Senin, 21 Desember 2015

Makna Hari Ibu (bagiku)

"Seorang ibu bisa mengurus sepuluh anak, tapi sepuluh anak belum tentu bisa mengurus seorang ibu"
Kurasa tidak ada seorangpun yang mampu mendefinisikan kasih sayang seorang ibu kepada anak-anaknya. Bahkan kamus hanya memberi arti ibu sebagai wanita yang melahirkan anak atau wanita yang mempunyai suami. Ibu lebih dari itu.
Ibu sudah mengenal anaknya sejak dari kandungan, sudah mengenal anaknya sejak tangis yang pertama. Ajaibnya dari tempat jauh, tanpa melihat pun, seorang ibu bisa merasakan penderitaan anaknya seperti mampu meraba wajah sang anak dari dekat. Dan apabila si anak membandel, seorang ibu selalu memaafkan. Kalau diperpanjang lagi maka akan menghabiskan banyak kertas untuk menggambarkan kasih sayang seorang ibu.
Peran seorang ibu di bangsa ini begitu strategis. Karena semua berawal dari ibu. Anak-anak penerus bangsa mula-mula dilahirkan dari ibu, dirawat, dilindungi, dan besarkan oleh ibu. Nilai-nilai hidup juga mula-mula didapatkan dari seorang ibu. Dan umumnya, anak-anak yang sukses selalu lahir dari ibu yang sungguh-sungguh memperhatikan anaknya.
Sayangnya peran ibu sering diabaikan. Peran ibu digantikan oleh pembantu rumah tangga. Umumnya terjadi di kota-kota besar. Sementara di desa, tingkat pendidikan ibu kurang mendapatkan perhatian. Karenanya kita sering menemukan ibu-ibu yang tidak memiliki pengetahuan memadai akan pentingnya kesehatan atau pendidikan anak.

Sabtu, 28 November 2015

Kritik Untuk Guru

Murid bisa jadi apa saja. Guru tetaplah jadi guru.
Di hari guru ini, janganlah melulu ucapan terima kasih. Tetapi berikan juga kritikan. Ingat: guru tidak selalu benar!
Banyak guru menciptakan manusia yang otaknya hanya diisi oleh pengetahuan. Otak murid dianggap sebagai memori kosong, kemudian diisi dengan data untuk digunakan saat ujian nanti. Banyak guru yang menakut-nakuti murid dengan nilai (angka) di raport. Seolah-olah nilai itulah yg paling berharga. Hal ini mendapat dukungan juga dari orang tua.
Padahal yang utama adalah mengajarkan murid bagaimana menggunakan otak mereka untuk berpikir kritis dan tajam. Berpikir membuat murid mengerti mengapa harus disiplin, sopan, tanggung jawab, menghargai sesama, dlsb. Sebaliknya, selama ini murid diajarkan nilai-nilai (disiplin, sopan-santun, tanggung jawab, dlsb) hanya sebagai pengetahuan belaka, tanpa mengerti mengapa harus berperilaku demikian.
Para koruptor, pelanggar aturan, pembuang sampah sembarangan hingga pelaku kriminal yang banyak ditemui di sekitar kita adalah salah satu "produk" guru. (Silakan amati sekitar anda, mana yang lebih banyak: pelanggar aturan atau yg patuh pada aturan. Jawabannya: pelanggar aturan) Tapi, mengapa mereka bisa seperti itu? Karena nilai-nilai kebaikan hanya menjadi hafalan sewaktu sekolah dulu.
Selamat Hari Guru!
(Tulisan ini saya ambil dari facebook sendiri pas hari guru)

Untuk Guru

"Karena waktu itu aku bertanya pada murid-murid yang akan meninggalkan bangku sekolah. Siapakah yang akan melanjutkan ke sekolah guru? Di antara murid yang lima puluh itu cuma tiga yang mengacungkan jarinya... Dan aku berkata kepada mereka. Kalau di antara lima puluh orang cuma tiga orang yang menjadi guru, siapakah yang akan mengajar anak-anakmu nanti? Sekiranya kelak engkau jadi jenderal, adakah akan senang hatimu kalau anakmu diajar oleh anak tukang sate? Tak ada yang menjawab di antara mereka. Kemudian kunasihati mereka yang ingin jadi guru. Kalau engkau tidak yakin betul, lepaskan cita-citamu untuk jadi guru itu, kataku. Seorang guru adalah kurban -kurban untuk selama-lamanya. Dan kewajibannya terlampau berat - membuka sumber kebajikan yang tersembunyi dalam tubuh anak-anak bangsa. Dan mereka yang tiga orang itu bilang dengan sungguh-sungguh, Kami bercita-cita menjadi guru walau bagaimanapun sukarnya. Dan aku mengangguk-anggukkan kepalaku kepada tiga orang itu."

Sabtu, 10 Oktober 2015

Perilaku Menarik Diri dalam Organisasi

Tulisan ini berhubungan dengan komitmen terhadap organisasi. Karyawan yang tidak memiliki komitmen dapat dikategorikan dalam perilaku penarikan diri atau withdrawal behavior. Perilaku penarikan diri adalah perilaku yang menghindari situasi pekerjaan, bahkan memuncak pada perilaku berhenti bekerja (keluar dari organisasi).

Ada dua bentuk penarikan diri menurut Colquitt, LePine, dan Wesson: penarikan diri secara psikologis dan secara fisik. Saya mau bahas yang secara psikologis dulu dalam konteks lingkungan sekolah.

  1. Daydreaming (melamun). Guru datang ke sekolah, tetapi pikirannya di tempat lain. Perilaku ini masih dianggap level rendah dari penarikan diri.
  2. Socializing. Membicarakan sesuatu yang tidak berhubungan dengan pekerjaan saat di kantor, di kantin, atau saat chatting. Saat di kelas, guru lebih banyak cerita hal lain ketimbang bahas pelajaran.
  3. Looking Busy (terlihat sibuk). Guru yang suka menyibukkan diri agar terlihat sedang bekerja. Contohnya, mengatur ulang meja kerja, berjalan/berkeliling seputar sekolah, dll.
  4. Moonlighting (kerja sambilan). Melakukan pekerjaan lain selain tugas/kewajiban utama saat jam kerja.
  5. Cyberloafing. Memanfaatkan waktu untuk main games di komputer, mengakses media sosial, atau mencari informasi di internet, yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Inilah yang sering dilakukan oleh hampir semua karyawan/guru.

Kelima faktor di atas merupakan sikap atau tanggapan guru; yang menandakan bahwa seorang guru sedang menarik diri dari situasi pekerjaan. Sikap-sikap tersebut muncul karena berbagai hal. Misalnya, ketidaksukaan terhadap pemimpin, mengalami kejadian kerja negatif., lingkungan kerja yang tidak nyaman dan membosankan, ketidakpuasan terhadap manajemen sekolah, dll. Bahkan dengan gaji yang tinggi sekalipun, seorang guru bisa berperilaku menarik diri, baik disadari atau tidak disadari.

Perilaku menarik diri ini harus diantisipasi oleh pemimpin. Karena perilaku tersebut merupakan gejala rendahnya komitmen guru. Jika pemimpin sibuk dengan “keinginan pribadinya” dan tidak memperhatikan gejala tersebut, maka kegagalan dan bahaya akan menghampiri organisasi sekolah. Kinerja/prestasi sekolah akan menurun, tingkat keluar-masuknya guru akan meningkat, dan korban utamanya adalah para pelajar.

Apa bahayanya jika guru keluar-masuk atau berganti terus? Pertama, proses pembelajaran murid akan terganggu; kedua, tujuan jangka panjang sekolah akan terganggu (kecuali kalau sekolahnya tidak punya tujuan hehehe). 

