentu kewajiban ini berasal dari Tuhan, sang Pencipta. Tuhanlah yang 'menitipkan' anak kepada orang tua. Untuk apa? Agar si anak mengenal pencipta-Nya dan memuliakan-Nya. Dengan demikian si anak akan menjalankan panggilan hidupnya kelak dengan benar. Anak terlahir dari orang tua, karena itu ia adalah milik orang tua. Dan tidak seorang pun yang mampu memberi kasih kepada anak sedalam kasih orang tuanya sendiri. Orang tua merawat, melindungi, memenuhi kepentingan utama si anak. Terutama pendidikannya.

Bagaimana jika orang tua terpaksa harus memberikan tanggung jawab ini kepada orang lain? Orang lain tersebut  harus mampu berperan sebagai orang tua (pengganti), meskipun tidak sebaik orang tua kandung. Inilah tugas mulia seorang guru; terpanggil menjadi wakil orang tua. Apakah guru mampu memenuhi panggilan ini? Sebagai seorang guru, harus mampu.

Kalau kita melihat zaman sekarang, bagaimana peran orang tua terhadap pendidikan? Kebanyakan diserahkan kepada sekolah. Ini sebuah kesalahan. Orang tua menyangkali panggilannya dengan berbagai alasan. Mulai dari tidak punya waktu karena sibuk kerja hingga perceraian. Suatu hari, aku menyuruh anak menuliskan nama ayahnya di sebuah angket. Tapi dia tidak mau menuliskannya. Aku menanyakan dengan lembut mengapa tidak mau menulis nama ayah. Lama sekali dia menjawab. Akhirnya si anak tersebut berkata bahwa orang tuanya sudah bercerai dan dia tinggal bersama neneknya. Anak menjadi korban.

Selain itu, masih ada juga orang tua yang belum sadar pentingnya pendidikan. Orang tua tidak memberikan teladan yang baik dalam keluarga. Sang ayah merokok di depan anak, sedangkan sang ibu gemar bergosip. Malah memberi contoh buruknya. Pernah suatu kali, kurasa ini bukan pengalamanku sendiri, aku melihat seorang bapak membonceng anaknya di motor sambil melawan arus lalu lintas. Apakah si bapak itu tidak berpikir bahwa kelak anaknya akan meniru perbuatan salah itu? Bagaimana si bapak tersebut mengajarkan tentang mematuhi peraturan kepada sang anak?

Demikianlah sekilas kegelisahan mengenai peran orang tua terhadap pendidikan anak. Semoga orang tua ada yang membaca tulisan ini.

Jumat, 22 Agustus 2014

Pendidikan yang Gagal?

Di tengah tantang zaman yang semakin besar ini, satu-satunya bidang yang menjadi harapan semua orang untuk menghadapi tantangan ini adalah pendidikan. Pendidikan di sini tidak hanya sekolah. Karena sekolah hanya bagian dari pendidikan, yaitu pendidikan formal. Sedangkan seseorang pertama kali mengalami pendidikan yaitu dalam keluarga, kemudian di lingkungan masyarakat. Terakhir di sekolah. Namun, sepertinya  di zaman ini, pendidikan diidentikkan dengan sekolah. Padahal sebenarnya di sekolah itu adalah pengajaran.

Kalau begitu, apa itu pendidikan? Sebenarnya sih aku tidak tahu hehehe (masa guru tidak tahu?). Kalau dicari di google, pendidikan adalah bimbingan atau pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa kepada perkembangan anak untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain. 

Pada dasarnya pengertian pendidikan ( UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003 ) adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.

Sebenarnya masih banyak lagi pengertian pendidikan menurut pandangan para ahli. 

Kalau dilihat dari pengertian di atas, tujuan pendidikan tidak lain adalah memanusiakan manusia. Dari tidak terdidik menjadi terdidik. Dari yang bergantung pada orang lain menjadi mandiri. Dari tidak bisa berbuat apa-apa untuk masyarakat menjadi berguna bagi bangsa dan negara.

Namun, kalau kita sedikit kritis, apakah tujuan pendidikan sebatas itu? Apakah pendidikan diadakan hanya agar seseorang cakap melaksanakan tugas hidup? Atau hanya sekadar mengembangkan potensi diri? Kalau hanya sebatas itu, berarti tujuan pendidikan pada akhirnya tidak lain adalah menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Akibatnya, selepas dari sebuah lembaga pendidikan atau dinyatakan lulus, seseorang akan berpikir mendapatkan pekerjaan. Dan di lingkungan kerja, ternyata, sangat berbeda dengan apa yang didapatkan di sekolah/perguruan tinggi dahulu. Di sini pendidikan menjadi gagal. Pendidikan yang seharusnya menjadi harapan semua ternyata tidak berhasil memenuhi perannya.

