Senin, 30 Juni 2014

Nyaman Tidak Nyaman

Ini seputar pekerjaanku. Dibaca, silakan. Tidak dibaca, enggak apa-apa.

Kenapa ya setiap kali aku berpikir sudah nyaman dengan pekerjaanku, aku lalu dipindahkan? Kalian pasti tidak tahu. Aku aja enggak tahu.

Aku seorang guru di salah satu sekolah swasta di Cibinong, Bogor. Tahun pertama aku ditempatkan ngajar matematika SMK yang bukan bidangku. Aku lulusan pendidikan fisika disuruh ngajar matematika SMK yang ada matematika keuangannya. Dengan memaksakan diri, aku belajar mati-matian sebelum ngajar. Setahun kulalui aku merasa sudah pas di pelajaran ini. Berharap tahun berikutnya ngajar matematika lagi agar aku bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan yang kulakukan. 

Memasuki tahun kedua, eh, aku dipindahin ke SMP. Ngajar matematika. Harus belajar lebih lagi. Meski matematika SMP terlihat lebih gampang, namun mengajarkannya ke murid-murid itu yang sulit. Tidak mudah mengajar aljabar ke murid SMP, misalnya. Tahun kedua berjalan, setahun aku menikmatinya. Aku berpikir tahun depannya ngajat matematika lagi. Ini membuatku tenang. Rasanya aku ingin mengajar matematika lagi tahun depan dan memperbaiki cara mengajarku. 

Tahun ajaran baru berikutnya tiba. Aku masih di SMP. Tapi disuruh ngajar fisika. Cukup melegakan. Akhirnya aku kembali ke jalan yang benar. Pelajaran yang sesuai bidangku. Tapi aku mesti belajar lebih. Karena lebih dari dua tahun aku tidak mengajar fisika. Banyak juga materi yang aku lupa. Aku senang mengajar fisika. Tapi di tahun ajaran 2014/2015 yang baru akan dimulai bulan Juli depan, aku ditempatkan di SMA. Mengajar matematika kelas X dan XI. Apa-apaan ini, pikirku.

Sudah nyaman dua tahun di SMP, meski ngajar matematika dan fisika, malah dipindahin ke SMA. Mesti belajar matematika SMA lagi nih. Tentunya beda dengan matematika SMK, apalagi matematika SMP. Setahuku matematika SMA sedikit lebih susah. 

Oke, aku berpikir positif saja. Memang tidak mudah bagi kita keluar dari zona nyaman, namun ini membuat kita bisa belajar mengembangkan diri. Aku meyakini bahwa Tuhan sengaja mengizinkanku tidak selalu berada dalam zona nyaman karena Dia ingin membentukku. Entahlah tujuan-Nya, pasti itu terbaik buatku.

Selasa, 24 Juni 2014

Guru juga manusia

Tanggal 24 kemarin pelatihan implementasi kurikulum 2013 yang kuikuti pun berakhir. Banyak teman baru dan ilmu yang didapat. Bisa berbagi cerita dan pengalaman selama pelatihan merupakan hal terbaik. Mendengar pengalaman dari guru-guru senior dan semua keberhasilan mereka memberikan motivasi buat semua peserta dalam melaksanakan tugas. Selama pelatihan tentu ada perbedaan pendapat, ada juga yang sering datang terlambat, ada yang terlihat ingin menonjol sendiri, dan masih banyak hal menarik lainnya yang layak dikenang sebagai pengalaman termanis. Kadang-kadang ada juga hal yang tidak menyenangkan. Seperti ada peserta yang ingin pendapatnya didengar tanpa mau - dengan rendah hati - menerima saran dari peserta lain, ada juga yang bersikap pesimis dalam menerima perubahan kurikulum. Dan salah satu yang tidak saya sukai adalah pada saat post-test. Beberapa peserta mengerjakan soal secara bersama-sama, padahal post-testnya untuk dikerjakan sendiri. Aku sih mengerjakan sendiri. Dan aku yakin dan bangga dengan hasil kerjaku, walaupun ada yang membisikkan jawaban. Sudah tahu begitu, panitia yang mengawas saat post-test malah membiarkan peserta "menyontek". Padahal ini kumpulan guru loh, masa iya nyontek.