Struktur sekolah menurut Mintzberg

Struktur Sederhana
Dalam struktur sederhana, sekolah langsung diatur dan diawasi oleh pemilik jabatan tertinggi. Struktur ini sangat terpusat ke atas, hampir tanpa lini tengah. Jenis struktur ini bisa berupa: 1) organsiasi otokratis merupakan struktur yang penyelenggara puncaknya menumpuk kekuasaan dan aturan melalui perintah yang sewenang-wenang. 2) organisasi kharismatik merupakan struktur yang para anggota melimpahkan kekuasaan seluruhnya kepada pimpinan.

Kekuatan struktur sederhana terletak pada keluwesannya; hanya satu orang yang wajib bertindak yaitu pucuk pimpinan. Sementara para anggota hanya melaksanakan apa yang diperintahkan; tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan atau perencanaan program sekolah.

Kelemahan struktur sederhana adalah terlalu organis (hanya satu orang yang bertindak). Jika pucuk pimpinan lengser dari jabatannya, maka tidak ada yang menggantikan yang berujung pada runtuhnya organisasi. Atau, jika pucuk pimpinan tidak berada di tempat, maka akan sulit menjalankan organisasi. Struktur ini tidak tepat untuk organisasi yang besar karena struktur sederhana adalah struktur yang paling tidak birokratis.

Struktur Sekolah menurut Hoy dan Sweetland

Analisis struktur organisasi masa kini sebagian besar berdasarkan pada analisis klasik Weber tentang birokrasi. Termasuk analisis struktur sekolah. Ada lima karakteristik birokrasi menurut Weber: 1) divisi tenaga kerja; 2) orientasi impersonal, 3) hierarki otoritas, 4) aturan dan regulasi, dan 5) orientasi karier.

Hoy dan Sweetland berfokus pada karakteristik ketiga (hierarki otoritas)  dan keempat  (aturan dan regulasi) dalam analisis mereka tentang struktur sekolah. Hierarki adalah ciri umum dalam organisasi. Namun, hierarki bisa memberdayakan atau justru menghambat. Demikian juga dengan sistem aturan dan regulasi. Hierarki di sekolah bisa berupa hubungan antara penyelenggara pendidikan (pemerintah atau yayasan swasta), pengawas, kepala sekolah, guru, staf, dan murid.

Agar memudahkan, pada tulisan ini hierarki otoritas dibatasi antara kepala sekolah dan guru saja. Artinya analisis di bawah ini berlaku juga pada hubungan penyelenggara pendidikan dengan kepala sekolah atau guru-guru. Berikut ini adalah analisis struktur sekolah menurut Hoy dan Sweetland:

Minggu, 20 September 2015

Guru dan Sistem Pendidikan

Ada seorang rekan pengajar risau dengan kondisi guru saat ini yang lebih mengutamakan gaji ketimbang pengabdian terhadap pendidikan. Mungkin slogan “habis ngajar, ya, pulang” bisa menggambarkan kondisi guru kini. Orientasi guru adalah uang, bukan pengabdian. Itulah kerisauan rekan tadi.

Untuk menjawab kerisauan rekan tadi, pemerintah sebenarnya memiliki program yaitu uji kompetensi bagi guru yang ikut program sertifikasi. Nilai rata-rata uji kompetensi guru (UKG) sebelumnya yang rendah menunjukkan kualitas guru memang masih belum memuaskan. Tapi, apakah UKG bisa mengatasi masalah tersebut? Menurut saya, belum. Karena UKG hanya menguji kompetensi guru di ranah kognitif saja. Kalaupun ada evaluasi tentang bagaimana guru mengajar di kelas, evaluasi tersebut belum mewakili kondisi guru keseluruhan. Nah, ke depan ini, pemerintah akan mengadakan UKG untuk semua guru, tanpa terkecuali. Saya kira ini hanya akan membuang-buang biaya dan waktu saja. Kalau hasil yang sebelumnya belum memuaskan, maka tidak ada jaminan bahwa UKG berikutnya akan memuaskan, terlebih ini untuk semua guru. Karena tidak ada pembinaan atau pelatihan secara merata bagi semua guru selama ini. Lagipula program sertifikasi guru telah terbukti tidak memberikan pengaruh signifikan pada peningkatan kualitas pendidikan.

Kalau begitu, apa yang menjadi permasalahan pendidikan kita? Terlalu sulit menjawab pertanyaan ini secara singkat. Namun, ada hal yang menggelitik saya selama ini yakni permasalahan pendidikan kita selalu dicurahkan ke pundak guru. Sering sekali guru, secara individu ataupun kelompok, dijadikan sebagai penyebab kegagalan pendidikan. Sementara sistem pendidikan tidak dianggap sebagai penyebab kegagalan.

Misalnya, pencapaian materi yang harus dipenuhi oleh guru karena tuntutan kurikulum membuat guru hanya berfokus pada materi pelajaran saja. Permasalahan yang terjadi selama ini adalah guru sering mengeluh kekurangan waktu dalam mengajarkan semua materi pelajaran. Sementara kemampuan para murid untuk menyerap pelajaran berbeda-beda. Seharusnya murid jangan dipaksakan untuk menerima semua pelajaran. Namun, karena tuntutan kurikulum guru harus mengajarkan semua, sebab kalau tidak, maka dianggap tidak sukses dalam mengajar dan para murid akan gagal di ujian nasional karena tidak mempelajari semua materi pelajaran. Ini menjadikan proses pendidikan menyimpang dari tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi, kesalahannya tidak terletak pada guru melainkan pada sistemnya. Penerapan kurikulum yang “terlalu memaksa” dan pola ujian nasional yang juga terkesan sebagai pencapaian tertinggi dalam pendidikan.

Padahal hasil pendidikan tidak hanya dilihat dari perubahan kognitif para murid, tetapi juga perubahan sikap dan perilaku – menjadi manusia seutuhnya. Artinya, para murid diharapkan mengalami perkembangan pengetahuan dan perilaku sehingga mampu memecahkan permasalahan yang terjadi di sekitar kita; baik masalah sosial, lingkungan, dan masalah lainnya. Inilah tujuan sejati pendidikan. Tujuan ini hanya akan tercapai bila guru tidak menghabiskan waktunya hanya untuk mengajarkan pengetahuan saja karena “dipaksa” oleh tuntutan kurikulum.

Oleh karena itu, perlu ada perubahan penerapan kurikulum. Pencapaian pendidikan memang berpedoman pada kurikulum, tetapi harus memperhatikan karakteristik para murid. Ujian nasional (UN) yang selama ini dianggap sebagai pencapaian tertinggi sebaiknya ditiadakan atau – kalau memang belum menemukan cara terbaik untuk standar kelulusan – maka UN hanya dijadikan sebagai bahan pemetaan saja. Jadi, jangan salahkan guru jika sistemnya masih belum diperbaiki. Dan tidak perlu juga mengadakan uji kompetensi untuk saat ini, selain karena terbukti hasil sebelumnya masih jauh dari harapan, juga tidak memberi jaminan perbaikan. Lalu bagaimana dengan guru? Guru perlu diberi pendidikan dan pelatihan intensif seputar pembelajaran di kelas, filsafat pendidikan, psikologi anak, dll., dan perekrutan guru ke depan perlu diperketat. Hanya yang benar-benar ingin menjadi guru dan memenuhi standar kompetensilah yang layak diangkat menjadi guru.

