Senin, 29 September 2014

Gugat-menggugat

Apa yang terlintas di pikiran Anda saat membaca berita-berita politik saat ini? Sebentar-sebentar kita mendengar ada gugatan lagi. Apakah yang terjadi sehingga sebuah keputusan digugat? Apakah mereka yang membuat keputusan sudah memahami benar konsekuensi dari keputusan itu? Atau, apakah penggugat benar-benar tahu hal yang ia gugat?

Saya yakin, entah kenapa, bahwa sebenarnya pembuat keputusan tersebut tahu bahwa keputusan yang dibuatnya sebenarnya atas dasar kepentingan tertentu, biasanya kepentingan kelompok (bukan kepentingan bersama). Contohnya, di persidangan uji materi A atau yang lain, hasil putusannya selalu ditolak. Kenapa? Tentu karena bertentangan undang-undang dasar. Atau, tentang masalah gugatan pilpres yang begitu panas. Orang awam juga tahu siapa yang menang, orang awam (seperti aku) juga tahu siapa yang curang, namun pihak penggugat 'merasa' dirinya benar.hahaha

Kita sekarang menunggu apakah gugatan UU Pilkada benar-benar dilaksanakan. Ada dua pendapat mengenai pilkada ini; langsung (oleh rakyat) dan tidak langsung (oleh DPRD). Keputusannya adalah pilkada tidak langsung. Keduanya memang memiliki kelebihan dan kelemahan. Terlebih jika orang-orang yang terlibat di dalamnya adalah orang-orang yang pada dasarnya korup misalnya, entah langsung atau tidak, sama-sama merugikan negara. Kalau dikatakan pilkada tak langsung merupakan kemunduran demokrasi, bisa jadi benar.

Namun, bagaimana dengan sistem perwakilan (DPRD) yang juga berlaku di negara kita? Apakah kita tidak percaya lagi pada wakil-wakil kita? Mungkin di sini masalahnya, kalau memang bukan benar-benar jadi masalah. Kita tidak percaya lagi pada wakil rakyat. Keputusan yang mereka buat juga sering atas dasar kepentingan kelompok tertentu. Tapi, apakah memilih langsung juga benar-benar murni? Banyak juga lho yang memilih karena diiming-imingi secara sembunyi-sembunyi.hehehe Apalagi kalau dilihat dari peserta pemilu yang hanya sekian persen dari jumlah pemilih yang sebenarnya. Dan dari hasil pemilihan pun, dari yang sekian persen itu hanya sebagian kecil saja yang dikatakan memenangkan pemilu. Dengan kata lain, hanya sedikit warga negara saja yang ikut ambil bagian, berarti calon yang terpilih pun hanya dipilih oleh sedikit warga saja dari ratusan juta warga negara. Tapi hal ini masih bisa di atasi dengan memberikan pendidikan politik kepada masyarakat luas sehingga ke depan mau melibatkan diri setiap pemilu. Sebenarnya pilkada tidak langsung bisa lebih efektif, namun apakah kita bisa memercayai wakil-wakil kita? Apakah mereka benar-benar mampu mewakili masyarakat? Dari pengalaman sih, tidak.

Hari ini saja di MK berlangsung sidang putusan UU MD3. Saya juga yakin hasilnya adalah ditolak (sok tau.hehe) karena aku tidak mengikuti persidangan sampai selesai. Tunggu hasilnya saja nanti di berita......Eh ternyata benar ditolak.

Beginilah kalau kepentingan pribadi/kelompok lebih diutamakan daripada kepentingan bersama. Hal-hal yang sebenarnya sudah diketahui baik jadi dibuat terbalik; yang buruk dianggap baik. Semoga saja para pejabat negara kita, para politisi, segera sadar.

Rabu, 24 September 2014

PROFIL SEKOLAH EKA WIJAYA

SEKOLAH EKA WIJAYA: PROFIL SEKOLAH EKA WIJAYA: Salam, Yayasan Pendidikan Eka Wijaya berdiri sejak tahun 1990. Sekarang memiliki beberapa lembaga sekolah mulai dari PG-TK-SD-SMP-SMA-S...

Senin, 22 September 2014

Judulnya apa ya?