Dari pelatihan ini aku bisa melihat karakter guru dari berbagai sekolah. Bisa belajar dari pengalaman mereka, namun ada juga hal yang tidak bisa ditiru misalnya menyontek dan hal lain di atas. Aku hanya bingung bagaimana 'sikap yang tidak bisa ditiru' itu membuat guru menjadi teladan. Ada benarnya ketika instruktur menyampaikan bahwa guru harus mencintai pekerjaan sebagai guru. Banyak orang menjadi guru karena pelarian; karena saat kuliah dulu tidak diterima di fakultas idaman atau saat bekerja tidak diterima di kantor impian - daripada menganggur. Akhirnya memilih menjadi guru. Nah, mungkin banyak guru seperti itu sekarang, sehingga tidak begitu mencintai pekerjaan mereka. Karena tidak mencintai pekerjaan, maka dikerjakan dengan tidak sepenuh hati alias ngasal.

Mengenai cinta pekerjaan aku kaget pas instruktur menanyakan apakah benar-benar memiliki cita-cita menjadi guru. Aku sedang tidak memperhatikan penjelasan instrukur saat itu karena sibuk dengan tugas di laptopku. Pertanyaan itu ditujukan padaku. Kujawab saja iya biar tidak kelihatan kaget. Si instruktur menanggapi, berapa persen benar-benar punya cita-cita guru. Iya juga sih. Kalau aku, mungkin tidak samapai 60% (ketahuan...). Tapi setidaknya aku pernah punya cita-cita jadi guru. Itupun karena aku lahir di keluarga guru, hehehe.

Itulah guru. Guru juga manusia. Tidak sempurna. Walaupun tugas guru adalah memanusiakan manusia, namun guru juga tidak lepas dari kesalahan. Namun, guru harus terus memperbaiki diri karena guru adalah teladan bagi muridnya.

Senin, 23 Juni 2014

Yang penting cerita (3)

Tidak terasa hari keempat pelatihan sudah selesai. Ada pengalaman menarik hari ini. Setidaknya buatku sendiri. Tadi pas peer teaching atau mensimulasikan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang sudah dibuat, aku dipilih oleh fasilitator. Awalnya fasilitator menunjuk beberapa peserta lain. Tidak ada yang bersedia maju. Eh tiba-tiba seorang ibu menyebut namaku. Cukup keras suaranya hingga terdengar di segala penjuru kelas. Akhirnya aku yang maju. Baiklah, siapa tidak takut. Padahal dalam hati deg-degan.hehehe. Aku pun ke depan kelas. Menghubungkan laptopku dengan LCD karena aku menggunakan media itu untuk kegiatan mengajarku. Jangan pikir berjalan lancar. Tiba-tiba aku lupa mau ngomong apa. Dan semua tertawa. Haduh, bikin tambah deg-degan saja. Persentasi berjalan sesuai perencanaan. Kadang-kadang peserta lain tertawa, terdiam, tertawa lagi. Kadang juga menyerangku dengan beberapa pertanyaan. Untungnya saat itu aku sebagai guru. Peserta lain yang sebenarnya adalah para guru juga jadi murid-muridku saat itu. Padahal banyak yang sudah tua. Presentasi berakhir. Rasanya melegakan sekali, seperti bisul pecah. Beban di pundak terasa ringan.

Tiba waktunya evaluasi. Hasilnya lumayan. Tapi banyak koreksi di sana-sini. Semua peserta memberikan evaluasi langsung yang dipimpin oleh fasilitator. Oh ya, kemarin aku menyebut instruktur, bukan fasilitator. Tapi maksudku sama saja.hehe. Satu-satu evaluasi muncul. Mulai dari pembukaan, kegiatan inti, sampai penutup. Ada komentar bagus, ada juga komentar ‘yang bikin sakit hati’ tapi membangun. Menarik sekali. Ternyata aku cukup berani berdiri dihadapan puluhan guru yang berasal dari berbagai sekolah. Padahal sebenarnya aku seorang pemalu yang lebih suka menyendiri daripada berada di tengah-tengah orang banyak, apalagi berdiri dan berbicara. Satu bagian dari dalam diriku sudah kulawan hari ini.