Bagaimana dengan guru yang lebih berorientasi pada uang daripada pengabdian? Jawabannya juga tidak mudah. Salah satu contohnya, kenyataan yang terjadi pada sertifikasi guru adalah banyak yang memanipulasi jumlah jam mengajar, ada yang sertifikasi padahal jelas bidangnya bukan dari pendidikan, membeli ijazah palsu; demi mendapat tunjangan yang besar. Sementara banyak juga guru yang tidak sertifikasi justru malah lebih berkualitas dan berdedikasi tinggi terhadap pendidikan. Namun, solusinya adalah tinjau ulang semua guru yang sudah sertifikasi; dan perekrutan guru harus diperketat seperti yang sudah saya jelaskan di paragraf sebelumnya.

Rabu, 26 Agustus 2015

Sesat Pikir (2)

Tulisan berikut ini merupakan lanjutan dari postingan sebelumnya mengenai kesesatan relevansi dalam berpikir. Sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja, kita juga terkadang melakukan kekeliruan (kesesatan) dalam mengutarakan pendapat, pernyataan, atau dalam berargumen.

Kesesatan non causa pro causa. Kekeliruan berpikir jenis ini terjadi apabila kita menganggap sesuatu sebab, padahal sebenarnya bukan sebab atau bukan sebab yang lengkap. Contoh, setiap pengendara motor wajib memakai helm untuk melindungi kepalanya, seorang pengendara motor tewas kecelakaan, pasti ia tidak memakai helm.  Seorang murid harus mendengarkan nasihat guru, nilai si A tidak memuaskan, pasti ia tidak mendengarkan nasihat gurunya.

Ignoratio elenchi. Disebut juga red herring. Kekeliruan yang terjadi saat seseorang menarik kesimpulan yang tidak relevan dengan premisnya. Biasanya kekeliruan ini didasari oleh prasangka subyektif. 
Misalnya: pejabat itu blusukan ke pelosok hanya untuk pencitraan belaka. Orang itu sangat dermawan, pasti dia sedang cari muka. Dia seorang tokoh agama, jadi tidak mungkin melakukan kejahatan sekeji itu.

Argumentum ad ignorantiam. Kekeliruan berpikir yang terjadi ketika menarik kesimpulan atas dasar bahwa negasinya (kesalahannya) tidak terbukti salah. Maksudnya, bila kesalahan suatu pernyataan tidak terbukti salah, maka pernyataan tersebut bisa dikatakan benar. 
Contoh: Saya tidak pernah melihat Tuhan, karena itu Tuhan tidak ada. Argumen Anda salah karena Anda tidak dapat membuktikan argumen Anda tidak salah.

Kesesatan aksidensi. Kekeliruan berpikir yang terjadi kalau kita menerapkan pernyataan umum pada keadaan yang bersifat aksidental (kebetulan, tidak harus ada, tidak mutlak). Dengan kata lain, kita mengacaukan apa yang aksidental dengan apa yang esensi (hakiki). 
Misalnya, memotong tubuh orang adalah kejahatan,  dokter bedah memotong tubuh orang, jadi dokter bedah adalah penjahat. Membicarakan orang lain adalah tidak baik, pembicara itu membicarakan presiden kita, berarti pebicara itu seorang yang tidak baik.

Kesesatan karena komposisi dan divisi. Kekeliruan yang terjadi ketika apa yang benar atau salah pada perilaku individu berlaku juga pada kelompoknya (kesesatan komposisi). Sebaliknya, kesesatan divisi, apa yang benar atau salah pada perilaku kelompok berlaku pula pada individu kelompok tersebut. 
Contoh kesesatan komposisi: oknum anggota DPR ada yang korupsi, berarti semua anggota DPR adalah koruptor. Seorang guru di sebuah sekolah berlaku mesum terhadap muridnya, berarti semua guru di sekolah itu melakukan hal yang sama. 
Contoh kesesatan divisi: sekolah itu bertaraf internasional, pasti semua muridnya pintar. Rumah itu besar sekali, pasti kamar-kamar di dalamnya juga besar.

Demikianlah beberapa kesesatan relevansi. Cara menghindari atau mengatasi kesesatan dalam berpikir adalah bersikaplah kritis terhadap pernyataan-pernyataan yang Anda peroleh.

Semoga bermanfaat.


Sumber: Dasar-dasar logika (Surajiyo, dkk)

Selasa, 25 Agustus 2015

Sesat Pikir (1)

Sesat pikir adalah proses penalaran atau argumentasi yang sebenarnya tidak logis, salah arah, dan menyesatkan. Salah satu penyebab kesesatan berpikir adalah tidak adanya hubungan antara premis dengan kesimpulan. Atau disebut sebagai kesesatan karena relevansi. Ada berbagai jenis kesesatan karena relevansi, antara lain:

Argumentum ad hominem. Menolak atau menerima suatu pemikiran karena kepentingan/keadaan orang yang mengusulkan dan yang diusuli, bukan berdasarkan alasan penalaran. Kekeliruan berpikir ini ada dalam beberapa bentuk: 1) penyerangan terhadap karakter, reputasi, kebangsaan, atau agama seseorang yang tidak ada hubungannya dengan argumentasi yang dikemukakan, 2) ingin mendapatkan kesimpulan yang menguntungkan (enak didengar), 3) bisa juga karena relasi yang seseorang miliki. Kita sering melakukan kesesatan berpikir seperti ini.

Contohnya, pendapat Anda tentang pendidikan tidak bisa diterima, karena Anda bukan guru berpengalaman (yang diserang bukan argumen orang tersebut tentang pendidikan, melainkan reputasi orang tersebut). 
Pendapat Anda tentang kebenaran pasti salah, karena Anda berbeda agama dengan saya (yang diserang perbedaan agamanya, bukan argumentasinya tentang kebenaran).

Argumentum ad verecundiam. Menerima atau menolak suatu pemikiran karena orang yang menyampaikannya adalah orang yang berwibawa, dapat dipercaya, dan seorang ahli. Misalnya, pernyataan seorang kepala daerah dianggap selalu benar hanya karena dia seorang pemimpin, padahal pernyataannya belum tentu benar. Bisa juga, pendapat seseorang dinilai selalu benar hanya karena dia seorang profesor tanpa melihat nilai kebenaran argumentasinya. Masalahnya bukan pada jabatan, gelar atau wibawa seseorang, tetapi pada nilai kebenaran (logika) yang menyampaikan pendapat. Kesesatan berpikir jenis ini sering juga kita lakukan terutama jika orang yang mengemukakan pendapat tersebut seorang pemuka agama, profesor, atau ahli. Sehingga kita enggan mempertanyakan/mendebat pemikiran mereka.

Argumentum ad baculum. Kekeliruan berpikir seperti ini terjadi berdasarkan atas adanya ancaman hukuman (teror). Kalau tidak setuju atau menerima, maka akan dihukum (dipenjarakan, dipersulit hidupnya, dipukuli, dll). Dengan kata lain, ada pemaksaan dan bukan karena dasar argumentasi yang benar. Misalnya, seseorang dipaksa membenarkan kejahatan (yang belum tentu dilakukannya), karena diancam hukumannya akan diperberat.

Argumentum ad misericordiam. Kesalahan berpikir yang terjadi dengan menimbulkan rasa belas kasihan. Biasanya argumen ini berhubungan dengan usaha agar sesuatu perbuatan dimaafkan. Contohnya, seorang koruptor dibebaskan dari hukuman karena sang hakim melihat si koruptor memiliki anak-anak yang masih kecil dan istri yang tidak memiliki pekerjaan.

Argumentum ad populum. Argumen ini terjadi ketika sebuah pemikiran diterima atau ditolak berdasarkan suara terbanyak, massa, atau rakyat. Biasanya dilakukan saat kampanye, propaganda, pidato politk atau demonstrasi. Penekanannya adalah menggugah perasaan pendengar/rakyat sehingga argumennya seolah-olah benar.