Beberapa hari yang lalu aku menambahkan pertemanan di facebook. Salah satunya adalah bimbingan belajar. Kubaca profilnya. Ada tertulis mencerdaskan anak bangsa dan juga jaminan sukses di masa depan. Ada juga jaminan sukses bagi yang mengikuti olimpiade. Pertanyaannya apakah benar demikian? Bisakah bimbel melakukan itu? Tentu bisa. Namun pertanyaan berikutnya, menurutku, dan ini lebih penting apakah bangsa kita membutuhkan anak-anak yang cerdas dalam hal pengetahuan saja? Tentu kita bangga pada para juara olimpiade yang telah mengharumkan nama bangsa. Namun, mereka hanya segelintir orang saja di antara ratusan juta penduduk Indonesia.

Negara kita tidak lagi membutuhkan orang-orang yang cerdas. Terlalu banyak orang pintar di Indonesia. Salah satu buktinya, ya, para pemenang olimpiade internasional tadi dan prestasi-prestasi lain yang ditunjukkan oleh anak bangsa. Negara kita membutuhkan pribadi yang berintegritas, jujur, giat bekerja tanpa pamrih. Coba lihat para pendaftar CPNS saat ini, karena masih hangat beritanya, apakah para pendaftar itu memikirkan apa yang akan mereka berikan pada negara? Saya kira kebanyakan tidak. Malah sebaliknya, mereka memikirkan mereka akan mendapatkan kenyamanan dan jaminan hari tua alias pensiun. Mereka memikirkan apa yang diberikan negara.

Negara kita membutuhkan pribadi yang berintegritas, jujur, dan giat bekerja tanpa pamrih. Bukan sekadar pintar. Tentu banyak karakter positif lain yang dibutuhkan dan bisa kita tambahkan sendiri. Nah, apakah lembaga-lembaga bimbingan belajar memikirkan hal ini? Biasanya bimbel hanya mengutamakan cara mengatasi/memecahkan soal, itupun dengan cara cepat/instan. Namun, tidak memerhatikan hal yang paling penting yang dibutuhkan oleh bangsa ini; integritas, kejujuran, dan rajin bekerja tanpa pamrih. Sekolah juga perlu memerhatikan hal ini. Dan terutama pemerintah. Ada sebuah opini yang kubaca dari koran mengatakan bahwa guru sering terdesak oleh kepentingan politis, tingkat kelulusan 100%, kalau tidak, akan mendapat tekanan dari atasan/dinas.

Inilah cikal bakal para koruptor. Mengapa ada koruptor? Karena tidak ada pribadi yang berintegritas, jujur dan bekerja tanpa pamrih. Malah sebaliknya, terciptalah generasi yang bekerja tapi ingin dibayar mahal, malah kalau bisa mengambil lebih banyak lagi. Bukannya bekerja untuk memberikan yang terbaik. 

Ya begitulah ceritanya ketika aku menambahkan pertemanan di facebook. Aku hanya mencurahkan isi hati tentang kondisi pendidikan kita. Apa yang diketahui anak-anak? Kurasa mereka hanya menurut saja. Disuruh ikut bimbel biar pintar, ikut saja. Disuruh belajar giat, ikut saja. Sering dalam keadaan terpaksa. Mereka tidak tahu apa motivasi di balik pendirian bimbel tersebut. Apakah murni untuk mencerdaskan mereka atau sekadar meraup untung dari bisnis ini.


Sabtu, 13 September 2014

Lupa

Lupa. Siapa yang tidak pernah lupa? Tidak seorang pun. Semua orang pasti mengalami lupa. Biasanya lupa begitu menjengkelkan. Misalnya saat mau bepergian, kita lupa di mana menaruh kunci kendaraan. Berhubung di sekolah saatnya memasuki minggu ujian tengah semester, biasanya lupa merupakan hal yang ingin dihindari oleh murid. Namun, sudah dihindari pun tetap saja lupa sewaktu ujian berlangsung.

Apa sih lupa? Lupa adalah hilangnya kemampuan menyebut atau melakukan kembali informasi dan kecakapan yang telah tersimpan dalam memori. Informasi/item/materi pelajaran bisa diibaratkan sebagai benda yang disusun dalam sebuah lemari. Lemari itu adalah otak. Bayangkan semakin banyak benda dimasukkan ke dalam lemari, semakin susah mengambilnya kembali. Itulah lupa: kita tidak mampu mengambil informasi yang sudah tersimpan.