Tadi siang pas sedang bikin RPP, sebelum peer teaching, kelompok kami kebingungan mengenai satu hal. Aku memanggil fasilitator ke meja kami. Dia datang. Maksudku fasilitatornya. Namanya Pak Odik. Ia membantu masalah kami. Setelah menjelaskan cukup panjang, Pak Odik mengutarakan bahwa salah satu kendala penerapan kurikulum 2013 adalah penerimaan masyarakat. Dari pengalamannya, masyarakat keberatan. Karena di kurikulum ini peran guru hanya membimbing murid. Murid belajar sendiri atau berkelompok. Guru tidak banyak menjelaskan. Benar juga sih kalau masyarakat atau orang tua keberatan, apalagi kalau sekolah swasta yang mahal, masa guru kerja sedikit tapi dibayar alias digaji. Padahal guru digaji untuk digaji untuk mengajar, bukan hanya membimbing atau melihat murid belajar sendiri. Ya begitulah keberatan masyarakat, katanya. Tapi lama-lama masyarakat akan mengerti kok. O begitu. Baiklah. Masyarakat kita memang mudah mengerti.hehehe

Ngomong-ngomong besok subuh jam 3 Brazil lawan Kamerun ya? Oke siap-siap bangun lebih pagi.



Minggu, 22 Juni 2014

Okelah Kalau Begitu

Hari ini hari Minggu. Tapi aku tidak merasakan bahwa hari ini Minggu. Pelatihan seharian membuat hariku lewat begitu saja tanpa sadar hari itu hari apa. Tidak hanya itu, aku juga tidak menikmati pelatihan hari ini. Misalnya saat membahas tentang cara penilaian pada kurikulum 2013. Banyak sekali yang harus dipelajari karena memang beda dengan cara penilaian sebelumnya. Satu lagi, saat membahas cara membuat rapor. Ini juga berbeda dengan format rapor sebelumnya. Yang tambah bikin bingung adalah ternyata instrukturnya juga tidak terlalu paham tentang penilaian. Huh. Dan lagi ada beberapa peserta lain yang mendebatkan hal-hal yang tidak penting seperti: kata ini tidak tepat atau kata itu kurang bagus. Sekali diganti ada saja yang membatah ganti kata lain. Huh.

Kesimpulan hari mengenai pelatihan: aku tidak mendapat hal yang membuatku benar-benar paham baik mengenai cara penilaian dan pembuatan rapor. Sepertinya harus kupelajari ulang sendiri. Hal lain yang bikin enggak nyaman, peserta di kelas kami kebanyakan ibu-ibu. Satu ngomong semua ngomong. Dan enggak ada setopnya. Lalu sebentar-sebentar menanyakan pulang jam berapa, ingin cepat-cepat pulang padahal waktu masih lama dan tugas masih banyak.

Jangan ditiru ya. Maksudku jangan tiru perbuatanku hari ini yang tidak menikmati pelatihan. Maklumlah sudah hari ketiga soalnya. Agak jenuh.hehehe.

Oh ya, mengenai kurikulum 2013 ini, silabusnya belum ada, bukunya juga. Dan seperti tugas yang kami kerjakan di kelompok yaitu tentang membuat diagram (batang, garis, lingkaran) dengan komputer, bagaimana dengan sekolah yang tidak punya komputer? Beberapa topik lain juga menggunakan media yang tidak semua sekolah punya. Seperti LCD, komputer, alat peraga, dll. Mengapa ya pemerintah tidak lebih dulu membangun gedung dan melengkapi fasilitas sekolah-sekolah terutama di daerah kecil? Malahan bikin kurikulum baru yang belum tentu bisa diterapkan di semua sekolah. Kalau sekolah 'elit' di kota sih pasti bisa. Seperti sekolah tempat pelatihan kami yang setiap kelas dilengkapi komputer, LCD, jaringan internet, meja-kursi yang nyaman dan AC. Nyaman pokoknya. Bayangkan dengan sekolah di pelosok-pelosok negeri, yang masih menggunakan kapur, yang gedungnya mau roboh, yang muridnya masih miskin, dll.