Sabtu, 22 Agustus 2015

Struktur Sekolah menurut Richard H. Hall

Tulisan berikut adalah mengenai struktur organisasi sekolah yang pernah saya posting juga di akun facebook. Tujuan saya memosting tulisan ini, demikian juga dengan tulisan saya yang lain dalam blog ini, sekadar untuk kepentingan pendidikan. Semoga bermanfaat bagi para pembaca sekalian.

STRUKTUR SEKOLAH
Analisis awal mengenai struktur sekolah sebenarnya bersumber dari analisis klasik tentang birokrasi Weberian. Birokrasi Weberian sering dijadikan landasan teoritis dalam pembahasan struktur organisasional kontemporer, termasuk analisis struktur sekolah menurut Hall yang saya tuliskan di sini. Namun, analisis birokrasi Weberian tidak saya cantumkan di sini karena akan terlalu panjang dan luas. Jadi, langsung ke inti permasalahannya saja; struktur sekolah.

Untuk para pendidik, penting sekali bagi kita untuk mengenali struktur sekolah. Ada berbagai struktur sekolah yang telah dikaji secara sistematis oleh para pakar pendidikan. Salah seorang di antaranya adalah Richard H. Hall (1962, 1987, 1991). Struktur sekolah menurut Hall akan saya jelaskan di bawah ini, mulai dari struktur kacau hingga struktur profesional – yang dianggap paling efektif. 

Menurut penelitian, struktur sekolah ternyata berpengaruh pada prestasi siswa. Misalnya, struktur yang terlalu birokratis akan menghambat prestasi dan inovasi siswa. Demikian juga bahwa struktur yang terlalu birokratis bisa menghambat kinerja guru.

Selasa, 18 Agustus 2015

Belajar seperti Ahli

Apakah Anda pernah mendengar nama-nama berikut: Susan, Sofia, Judith, Garry Kasparov, Tiger Wood, Venus dan Serena Williams, Newton, Einstein, Mozart, dan Beethoven? Mungkin sebagian sudah dan sebagian lagi baru tahu. Siapakah mereka?

Susan, Sofia, dan Judith adalah tiga bersaudara yang merupakan ratu catur dunia. Garry Kasparov adalah pecatur terkuat dunia yang pernah mengalahkan komputer dengan 256 prosesor-Deep Blue. Tiger Wood, seorang pegolf dunia. Venus dan Serena Williams adalah dua bersaudara pemain tenis dunia. Sir Isaac Newton dan Albert Einstein merupakan dua raksasa fisika dunia. Mozart dan Beethoven adalah dua genius musik dunia. Sebelas orang yang saya tuliskan tersebut memiliki bidang yang berbeda; catur, golf, tenis, musik, dan fisika. Mereka memilik persamaan yaitu sama-sama terkenal. Itu baru sebagian orang saja. Artinya, sebenarnya masih banyak lagi orang terkenal di dunia yang genius di bidangnya.

Di balik nama mereka yang terkenal tersebut sesungguhnya kita bisa menemukan kerja keras, ketekunan, belajar dengan rajin, berlatih selama bertahun-tahun, dan minat. Singkatnya, mereka tidak terkenal secara tiba-tiba. Dan juga tidak menjadi genius di bidangnya secara mendadak. Hal menarik lainnya, bakat mereka tidak dibawa sejak lahir atau karena keturunan. Melainkan karena latihan yang terencana/sengaja (deliberate practice).

Sekarang yang menjadi pertanyaannya, kalau mereka bisa seperti itu, mengapa kita tidak? Jawabannya saya ambil dari jawaban salah seorang genius musik, Mozart: “Orang-orang melakukan kesalahan besar karena berpikir bahwa keterampilan seni datang kepada saya dengan mudah. Tidak ada yang menghabiskan waktu dan pikiran untuk mengarang lagu sebanyak yang saya lakukan.” Jawaban Mozart tersebut jelas bahwa ia menghabiskan banyak waktu dan pikiran untuk mengarang lagu. Artinya, ia berlatih dengan tekun. Sebenarnya orang yang kita anggap berbakat sebenarnya adalah mereka yang telah menjalani deliberate practice sejak kecil. Inilah rahasia para genius: belajar dan berlatih dengan keras dan berulang-ulang. Semua latihan dilakukan dengan sengaja/terencana, bukan sambilan, apalagi asal-asalan.

Ada baiknya kita meniru cara belajar para genius tersebut. Kalau kita tidak bisa mencapai seperti pencapaian mereka, setidaknya kita bisa meningkatkan diri melebihi kondisi kita saat ini. Caranya: belajar dan berlatih dengan keras. Mengulang apa yang sudah dipelajari berkali-kali sampai benar-benar menguasainya. Syaratnya adalah rajin, tekun, dan disiplin. Sikap yang dihindari adalah ketidaksabaran untuk melangkah ke pelajaran berikutnya padahal belum menguasai pelajaran sebelumnya.


Sumber: 
It Pin Arifin, Ketika Mozart Kecil Memainkan Jemarinya, Jakarta: Gramedia

Selasa, 04 Agustus 2015

Organisasi Informal dalam Sekolah

Organisasi informal merupakan sebuah sistem relasi antar-pribadi yang terbentuk secara spontan di dalam semua organisasi formal (Hoy dan Miskel, 2014). Sewaktu manusia berinteraksi dalam organisasi, jaringan relasi informal pun mulai muncul yang menimbulkan dampak-dampak penting terhadap perilaku. Organisasi informal juga mengandung aspek struktural, normatif, dan perilaku.
Dalam organisasi formal, manusia berinteraksi secara informal membicarakan masalah pribadi dan sosial. Dan tentunya pasti ada yang disukai dan yang tidak disukai. Kelompok yang disukai biasanya didekati atau terus berinteraksi, sebaliknya, kelompok yang tidak disukai akan dihindari. Status di dalam kelompok informal bergantung pada frekuensi, durasi, dan watak pola-pola interaksi, serta seberapa besar penghormatan yang diberikan orang lain kepada individu lainnya dalam kelompok. Sebagai konsekuensinya, sebagian dikagumi, sebagian dihindari. Kelompok informal juga memiliki pemimpin, tentunya pemimpin informal, yang memiliki pengaruh kuat atau dihormati dalam kelompoknya.
Interaksi informal membuahkan sub-sub kelompok; pertemanan kecil (klik), jaringan komunikasi informal, jaringan berdisiplin yang berpusat pada kepemimpinan informal, dan struktur status di kalangan kelompok guru. Sebagai contoh, ketidakmampuan guru untuk memengaruhi kebijakan melalui struktur formal akan menumbuhkan aktivitas, percakapan, dan prakarsa informal. Kelompok informal ini akan berinteraksi membahas kebijakan, misalnya aturan mengenai teknik mengajar, yang dibuat oleh pengelola pendidikan. Berbagai keputusan yang diambil oleh pengelola/pemimpin sekolah bisa juga menjadi bahan pembicaraan dalam kelompok informal. Sebagian mungkin menerima, tapi harus diakui, sebagian menolak dan bahkan melakukan perlawanan.

Jumat, 31 Juli 2015

Guru, Pendidikan, dan Permasalahannya

Apa yang menjadi topik-topik pembahasan mengenai pendidikan kita akhir-akhir ini? Kira-kira seputar kualitas guru, prestasi akademis, standar kinerja guru, karya ilmiah guru, minat baca siswa, budi pekerti, kurikulum, penyebaran guru, dll. Pembahasan utama adalah mengenai guru.
Ada apa dengan para guru kita? Beberapa kondisi yang sering kita dengar – rendahnya kualitas, rendahnya minat guru menulis karya ilmiah, sertifikasi guru yang tidak memengaruhi kinerja dan penyebaran guru. Selain guru, ada juga pembahasan mengenai penumbuhan budi pekerti pada siswa.