Mengapa gagal? Apakah karena kurikulum, isi, atau metodenya salah? Mungkin saja. Tapi, ini perlu ditinjau lebih mendalam. Menurutku, salah satu kesalahannya adalah karena pendidikan telah disempitkan di dalam gedung sekolah. Seolah itu hanya tugas para guru. Padahal seluruh elemen masyarakat harus turut berperan, terutama keluarga. Contoh: seorang anak hendak menerapkan hidup damai dengan sesama sedangkan di rumah orang tua bertengkar terus. Contoh lain, di jalan raya orang-orang tidak menaati rambu-rambu lalu-lintas, padahal di sekolah diajarkan agar hidup disiplin. Kan tidak adil bila kegagalan ini hanya ditujukan kepada guru?

Barangkali masih ada penyebab lain. Tapi kali ini aku tidak bisa menjelaskan semuanya. Lain kali saja ya... :)

Selasa, 19 Agustus 2014

Bimbel

Bimbingan belajar atau bimbel pasti sudah akrab di telinga kita. Terutama bagi para guru, orang tua, dan murid. Sebenarnya apa itu bimbel? Apakah bimbel hanya sekadar menyelesaikan soal-soal dan untuk mempersiapkan murid masuk ke sekolah favorit yang ingin dia tuju? Apakah bimbel ikut mencerdaskan kehidupan bangsa? Apakah bimbel ada atau hadir karena lembaga pendidikan (sekolah) gagal dalam perannya?

Kebanyakan bimbel sekarang bertujuan untuk membantu siswa dalam memahami pelajaran di sekolah. Ada juga yang membantu siswa agar bisa masuk sekolah/atau perguruan tinggi pilihannya. Pertanyaannya sekarang, apakah sekolah tidak mampu melakukannya? Apakah murid tidak (cukup) memahami pelajaran di sekolah?

Munculnya bimbel, menurutku, adalah akibat dari gagalnya sekolah dalam menjalankan pendidikan. Dan juga akibat dari muatan kurikulum yang terlalu berat buat siswa. Kegagalan sekolah merupakan kegagalan guru. Kalau mau jujur sebenarnya masih banyak guru yang mengajar secara asal-asalan, malas, sering tidak masuk kelas, dan ada juga yang (mungkin) tidak bisa mengajar. Bahkan adanya sertifikasi guru pun tidak memberikan dampak yang signifikan, malah tidak ada perubahan. Bahkan parahnya, tunjangan sertifikasi dijadikan ajang untuk pamer. Beli inilah - beli itulah. Kondisi inilah yang membuat bimbel muncul.

Bimbel memanfaatkan kondisi ini. Mengiming-imingi murid mendapatkan nilai terbaik, bisa lulus universitas terbaik, dan kesuksesan di masa depan. Metode yang digunakan adalah mengerjakan soal-soal dengan cara cepat. Ini bisa berbahaya, karena bisa mengurangi daya kritis anak untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Buktinya waktu di sekolah, murid-murid dengan bangga menyelesaikan tugas, padahal yang mengerjakan guru bimbelnya. Bahkan, parahnya, ada bimbel yang menawarkan kunci jawaban saat ujian nasional.

Apakah bimbel turut mencerdaskan kehidupan bangsa seperti amanat undang-undang dasar? Kalau dilihat dari metodenya, tentu tidak. Malah anak diajar bersikap pragmatis/praktis, mau mudahnya saja, tidak mau berusaha keras. Kalau sampai menawarkan kunci jawaban, justru menjerumuskan murid pada dosa kecurangan/ketidakjujuran.

Ditinjau dari kurikulum yang memuat materi pelajaran yang berat buat murid, ini dikembalikan kepada pemerintah. Adanya kurikulum 2013 tidak membuat perbedaan. Malah menambah beban murid. Kurikulum 2013 sepertinya perlu ditinjau kembali.

Bagaimana dengan bimbel yang sudah menjamur sekarang? Menurutku, pemerintah perlu menindaklanjuti kalau ada kecurangan-kecurangan. Dan sebenarnya, bimbel tidak bisa disalahkan juga. Kalau sekolah memperbaiki diri, guru-guru meningkatkan kualitas mengajar, maka dengan sendirinya eksistensi/keberadaan bimbel akan berkurang. Pertanyaannya, apakah sekolah/guru sanggup?