Ah, namanya juga pemerintah. Apalagi kalau sudah ada unsur politiknya, demi mengharumkan nama sendiri, guru kecil seperti aku apa artinya. Instruktur di kelas kami juga mengakui kekurangan-kekurangan kurikulum 2013 ini. Tanggapannya selalu: kita laksanakan saja dulu. Okelah kalau begitu.hahaha.

Sabtu, 21 Juni 2014

Yang penting cerita (2)

Pelatihan hari kedua sudah selesai. Masih tiga hari lagi.  Hari ini dari pagi sampai siang, di kelompokku, hanya aku yang hadir. Jadi, beberapa tugas harus kukerjakan sendiri. Baru setelah jam 1 siang, kedua teman datang.

Apa yang dikerjakan hari ini? Yang paling kuingat adalah waktu berjoget bersama untuk mencairkan suasana, hehehe. Aku sulit sekali mengikuti gerakan-gerakan dari video apalagi kalau gerakannya cepat. Ternyata badanku kaku banget.

Hari ini latihan membuat rancangan penerapan pendekatan saintifik dan model pembelajaran berbasis proyek dan model-model lain. Lumayan dapat banyak ilmu dan mendiskusikan banyak hal. Meski pun melelahkan.

Ada satu hal yang ingin kuceritakan mengenai pembagian rapor kemarin. Harusnya cerita kemarin, tapi lupa. Sewaktu penyerahan rapor siswa ke orang tua, ada banyak komentar. Rata-rata orang tua menanyakan nilai anaknya. Ada yang senang. Ada yang kurang puas. Ada yang biasa-biasa saja. Tapi bagiku hal yang paling berkesan adalah ketika ada orang tua yang pertama-tama menanyakan kepribadian/sikap anaknya selama belajar, bukannya nilai. Dan orang tua tersebut bangga ketika mendengar anaknya rajin belajar, disiplin, dan bertanggung jawab. Dari pengalamanku sebagai wali kelas, hanya sedikit sekali orang tua murid yang seperti ini.

Ada juga orang tua yang keberatan mengenai fasilitas belajar di sekolah yang pas-pasan. Kalau sudah begini, aku tidak bisa apa-apa. Aku kan bukan pemilik yayasannya,hehehe. Padahal pernah suatu kali murid-murid dimintai menuliskan keluhan-keluhan mengenai fasilitas belajar di sekolah. Tetapi sepertinya belum ada respon dari yayasan. Atau mungkin saja yayasan sedang memikirkannya, hanya saja masih fokus dalam hal lain seperti: memikirkan salari guru/pegawai, peningkatan jumlah murid baru, dll. Entahlah aku tidak begitu tahu. Memang tidak tahu.

Ada lagi yang membuatku heran. Ternyata ada juga orang tua yang tidak mengambil rapor anaknya secara langsung melainkan menyuruh perwakilan. Entah saudaranya atau supir pribadinya. Kurasa penting juga memberi pengertian kepada orang tua bahwa anak akan sangat senang kalau orang tuanya yang mengambil rapor. Anak akan senang kalau diperhatikan. Dan mengambil rapor bisa jadi salah satu bukti bahwa orang tua menaruh perhatian pada si anak khususnya pada hasil belajarnya, walaupun sedang sibuk bekerja.

Sudah dulu ceritanya. Ngomong-ngomong, gimana perkembangan piala dunia?hehe

Jumat, 20 Juni 2014

Yang penting cerita

Hari ini cukup melelahkan. Jam 6.30 pagi ke sekolah. 30 menit kemudian ke SMPN 1 untuk mendaftar pelatihan sekaligus minta izin tidak ikut pelatihan di sesi pembukaan karena harus balik ke sekolah untuk penyerahan rapor. Setelah satu jam kembali ke sekolah. Di ruangan beberapa orang tua sudah menunggu. Aku masih terengah-engah karena mengejar waktu.