Kinerja Guru
Sulit sekali menilai kinerja guru karena hasilnya baru akan terlihat ketika murid-muridnya telah sukses beberapa tahun kemudian. Itupun sulit dilakukan. Adalah suatu pemikiran sempit pula jika kinerja guru dinilai hanya berdasarkan nilai prestasi siswa. Mungkin cara mudahnya adalah dengan melihat kepuasan siswa dan orang tua terhadap kinerja guru. Kalau siswa dan orang tua merasa puas, berarti guru tersebut memiliki kinerja yang baik. Tapi itu tidak cukup. Masih banyak lagi aspek yang perlu dinilai – misalnya profesionalisme guru, kedisiplinan, kemampuan melakukan evaluasi, atau kemampuan guru menerapkan rencana-rencana pengajaran, dll. Singkatnya, tidak ada cara terbaik untuk mengukur kinerja guru.

Rendahnya Minat Guru Menulis Karya Ilmiah
Mengenai rendahnya minat guru menulis karya ilmiah merupakan masalah serius. Rendahnya minat menulis menunjukkan rendahnya minat baca. Sebab, seseorang mampu menulis karena banyak membaca. Bayangkan seorang guru malas membaca, bagaimana ia menjadi teladan bagi murid-muridnya? Untuk menumbuhkan minat siswa dalam menulis karya ilmiah, dibutuhkan guru yang berminat dan mampu menulis. Seharusnya guru diberikan program wajib baca. Bagi sekolah yang belum memiliki perpustakaan harus segera menyediakannya.

Senin, 20 Juli 2015

Teori dan Praktik dalam Organisasi Pendidikan

Ada sebuah pertanyaan yang terbersit di pikiran ketika saya sedang membaca buku. Pertanyaannya, "apakah penting untuk mengetahui berbagai teori dalam menjalankan organisasi?" "Bukankah organisasi dijalankan (praktik) saja tanpa harus sibuk berteori?" Saya sempat beradu argumen dengan seorang rekan kerja. Pendapat kami berbeda mengenai menjalankan organisasi. Dia, teman saya itu, menuduh saya terlalu kaku dengan teori. Dan, saya menganggapnya terlalu miskin pengetahuan. Perbedaan kami lainnya, saya suka membaca buku, dia tidak. Persamaan kami, kami sama-sama seorang pendidik (guru).

Defenisi Teori
Kembali ke pertanyaan saya tadi. Apa pentingnya teori? Pertama kita harus mengetahui, teori adalah bahasa khusus yang menerangkan dan membantu kita memahami fenomena (Tosi, 2009). Teori adalah serangaian konsep, asumsi, dan generalisasi yang saling berhubungan yang melukiskan dan menjelaskan secara sistematis keteraturan perilaku dalam organisasi-organisasi pendidikan (Hoy dan Miskel, 2014). Ilmu pengetahuan kita terdiri atas teori-teori kita. Fenomena terjadi di sekitar kita setiap saat. Itulah realita. Namun, kita tidak bisa membawa realita itu seluruhnya ke dalam pikiran kita karena pikiran kita terbatas. Karena itu, kita membawa kesan-kesan tentang realita itu ke dalam pikiran kita dalam bentuk teori-teori. 

Teori dan Praktik
Bagaimana dengan praktik? Bukankah praktik juga penting? Ya, praktik juga penting. Teori dan praktik saling berkaitan secara langsung. 1) teori membentuk kerangka acuan bagi praktik; 2) proses teori memberikan pola analisis umum tentang peristiwa-peristiwa praktis; 3) teori memandu pembuatan keputusan. Dalam organisasi, teori memandu pengambilan keputusan adminstratif. Jadi, sebaiknya kita jangan mempertentangkan teori dengan praktik. Permasalahannya adalah beberapa pemimpin organisasi menjalankan kepemimpinan dan organisasi tanpa memiliki landasan teori yang pasti dan jelas. Mungkin mereka berpikir bahwa berteori hanya usaha membuang-buang waktu. Jelas ini adalah sikap yang salah.

Minggu, 19 Juli 2015

Pentingnya Belajar

Beberapa hari yang lalu, saya berbincang-bincang dengan seorang guru senior. Beliau sudah mengajar di atas 15 tahun. Banyak kisah yang beliau ceritakan. Mulai dari peristiwa-peristiwa menyenangkan hingga yang tidak menyenangkan. Pengalaman beliau menjadi pembelajaran bagi saya karena, sebagai guru, saya bisa dikatakan belum berpengalaman.

Guru senior ini menceritakan beberapa keberhasilannya. Salah satunya, sempat menolak siswa-siswi yang ingin mendaftar. Artinya, jumlah yang ingin mendaftar ke sekolah - saat itu - sangat membludak. Itu dulu semasa kepemimpinannya. Beda dengan sekarang, jumlah siswa terus menurun. Beliau juga menceritakan pernah konflik dengan atasan. Ia menceritakan begitu detil, sehingga saya tidak bisa menuliskannya di sini. Intinya, ia kecewa dan kesal dengan kepemimpinan di organisasi/yayasan kami sekarang. Sekolah kami ini adalah sekolah swasta di bawah yayasan. Intervensi yayasan begitu terasa sehingga kepemimpinan kepala sekolah menjadi kabur. Kadang-kadang para guru dibuat bingung, pemimpin sebenarnya siapa - yayasan atau kepala sekolah?

Ternyata guru senior ini sudah memprediksi bahwa jumlah siswa yang mendaftar akan cenderung menurun. Yayasan yang terlalu otoriter dan terlalu 'masuk' ke proses pembelajaran, akan membuat guru tidak nyaman, merasa tertekan, dan buktinya, banyak guru tidak betah. Memang benar, tiap semester terjadi pergantian guru. Akibatnya, kepuasan pelanggan (orang tua, siswa) menurun dan ini tersebar dari mulut ke mulut kepada masyarakat. Pembaca mudah-mudahan paham penjelasan saya.

PERUBAHAN ORGANISASI PENDIDIKAN MENENGAH ATAS

PERUBAHAN ORGANISASI PENDIDIKAN MENENGAH ATAS

Aris Primasatya Zebua, S.Pd*
*Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia
arisprimasatya@gmail.com 

 Abstraksi
Makalah ini membahas tentang pengembangan organisasi dan perubahan. Setiap organisasi pasti memikirkan kemajuan. Kemajuan hanya terjadi jika ada perubahan dalam organisasi tersebut. Perubahan ini bisa direncanakan. Ada tiga model perubahan terencana (planned change) yang akan dibahas yakni: model perubahan Lewin, model action research, dan model positif. Makalah ini juga dilengkapi dengan contoh penerapan teori-teori perubahan dalam dunia pendidikan. Misalnya, ketika terjadi perubahan kurikulum di Indonesia. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menambah wawasan mengenai pengembangan organisasi dan perubahan bagi para pendidik, dan untuk membantu para pemimpin pendidikan dalam merancang perubahan di lembaga yang dipimpin. Di bagian akhir, terdapat perbandingan ketiga teori yang dibahas. Tidak ada model yang terbaik. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh karena, itu penulis menyarankan untuk melakukan kolaborasi antara dua model perubahan.
Kata kunci: perubahan, lewin, action research, positif, pendidikan.