Minggu, 10 Agustus 2014

Komentator ala MedSos

Menarik juga ya membaca komentar-komentar orang di media sosial tentang berita yang sedang hangat-hangatnya. Misalnya tentang kelompok teroris, gosip para artis, berita politik, dan lain-lain. Aku memang tidak tertarik membaca berita-berita itu. Apalagi kalau dishare di media sosial seperti facebook atau twitter misalnya. Karena beritanya tidak lengkap. Hanya ingin memanas-manasi keadaan atau menambah rating pembaca saja. Lucu.

Tapi yang membuat menarik, sekaligus prihatin, adalah para komentatornya. Ada yang sok tahu, ada yang tidak nyambung, ada yang adu domba antar komentator, ada yang netral, dan berbagai tingkah lainnya. Pertanyaannya, 1) Siapakah para komentator itu? 2) Apakah mereka membaca isi beritanya atau hanya baca judul saja lalu komentar? 3) mengapa mereka mempunyai waktu untuk mengomentari semua itu?

Siapa mereka? Kemungkinan besar mereka orang-orang muda, generasi muda bangsa. Apa mereka baca isi beritanya, tidak penting. Yang paling memprihatinkan adalah mereka menggunakan waktu hanya untuk mengomentari hal-hal yang tidak penting. Apa mereka adalah orang-orang yang kekurangan pekerjaan sampai-sampai punya waktu untuk memberi komentar? Kurasa mereka adalah korban media dan mereka tidak menyadari itu.

Kalau diperhatikan isi komentarnya, kebanyakan tidak berkualitas. Saling menjelekkan. Saling menganggap diri paling 'benar'. Bahkan ada yang sampai mengeluarkan kata-kata kasar, jorok dan kosong. Tidak bermakna dan tidak bermanfaat.

Karena melihat banyaknya komentar jenis ini, bisa sampai ribuan, mungkin bisa disimpulkan bahwa inilah gambaran generasi muda kita. Barangkali aku salah. Namun, kalau kondisinya benar seperti itu, betapa parahnya keadaan bangsa kita di masa mendatang. Generasi yang akan menjalankan bangsa ini adalah generasi yang kurang berkualitas. Generasi yang hanya bisa komentar negatif. Generasi yang tidak berpikir kritis.

Salah satu penyebabnya adalah kurangnya peran orang tua. Orang tua sibuk dengan 'urusannya'. Orang tua di sini bisa berarti orang tua kandung atau dalam arti lain, pemerintah.

Wahai orang tua, perhatikanlah anak-anakmu.


Minggu, 03 Agustus 2014

Ingin Kenal

Kalau tidak punya ide menulis biasanya aku suka marah sendiri. Sudah berlama-lama di depan laptop, tetap saja tidak menulis. Kadang-kadang kuambil buku. Kubaca. Satu dua jam tidak terasa. Menghadap laptop lagi. Belum ada ide. Padahal aku ingin sekali menulis. Entah menulis apa saja. Yang penting menulis.

Aku mau cerita saja mengenai seorang gadis yang ingin kukenal. Bingung dari mana memulainya. Nama? Tidak. Aku tidak mau menyebut namanya. Malu. Dan nanti akan jadi bahan pembicaraan di kantor. Aku belum pernah bertemu gadis itu. Kami berteman di media sosial, facebook. Dia sering mengepos foto-fotonya. Dari situlah awal aku ingin mengenalnya dari dekat. Kusapa dia lewat aplikasi chating. Tidak ada balasan. Kucoba lagi satu dua kali. Tetap.

Beberapa hari bersabar. Gadis ini susah diajak kenalan. Mungkin dia menyangka aku hanya iseng, tidak serius. Wajar saja, dia kan belum mengenalku. Baiklah kucoba lagi. Kali ini bukan sapaan. Kukirim pertanyaan, "aku mau nanya, boleh?"... Lama... Mungkin ini serius atau tidak, pikirnya. Begitu menurut perkiraanku. Benar saja. "Nanya apa?" balasnya. Ada balasan. Ah senangnya. Tapi pertanyaanku apa? Bingung. Kucari pertanyaan yang terlihat serius. Emang ada pertanyaan asal-asalan? Entahlah. Asal dia balas saja, aku sudah gembira.

Satu dua menit lewat. Belum ada yang ingin kutanya. Lima menit lewat. Masih. Dia off. Terlambat.