Kira-kira jam setengah satu - siang - aku ke SMPN 1 untuk mengikuti pelatihan implementasi kurikulum 2013. Sesampainya disuguhi soal pre-test. Ada 40 soal seputar matematika dan kurikulum dikerjakan dalam waktu 60 menit. Kondisiku belum makan siang dan mengantuk berat. Kukerjakan soal itu dengan susah payah, tapi lebih cepat dari waktu yang disediakan - kurang dari 60 menit. Selesai mengerjakan soal aku diberi modul lalu disuruh masuk ke ruang pelatihan. Aku masuk ruangan. Terlihat para guru dari berbagai sekolah sudah membentuk kelompok. Aku bingung. Lalu mendatangi instruktur untuk memilihkanku kelompok. Beberapa anggota kelompok mengangkat tangan, mengajakku masuk kelompok mereka. Aku direbutin, pikirku. Senangnya, hehehe. Akhirnya instruktur kami, membentuk satu kelompok baru. Ternyata sebelum aku masuk ada juga peserta yang baru datang alias menyusul sepertiku. kelompok kami ada tiga. Dua perempuan satu laki-laki, aku. Senangnya.

Di dalam kelompok kami bingung mau mengerjakan apa karena tidak ikut sesi pertama di pagi hari. Baru masuk, baru bentuk kelompok, langsung dapat dua tugas yang membingungkan. Tapi kami langsung kompak. Mengerjakan apa adanya. Mengikuti perintah-perintah dalam buku panduan atau modul.

Hari ini pelatihan selesai jam 5 sore. Sebelum pulang ada sedikit masalah. Semua peserta dibingungkan oleh nomor kelompok. Itu gara-gara kelompok baru kami. Akhirnya dibuat nomor kelompok lagi dan kelompok kami adalah kelompok 11.

Sabtu, 14 Juni 2014

Belajar dari Piala Dunia

Siapa yang terserang demam piala dunia? Mungkin Anda salah satunya. Iya! Anda yang sedang  membaca ini.

Aku menyesal tidak menonton siaran dan laga pembukaan yang katanya meriah itu. Tapi untung ada siaran berita. Meski cuma sepenggal, aku bisa menyaksikannya. Apalagi tim favoritku menang di laga pembuka. Waktu Spanyol ditaklukan Belanda, aku nonton. Juga saat Itali menang atas Inggris.
Sebenarnya buatku piala dunia cuma hiburan. Oleh karenanya kalau ada teman mengajak taruhan, aku tidak ikutan. Aku menonton siaran langsung dari tv kalau memang lagi ingin menonton. Kalau tidak, ya lebih baik tidur.

Dari dua laga yang kusaksikan, salah satu yang menarik bagiku adalah sesaat sebelum pertandingan dimulai. Bukan komentatornya yang membosankan itu, tapi biasanya di layar tv selalu dimunculkan arena pertandingan - tampak dari atas. Mungkin ada kameramen yang menyorot dari helikopter.
Kalau dilihat dari atas, arena pertandingan tampak seperti sarang semut dengan latar di sekitarnya adalah pemandangan kota yang luas. Dan penonton di dalam stadion terlihat hanya sebesar semut bahkan lebih kecil dari itu. Itu adalah kumpulan manusia.

Di tengah kumpulan manusia itu kalau dilihat dari atas, bisakah kita menentukan mana laki-laki mana perempuan? Yang mana yang rambutnya hitam atau pirang? Semua manusia terlihat sama. Di situlah menariknya, menurutku.

Semua manusia sama kalau dilihat dari sudut pandang yang benar atau dari "tempat tinggi". Dengan kata lain, orang yang menganggap sesamanya lebih rendah, menganggap diri sendiri paling hebat, menyombongkan diri, atau merasa rendah diri; mungkin orang tersebut memiliki cara pandang yang salah melihat sesamanya. Bagaimana kita bisa memiliki cara pandang yang benar? Dengan cara melihat seperti Tuhan melihat. Karena satu-satunya Pribadi yang melihat dari "tempat tinggi" adalah Tuhan. Di mata Tuhan manusia sama.
Bagaimana kita bisa melihat seperti Tuhan melihat? Dengan berserah diri di hadapan-Nya dan dengan rendah hati meminta-Nya mengubah cara pandang kita.