PENDAHULUAN
Pembahasan mengenai perubahan sama halnya dengan membahas tentang kemajuan (Manahan, 2012). Sebuah organisasi yang sudah besar pun akan mengalami perubahan. Karena jika tidak melakukan perubahan, organisasi tersebut akan kalah bersaing oleh organisasi-organisasi lain yang juga menghendaki kemajuan.
Sekolah sebagai sebuah organisasi juga harus memikirkan perubahan. Pengaruh faktor eksternal maupun internal dapat mendorong sekolah melakukan perubahan. Faktor eksternal misalnya perubahan kurikulum, lingkungan sosial, atau kebijakan pemerintah. Faktor internal misalnya budaya sekolah, fasilitas, sistem imbalan guru honor, faktor orang tua murid, dan lain-lain.
Makalah ini akan menganalisis dan membandingkan model-model dalam teori perubahan, antara lain model perbahan Lewin, model action research, model positif, serta contoh penerapannnya dalam dunia pendidikan khususnya pada pendidikan menengah.
MODEL PERUBAHAN LEWIN
Salah satu model awal dari perubahan terencana (planned change) diberikan oleh Kurt Lewin. Dia memahami perubahan sebagai modifikasi dari kekuatan-kekuatan mempertahankan perilaku sistem yang stabil. Dengan kata lain, menjauh dari zona kenyamanan. Secara khusus, bagian tertentu dari perilaku setiap waktu adalah hasil dari dua kelompok kekuatan: mereka yang berjuang untuk mempertahankan status quo (menentang perubahan) dan mereka mendorong/mendukung perubahan. Bila kekuatan kedua kelompok ini sama, artinya berada dalam keadaan seimbang, maka disebut “kesetimbangan kuasi-stasioner”. Kurt Lewin mengajukan teori tiga tahap perubahan dan sering disebut sebagai pencairan (unfreezing), tindakan (moving) dan pembekuan/pendinginan (refreezing).
1.      Unfreezing (Pencairan)
Unfreezing adalah tahap awal yang sangat penting untuk melakukan perubahan. Tahap ini membahas tentang persiapan untuk berubah. Atau suatu kesadaran dan pemahaman bahwa perubahan mulai diperlukan, serta bersiap-siap untuk mulai menjauh dari zona kenyamanan yang ada saat ini. Persiapan perubahan ini berlaku untuk perubahan secara individual maupun tim kerja. Hal yang diperhatikan adalah faktor pendukung dan penentang perubahan. Bila semakin banyak yang mendukung, maka perubahan mudah dilakukan. Sebaliknya, jika tidak, maka perubahan akan susah dilakukan. Karena itu, pada tahap ini setiap individu atau tim kerja diberi pemahaman bahwa sebuah organisasi memerlukan perubahan secara mendesak. Semakin besar anggota organisasi merasa perubahan mendesak diperlukan, semakin mudah pula melakukan perubahan.
Dalam dunia pendidikan, tahap unfreezing ini seperti ketika terjadi perubahan kurikulum. Hampir semua guru menolak perubahan itu. Karena itu, pemerintah melakukan sosialisasi. Pemerintah memberikan penjelasan tentang perlunya perubahan dalam sistem pendidikan. Perubahan terletak pada metode pembelajaran konvensional menjadi metode pembelajaran yang menghendaki keterlibatan siswa secara aktif. Dasar-dasat perubahan kurikulum dijelaskan secara detail dan logis. Sehingga reaksi guru yang awalnya menolak, pelan-pelan bisa menerima. Pihak-pihak yang menolak ‘dicairkan’ sehingga perubahan bisa dilakukan.

Sabtu, 18 Juli 2015

MERANCANG BUDAYA ORGANISASI SEKOLAH (3)

BUDAYA ORGANISASI PENDIDIKAN (SEKOLAH)
Hasil analisis pengembangan budaya organisasi di atas berakhir pada terbentuknya suatu budaya sekolah yang baru. Kita mengharapkan sebuah sekolah menjalankan pendidikan secara efektif sesuai dengan amanat pendiri bangsa yang tercantum dalam undang-undang. Agenda pendidikan, sejatinya adalah agenda pembangunan moral dan budaya bangsa (Komaruddin Hidayat dalam Tim PGRI, 2014). Bung Hatta secara tepat menyatakan bahwa apa yang diajarkan dalam proses pendidikan adalah kebudayaan, sedangkan pendidikan itu sendiri adalah proses pembudayaan (Tim PGRI, 2014).
Salah satu cara membentuk budaya bangsa yang bermartabat adalah melalui pendidikan. Oleh karena itu, penting sekali untuk membangun budaya sekolah yang bermartabat untuk mencapai pembentukan budaya bangsa. Bayangkan sebuah sekolah yang dipimpin oleh seorang kepala sekolah, namun beberapa gurunya adalah pendatang baru. Demikian juga di awal tahun ajaran, datang peserta didik baru. Semua berkumpul dalam satu sekolah, melakukan kegiatan bersama, menghadiri rapat bersama, bersosialisasi, guru dan peserta didik dalam proses pembelajaran di kelas, dan tenaga kependidikan bekerja di ruangannya masing-masing. Bagaimana memadukan semua itu? Dengan membangun budaya sekolah.
Pemimpin sekolah atau para “pahlawan” menceritakan cita-cita penyelenggara sekolah – pemerintah atau swasta – kepada  semua warga sekolah (baik yang lama maupun yang baru); menciptakan seperangkat aturan yang jelas tentang hak dan kewajiban yang harus dipatuhi semua warga sekolah; menciptakan kebijakan yang mampu memberdayakan guru (struktur yang memberdayakan); memperhatikan kepentingan warga sekolah (sekolah yang perhatian), dan mengoordinasikan semua kegiatan kelompok.

MERANCANG BUDAYA ORGANISASI SEKOLAH (2)

MERANCANG BUDAYA ORGANISASI BARU PENDIDIKAN
Menurut Cross dan Schichman yang dikutip dari Manahan (2012), menuliskan bahwa untuk mengembangkan suatu budaya organisasi, kita harus dapat mengondisikan budaya tersebut ibarat sebuah rumah tempat tinggal (HOME). Gambar berikut ini adalah skema pengembangan budaya organisasi Cross dan Schichman.

(SKEMA TIDAK DILAMPIRKAN DI SINI)

Penulis akan melakukan analisis dan solusi merancang suatu budaya organisasi pendidikan berdasarkan skema tersebut. Ada empat metode yang digunakan yang terdiri dari variabel-variabel. Bila semua variabel tersebut disatukan, maka akan membentuk suatu budaya organisasi.