Mengapa ini penting? Karena Tuhan menginginkan kita saling mengasihi, sebab Dia telah lebih dulu mengasihi kita. Kalau kita memiliki cara pandang yang salah terhadap sesama, maka banyak masalah yang terjadi. Misalnya: merendahkan sesama, menghina sesama, menganggap diri hebat dari yang lain, menganggap pandangan sendiri lebih benar dari yang lain, bahkan bisa terjadi konflik antar sesama manusia. Atau sebaliknya merasa rendah diri dan pesimis. Kalau sudah begini, maka kita sudah tidak mengasihi sesama, karenanya kita juga tidak menghormati Tuhan yang telah mengasihi kita lebih dulu.
Di mata Tuhan kita sama. Hal ini sangat menguatkan dan menghibur hati kita.

Marilah kita saling mengasihi.

Ngomong-ngomong, negara mana ya yang akan jadi juara di piala dunia tahun ini?

Kamis, 12 Juni 2014

Kecewa?

Pernah suatu hari aku menonton salah satu acara lawakan di tv. Di segmen terakhir acaranya sebuah parodi pencarian bakat. Di sana tersedia juri dan para peserta yang menunjukkan bakat mereka. Tentu semua pemainnya diperankan oleh para pelawak itu. Acara pencarian pencarian bakat ala pelawak ini pastinya membuat penonton tertawa.  Para kontestan menunjukkan bakat mereka. Di bagian akhir acara saat penentuan juara, ternyata hasil penilaian juri adalah tidak ada yang juara. Pencarian bakatpun berakhir dengan kekecewaan dari pihak kontestan.

Ada yang menarik di acara ini. Meskipun hanya lawakan, tapi kita perlu belajar suatu hal. Ketimbang menontonnya hanya untuk melepas stres sehabis lelah bekerja. Parodi yang berakhir kekecewaan bisa jadi gambaran kehidupan kita sehari-hari tanpa kita sadari. Coba kita renungkan setelah kita bekerja seharian apa yang kita dapatkan? Atau setelah sebulan bekerja? Hanya dapat gaji. Gaji tersebut habis digunakan. Lalu bekerja lagi. Lelah lagi. Kecewa lagi.

Begitulah kalau kita memercayakan hidup pada dunia ini. Dunia ini, dengan segala hiburan yang ia tawarkan pun, hanya memberikan kekecewaan. Usaha yang kita lakukan untuk mencari kesenangan selalu tidak berhasil mendapatkan kesenangan sejati. Selalu berakhir kecewa. Bila kita mendapatkan kesenangan, misalnya dalam musik, maka kesenangan itu segera berakhir dengan membosankan. Musik yang kita dengarkan setiap hari tentu bikin bosan. Atau kesenangan dalam harta. Siapa yang pernah puas dengan harta? Tidak ada. Orang kaya sekalipun masih saja melakukan korupsi/pencurian. Atau setidaknya orang kaya akan kuatir mengenai kekayaannya bisa habis. Kekayaan membuatnya tidak tenang. Akhirnya kesenanganpun tidak jua datang.

Jadi agar tidak kecewa dalam hidup ini, percayalah kepada Tuhan, sumber kebahagiaan sejati. Hiduplah seturut apa yang Ia firmankan.

Minggu, 08 Juni 2014

Sedikit bicara banyak mendengar

Salah satu quote yang aku suka, "kalau kita bicara, kita hanya menyampaikan apa yang sudah kita tahu. kalau kita mendengarkan, kita mungkin mempelajari hal baru" (Dalai Lama). Intinya mungkin; sedikit bicara banyak mendengar.

Seorang anak kecil bermain. Kadang-kadang sang ibu menegur supaya bermain dengan benar. Tapi si anak kecil tidak mendengarkan nasihat si ibu gara-gara asyik bermain sampai ia terjatuh dan akhirnya menangis.

Seorang murid di kelas yang sedang asyik berbisik-bisik dengan temannya sementara sang guru mengajar. Tiba-tiba sang guru bertanya kepada si murid. Si murid tentu tidak bisa menjawab dengan benar. Malah kebingungan.

Kita mungkin pernah atau sedang mengalami kejadian seperti itu. Karena tidak mendengarkan, akhirnya kita mengalami masalah.

Barangkali Tuhan menciptakan kita dua telinga dan satu mulut dengan maksud supaya kita lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Ini bukan berarti juga kita tidak perlu bicara.

Dengan mendengarkan kita mendapat informasi lebih banyak. Dari informasi yang banyak itu kita bisa memilah dan memilih mana yang perlu kita percayai sebagai informasi yang baik dan benar. Dari situ kita bisa mengambil sikap dan akhirnya menyampaikan/berbicara dengan benar. Semoga saja kita tidak mendapatkan masalah hanya karena kita kurang mendengarkan dengan baik.

Oran bijak berkata: "Di dalam banyak bicara, pasti ada pelanggaran, tetapi siapa yang menahan bibirnya, berakal budi." (Amsal 10:19)

Rabu, 04 Juni 2014

Cerita di Warung Kopi

Di sebuah warung kecil duduk seorang laki-laki berumur 52 tahun, si pemilik warung. Ia biasanya duduk di sebuah bangku menunggu pembeli datang. Ia menjual kopi, mie instan, bubur kacang ijo, serta rokok. Warungnya terletak di pinggir jalan kecil. Jalan kecil itu merupakan cabang dari jalan utama menuju perumahan warga. Warungnya terletak kira-kira 50 meter dari jalan utama. Kira-kira 50 meter lagi ke dalam ada sebuah sekolah swasta. Setiap hari warungnya dilewati oleh anak sekolah, guru, orang tua murid atau mobil jemputan, dan juga warga sekitar.

Aku kadang-kadang mampir ke warung si bapak untuk mengopi. Atau biasanya juga aku pesan mie rebus. Sore hari - menjelang malam - biasanya warung si bapak sepi. Pada jam-jam itulah aku biasanya mampir. Sekalian makan malam murah meskipun cuma mie instan. Aku selalu mengajak si bapak mengobrol. Awalnya aku bingung mencari bahan yang perlu kami bicarakan. Kadang kami bahas politik - politik warung kopi - kadang juga bahas hasil pertandingan bola, atau kejadian-kejadian yang terjadi di sekitar. Tapi semuanya berakhir dalam hening. Aku memang tidak pandai membangun perbicangan.

Suatu sore aku mampir lagi ke warung si bapak. Warungnya kosong. Aku masuk saja dan duduk di bangku panjang. Kupanggil si bapak, ternyata dia sedang mandi. Kutunggu hingga ia selesai sekitar 10 menit. Kupesan mie rebus. Aku sedang ingin makan mi rebus, kataku pada si bapak. Si bapak cuma ketawa sambil memanaskan air.  Sambil makan, aku mengajak si bapak mengobrol seperti biasa karena kelihatannya si bapak sering diam. Mungkin sedikit orang yang mengajaknya bicara. Ataupun kalau ada, ia hanya mengikuti saja pembicaraan orang, para pelanggan tetapnya. Pelanggan tetapnya merupakan para sopir jemputan anak sekolah. Si bapak pernah bilang orang-orang yang datang ke warungnya biasanya main catur atau bahas bola.

Kali ini aku ingin mendengar kisah hidup si bapak. Sepertinya aku berhasil membuat si bapak mau berbicara banyak. Karena yang dia bicarakan adalah tentang dirinya sendiri. Ia lahir tahun 1962. Setelah lulus sekolah dasar (SD) ia langsung bekerja sebagai penambang pasir di sungai untuk membantu perekonomian keluarganya saat itu. Tiga kakak kandungnya bahkan tidak lulus SD karena tidak cukup biaya. Pada saat umurnya 15, tahun 1977, ia pun mengikuti teman-temannya merantau ke ibukota. Beberapa teman sekolahnya malah sudah lebih dulu mengadu nasib ke Jakarta, kenangnya. Saat menceritakan itu, matanya mengarah entah ke mana seolah-olah ingin membangkitkan kenangan lama.