1.      Pengembangan Budaya Sesuai Tuntutan Sejarah
Sebagaimana dikemukakan oleh Cross dan Schichman dalam Manahan (2012), pengembangan budaya sesuai tuntutan sejarah ialah membentuk kondisi organisasi yang dapat mengidentifikasi tuntutan berdasarkan komitmen sejarah dari orang-orang terdahulu yang dianggap sebagai “pahlawan”. Penulis berasumsi bahwa jika sebuah organisasi – seperti sekolah – belum memiliki budaya yang kuat, maka merancang budaya sekolah juga harus diawali dengan mengidentifikasi tuntutan sejarah. Jadi, masih sejalan dengan pengembangan budaya oleh Cross dan Schichman.
Langkah pertama adalah mengidentifikasikan tuntutan komitmen sejarah dari orang-orang terdahulu yang disebut sebagai “pahlawan”. Ide konsep dari pahlawan tersebut terbentuk berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan kerumitan permasalahan yang menurut mereka harus diatasi  dan akan dihadapi (Manahan, 2012). Pertanyaan yang muncul adalah siapakah “pahlawan” di sekolah? Terrance Deal (1985), dalam Hoy dan Miskel (2014), mengemukakan bahwa kepala sekolah sebagai pahlawan yang mewujudkan nilai-nilai utama. Sementara, karyawan sebagai pahlawan situasional. Dalam lingkup sekolah swasta, selain kepala sekolah, koordinator yayasan bisa disebut sebagai “pahlawan”.
Sebagai contoh, ketika guru-guru menghadapi permasalahan dengan orang tua siswa, kepala sekolah harus membela guru-gurunya bahkan ketika tekanan dari orang tua semakin kuat. Pembelaan kepala sekolah terhadap guru-gurunya bisa menjadi nilai baru, bisa pula menjadi simbol kerekatan dan kesetiaan di lingkungan sekolah. Kisah pembelaan ini akan terus menerus diceritakan kepada guru baru nantinya. Dengan kata lain, ada transfer nilai dan simbol. Inilah budaya organisasi baru.
Contoh lain, ketika terjadi konflik ide/gagasan antar guru atau konflik dengan kepala sekolah sendiri. Pemecahan konflik harus dimusyawarahkan bersama dengan memilih gaya pemecahan yang tepat, kolaborasi misalnya; bukannya baku-hantam karena perbedaan pendapat. Kebiasaan bermusyawarah menjadi budaya baru bagi sekolah dan terus-menerus dipertahankan.
Cita-cita dan harapan pendidikan masa depan bisa juga dijadikan sebuah budaya. Misalnya dalam menghadapi globalisasi, hilangnya batas antar bangsa, maka penting sekali menguasai Bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya. Sekolah wajib menyediakan kegiatan belajar tambahan tentang penguasaan bahasa asing untuk memfasilitasi peserta didik menguasai bahasa asing. Budaya belajar bahasa asing menjadi budaya sekolah dengan tetap mempertahankan bahasa lokal dan bahasa nasional. Artinya, sekolah tersebut menyiapkan peserta didiknya untuk menghadapi tantangan globalisasi.

MERANCANG BUDAYA ORGANISASI SEKOLAH (1)

MERANCANG BUDAYA ORGANISASI SEKOLAH

ARIS PRIMASATYA ZEBUA, S.Pd*
*Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia

Abstraksi
Budaya adalah norma sosial, cara berperilaku, tingkah laku, kepercayaan, simbol-simbol, warisan yang dipegang dan dilakukan oleh mayoritas orang dalam suatu masyarakat. Budaya organisasi adalah sebuah usaha untuk mendapatkan perasaan, kesan, atmosfir, karakter, atau gambaran sebuah organisasi. Adapun fungsi utama budaya adalah sebagai peran batas-pendefinisian; budaya menciptakan perbedaan di antara sekian banyak organisasi. Organisasi pendidikan atau sekolah juga memilik budaya tersendiri. Bagaimana merancang budaya organisasi pendidikan? Sebagaimana organisasi lainnya, langkah pertama, adalah mengembangkan tuntutan sejarah sambil belajar dari “pahlawan”. Kedua, meningkatkan kreativitas dan pemahaman akan keutuhan. Ketiga, promosi dan pemahaman tentang anggota. Dan terakhir, tingkat pertukaran informasi di antara anggota. Keempat metode ini bila dianalisis dan disatukan kembali, maka akan menciptakan budaya organisasi pendidikan yang baru.
Kata kunci: budaya, budaya organisasi, pendidikan, sekolah

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
“Pendidikan adalah senjata paling mematikan di dunia, karena dengan itu Anda dapat mengubah dunia.” Kalimat tersebut diucapkan oleh seorang tokoh dunia yaitu Nelson Mandela. Pendidikan memegang peranan penting dalam perkembangan sebuah bangsa. Di Indonesia, pendidikan mendapat perhatian yang besar dari pemerintah dengan mengalokasikan 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk kepentingan pendidikan.
Manusia mendapatkan pendidikan pertama kali dalam keluarga. Manusia mendapatkan nilai-nilai kehidupan berawal dari lingkungan keluarga. Kemudian seiring berjalannya waktu manusia pun bertumbuh dan bersosialisasi dengan masyarakat atau lingkungan sekitar. Manusia dipengaruhi juga oleh lingkungan tempat tinggalnya. Nilai-nilai yang ada dalam masyarakat bisa memengaruhi seseorang. Tidak hanya sampai di situ, ada juga yang disebut sebagai pendidikan formal yaitu sekolah. Sekolah adalah tempat seorang pribadi mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Sekolah adalah lembaga jasa yang berkomitmen pada dunia belajar-mengajar (Hoy dan Miskel, 2014).
Sekolah merupakan sarana yang secara sengaja dirancang untuk menjalankan pendidikan. Semakin maju suatu masyarakat, semakin penting peranan sekolah dalam mempersiapkan generasi muda sebelum masuk dalam proses pembangunan masyarakat itu. Peran masyarakat dalam pendidikan memang sangat berkaitan dengan perubahan cara pandang masyarakat terhadap pendidikan. Hal ini tentu saja bukan hal yang mudah untuk dilakukan.
Sekolah adalah lembaga pembelajaran; tempat para partisipan (peserta didik) terus menerus mengembangkan kapasitas mereka dalam mencipta dan meraih, tempat mendorong kemunculan pola-pola pemikiran baru, tempat penumbuhan aspirasi kolektif, tempat partisipan mempelajari cara belajar bersama,  dan tempat organisasi memperluas kapasitasnya akan inovasi dan pemecahan masalah (Senge, 1990; Watkins dan Marsick, 1993; dalam Hoy dan Miskel, 2014).
Sebagai sebuah lembaga-pembelajaran sekolah tidak hanya terdiri dari peserta didik. Di sekolah ada kepala sekolah, tenaga pendidik (guru), tenaga kependidikan, dan juga lingkungan, gedung, dan fasilitas. Artinya sekolah merupakan sebuah organisasi. Sebagai sebuah organisasi, sekolah memiliki tujuan bersama, nilai, simbol, seremoni; budaya organisasi. Agar tercipta sekolah yang efektif, maka penting sekali untuk membangun/merancang suatu budaya organisasi pendidikan (budaya sekolah) yang baru dan terbuka; sebuah budaya yang membawa karakter tersendiri bagi masyarakat sekolah dalam menjalankan fungsi kemanusiaannya dalam keluarga, masyarakat, serta bangsa dan negara.

Kamis, 16 Juli 2015

Manajemen Waktu Efektif

MANAJEMEN WAKTU EFEKTIF
"Bisnis utama kita adalah untuk tidak melihat apa yang terletak samar-samar di kejauhan, tetapi untuk melakukan apa yang jelas ada di tangan." - Dale Carnegie

Manajemen waktu adalah bagian penting dari kehidupan sehari-hari. Sering kali itu adalah akar penyebab stres, tantangan produktivitas, dan isu-isu lain yang berasal dari stres. Dengan memahami bagaimana mengelola waktu Anda secara efektif, Anda dapat lebih baik mengantisipasi masalah dan mengembangkan solusi lebih awal.
5 Wilayah Kritis untuk Melaksanakan Manajemen Waktu Efektif
Sikap dan Stres: Ketika kita memiliki sikap positif dan menjaga emosi kita terkendali, kita berada dalam posisi yang lebih baik untuk mengelola waktu secara efektif. Sikap antusias dan santai memberikan pikiran yang jernih untuk merencanakan.