Di Jakarta ia mengadu nasib. Awalnya menjadi pedagang asongan. Berjalan menyusuri jalanan ibukota untuk menjajakan dagangannya. Aku tidak pernah jualan sebelumnya, kata si bapak. Tapi temannya memaksanya. Ia harus bisa bertahan hidup di Jakarta. Tidak bisa pulang ke kampung halaman - Jawa Barat - karena tidak punya uang cukup. Ongkos busnya saat berangkat ke Jakarta pun pinjaman dari tetangga padahal cuma Rp5.000. Saat itu rupiah cukup mahal. Di bandingkan sekarang apalah artinya Rp5.000 itu, kenangnya lagi.

Tiga belas tahun ia menjadi pedagang di Jakarta. Mulai dari pedagang keliling  hingga akhirnya ia memiliki sebuah kios sewaan di dekat terminal Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Beberapa kali sebelumnya ia berpindah-pindah. Pernah di Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan terakhir di Jakarta Selatan. Tahun 1989, si bapak menikah. Anak pertamanya lahir setahun kemudian. Pada saat itulah ia pindah ke daerah Bogor, warungnya sekarang. Kalau dihitung, sudah 24 tahun si bapak berjualan di warungnya ini. Waktu yang sangat lama.

Si bapak bercerita, kadang-kadang kalau ia sedang duduk-duduk di bangkunya dan ia melihat anak sekolah berlari-lari di depannya, ia terkenang akan masa kecilnya di kampung saat sekolah dulu; mereka berlari-lari tanpa sepatu dan seragam sekolah. Kenapa ya ada masa-masa itu, kenangnya. Lagi ia bercerita, waktu kecil mereka harus membagi jatah makanan. Satu mangkuk nasi jagung (sambil menunjuk mangkuk mie rebusku) harus di makan dua kali, pagi dan siang, tidak boleh dihabiskan sekaligus. Kalau tidak, maka jatah makan siangpun juga tidak ada. Terpaksa berangkat ke sekolah dengan perut masih lapar.

Kalau dihitung, sudah 37 tahun si bapak meninggalkan kampung halamannya. Bulan lalu ia pulang untuk memperbaiki rumah di desa. Selama dua minggu, ia menitipkan warung ke seorang perempuan. Perempuan itu adalah istri dari (alm) temannya yang pertama kali mengajaknya merantau. Mereka sudah seperti keluarga. Senasib dan seperjuangan, katanya. Sekarang, si bapak memiliki tiga anak. Anak pertama bekerja di sebuah perusahaan tekstil sebagai ahli mekanik. Anak kedua juga sudah bekerja di salah satu toko di daerah Bogor. Dan anaknya perempuan, si bungsu, sudah kelas satu SMA.

Selain pengalaman hidup yang sudah dilewati dengan susah payah, hal menarik yang ia kisahkan adalah tentang cita-citanya. Si bapak berkata bahwa dulu kakak-kakaknya tidak lulus SD dan ia sendiri hanya lulus SD, maka kelak anak-anaknya harus melebihi dirinya. Setidaknya ketiga anaknya lulus sekolah menengah pertama (SMP). Satu tingkat lebih dari dirinya. Hidup saya begini-begini terus, tapi saya mau anak-anak saya sukses, kata si bapak. Ternyata, cita-cita si bapak melampaui yang ia harapkan. Bahkan kedua anaknya sekarang (si bungsu menyusul) bisa lulus sekolah menengah atas (SMA). Alhamdulillah, kata si bapak sambil menarik nafas panjang.***

Ketika kisah hidup yang panjang diceritakan dalam waktu kira-kira 90 menit (membaca kisah inipun tidak sampai 5 menit) membuat kita merenung betapa hidup ini singkat.. Gunakan waktu yang ada semaksimal mungkin. Lakukan apa yang bisa dilakukan hari ini. Dengan kata lain jangan suka menunda.