Senin, 29 Juni 2015

Perceraian dan Masa Depan Bangsa

Angka perceraian meningkat 52 persen selama lima tahun terakhir, 2010-2014 (Kompas, 30/06/2015). Ini adalah berita penting sekaligus mengkhawatirkan. Mengapa? Karena sangat berhubungan dengan keluarga. Keluarga adalah lingkungan pertama dan utama seorang anak mendapat pendidikan.  Ketidaksiapan menikah yang ditandai dengan rumah tangga tidak harmonis, tidak ada tanggung jawab, persoalan ekonomi, dan kehadiran pihak ketiga merupakan penyebab perceraian. Dari berbagai penyebab tersebut, penyebab utama ada dua: ketidakharmonisan yakni kekurangan nafkah lahir dan batin. Tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga dan tidak mampu memahami pasangan.

Budaya Popular 
Menurut kepala puslitbang kehidupan keagamaan kemenag, Muharam Marzuki, ada kecenderungan menikah usia muda yang merupakan pengaruh budaya popular. Tontonan di film ataupun sinetron menunjukkan para pemain film yang berusia belia sudah menikah.

"Penelitian menunjukkan pasangan muda tak mengerti bahwa menikah berarti tanggung jawab terhadap sesama dan juga keluarga suami atau istri," kata Muharam. Oleh karena itu, masalah paling sering terjadi ialah komunikasi yang buruk antara suami dan istri, orangtua, mertua, dan ipar. Bahkan, persepsi tentang pernikahan disamakan dengan pacaran, yaitu jika tak cocok, boleh putus hubungan (Kompas).

Selasa, 09 Juni 2015

Pendidikan dan Permasalahan Bangsa

Akhir-akhir ini aku sibuk sekali. Padahal aku sudah bertekad tidak menggunakan kata ‘sibuk’ seandainya aku pandai mengatur prioritas yang akan kukerjakan. Waktuku tersita oleh pekerjaan dan tugas-tugas kuliah. Hari-hari berlalu sangat cepat namun terasa begitu berat. Kadang-kadang aku tidak merasakan hari sudah berganti dan sudah begitu banyak hal yang kulakukan. Sesekali memang aku masih membuka miniblog tumblr dan menulis puisi. 
Berita di televisi juga hampir terlewati olehku. Sehingga sedikit sekali informasi kuketahui selain berita-berita utama. Misalnya tentang ijazah palsu, beras palsu, masalah PSSI, partai politik, atau berita jelang pemilihan kepala daerah. Dalam pandanganku, Indonesia sedang mengalami ‘bencana’. Bencana yang kumaksud adalah rusaknya tatanan kehidupan berbangsa dan bertanah air.
Ijazah Palsu
Banyak oknum memilih jalan pintas untuk menggapai jabatan tinggi. Tanpa rasa malu menggunakan ijazah palsu sebagai jaminan kualitas diri. Pertanyaanku: kualitas diri apa yang ditunjukkan dengan ijazah palsu? Sistem penerimaan pegawai (baik negeri ataupun swasta) yang mengutamakan gelar - bukannya kecerdasan dan keahlian – dan juga budaya ‘demam gelar’ di lapisan masyarakat telah membuka jalan bagi oknum-oknum tertentu untuk menggunakan ijazah palsu. Tapi, apakah kita perlu menyalahkan sistem yang rusak?

Selasa, 26 Mei 2015

UPAYA PEMERINTAH MENGATASI PENGGUNAAN IJAZAH PALSU

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting, sebab biasanya kualitas kecerdasan manusia dilihat dari seberapa tinggi seseorang tersebut mengenyam pendidikan. Tidak hanya itu dengan adanya pendidikan, manusia juga dapat mencapai pemenuhan kebutuhan hidupnya dengan cara bekerja. Bukan hal yang istimewa lagi jika banyak orang berlomba-lomba untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Pemerintah juga tidak main-main dalam menggalakkan pendidikan, terbukti dari adanya salah satu peraturan yang mengatur tentang pendidikan. Peraturan tersebut tertuang dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 31 ayat (1) disebutkan bahwa: Tap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran; ayat (2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang. Dari penjelasan pasal ini pemerintah memberikan petunjuk bahwa pemerintah mendapatkan amanat untuk menjamin hak-hak warga negara dalam mendapatkan layanan pendidikan, selain itu pemerintah juga berkewajiban untuk menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional.
Kepedulian pemerintah akan pendidikan juga terlihat pada besarnya alokasi dana untuk pendidikan dari APBN, ini membuktikan keseriusan pemerintah untuk menjamin tiap-tiap warga negaranya agar mendapatkan pendidikan yang layak. Namun sayangnya hal ini tidak disadari betul oleh masyarakat, sebab masih banyak masyarakat yang menganggap pendidikan bukan hal yang utama dalam mencapai kesejahteraan hidup. Selain itu pemerintah juga tidak mengawasi betul pengalokasian dana tersebut, sebab sebagian masyarakat yang menyadari akan pentingnya pendidikan masih sulit dalam mengenyam pendidikan.

Selasa, 12 Mei 2015

Urusan Pribadi di Media Sosial

Semakin ke sini media sosial (medsos), seperti facebook, twitter, tidak hanya dijadikan sebagai media bersosialisasi namun juga menjadi media mempublikasikan urusan yang sifatnya pribadi. Seperti makanan kesukaan, doa dan harapan, foto-foto kegiatan sehari-hari, ungkapan perasaan hati, ungkapan kemarahan atau kejengkelan, keluhan, bahkan makian, dll., yang seharusnya bersifat pribadi. Hal-hal pribadi ini bisa menjadi konsumsi publik. Salah satu penyebabnya adalah sifat manusia yang ingin diperhatikan. Dengan mem-posting urusan pribadi, orang lain akan membaca dan mengetahui apa yang sedang kita alami/rasakan. Ketika orang lain tahu, bisa menimbulkan perasaan bahagia. Misalnya, orang lain mengetahui keberhasilan/pencapaian kita tentu membuat kita bangga apalagi bila orang lain memberikan ucapan selamat. Pertanyaannya, apakah postingan bisa menimbulkan efek negatif?

Bisa juga postingan di medsos akan memicu amarah, kebencian, iri hati, atau cemburu bagi para pembaca - yang harusnya ditujukan kepada seseorang saja. Kadang-kadang pembaca dibuat bingung dan bertanya-tanya apa gerangan maksud dari sebuah postingan tertentu. Ada juga pembaca yang merasa ditujukan ke dirinya (padahal bukan). Sebaiknya hal ini dihindari. Caranya: kurangi menulis hal-hal yang tidak jelas (misalnya: tidak jelas mengapa marah atau kesal, tidak jelas kepada siapa ditujukan), yang bisa memicu kebencian, yang bisa menimbulkan curiga. Kalau punya masalah pribadi dengan seseorang sebaiknya jangan di-posting di medsos, apalagi kalau bersifat balas dendam, ancaman, atau mempermalukan seseorang. Karena, pembaca medsos tidak hanya satu orang tetapi orang banyak.

Cara lain yang lebih baik adalah mem-posting hal-hal positif seperti ilmu pengetahuan, info beasiswa, atau opini tentang isu-isu kebangsaan terkini, bahkan bisa juga dengan menggunakan medsos sebagai sarana untuk berbisnis. Pasang iklan menarik dan undang teman-teman untuk merespon. Selain mendapat banyak teman, hal ini bisa mendapat keuntungan dalam mengembangkan bisnis. Semoga semakin hari, dengan bertambahnya pengetahuan/wawasan kita, semakin kita menggunakan media sosial secara bijaksana. Kadang-kadang penyebab kita menggunakan medsos secara salah adalah karena kurangnya pengetahuan, kurangnya pengendalian diri (atau emosi), atau karena narsis (mencintai diri sendiri secara berlebihan).