Informasi/item/kesan dalam hal ini akan disamakan dengan materi pelajaran karena aku ingin membahasnya dalam lingkup sekolah. Jadi informasi sama dengan materi pelajaran.


Beberapa hal yang menyebabkan lupa.

Pertama, materi pelajaran yang sudah tersimpan akan menghalangi materi yang baru. Atau sebaliknya materi baru menghalangi materi pelajaran yang tersimpan. Sehingga terjadi konflik/gangguan. Ibarat dalam lemari yang penuh, kita akan kesulitan mengabil barang paling belakang karena terhalang. Atau kita susah memasukkan barang baru karena sudah ada barang di dalamnya. Jadi, terjadi gangguan dalam memori otak kita.

Kedua, adanya tekanan. Maksudnya materi pelajaran yang kita terima adalah hal yang tidak menyenangkan (tidak kita sukai) sehingga kita menekannya ke bagian paling dalam otak (ke alam ketidaksadaran). Hal ini bisa terjadi secara sengaja atau tidak sengaja. Kalau tidak disengaja sama halnya dengan poin pertama tadi, bahwa informasi baru akan menekan informasi lama ke alam bawah sadar kita.

Ketiga, lupa dapat terjadi karena perubahan situasi lingkungan antara waktu belajar dengan waktu mengingat kembali. Intinya perubahan situasi. Perubahan situasi belajar di rumah (santai dan menyenangkan) dengan saat ujian di sekolah (menegangkan) bisa menyebabkan lupa.

Keempat, karena perubahan sikap dan minat. Misal: sebenarnya siswa menyukai matematika atau fisika (misalnya nih, walaupun jarang.hehehe), tapi gurunya tidak menyenangkan (biasanya galak). Nah, hal ini bisa juga bikin mudah lupa.

Kelima, bisa juga karena materi pelajarannya jarang digunakan sehingga terabaikan dan akhirnya terlupakan. Atau juga karena jarang dilatih.

Keenam, akibat perubahan syaraf otak. Mungkin karena penyakit, keracunan, mabuk-mabukan, atau geger otak.

Banyak juga ya. Lelah gak bacanya? Mudah-mudahan tidak, walaupun iya. Padahal sebenarnya penjelasannya bisa lebih panjang.

Bagaimana caranya meningkatkan kemampuan mengingat? Dengan belajar dari penyebabnya, kita bisa mengembangkan cara sendiri.

Metode loci (locus/tempat). Bayangkan sebuah tempat (misalnya kamar kita) lalu hubungkan dengan materi yang kita pelajari. Tentu kita hafal betul kamar kita. Misalnya, meja belajar kita hubungkan dengan rumus fisika tertentu. Jadi tiap mengingat rumus tersebut, ingatlah meja belajar. Mungkin dengan seseorang juga bisa. Namailah setiap tempat di kamat kita dengan istilah-istilah dalam materi pelajaran.

Metode mnemonik (dewi memori dari Yunani). Dikenal sebagai metode pengorganisasian. Materi pelajaran diorganisasi (atau dihubungkan dengan hal yang sudah diketahui). Misalnya: untuk menghafal spektrum warna (merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu) buatlah istilah baru: Mau Jadi Koboi Harus Bisa Naik Unta (selain mejikuhibiniu). Karena mejikuhibiniu tidak ada dalam kehidupan sehari-hari.

Mnemonik bisa juga dengan pengelompokkan. Misalnya: menghafal 12 angka pada nomor telepon genggam lebih mudah jika dikelompokkan menjadi 3 kelompok (4 angka) daripada dihafal seluruhnya.

Cara mengurangi lupa saat belajar:

Belajar lebih. Dengan melebihi batas penguasaan atas materi pelajaran tertentu.
Menambah waktu belajar sehingga dapat memperkuat terhadap materi yang dipelajari.
Mengelompokkan kata atau istilah tertentu dalam susunan yang logis.

Malam Minggu

Setelah makan malam, aku membuka blogku ini. Aku baru sadar semakin ke sini isi blogku terlihat serius. Terlebih membahas tentang pendidikan. Aku seorang guru, jadi wajar kegelisahanku terus-menerus mengenai pendidikan. Justru yang tidak wajar bila seorang guru malah tidak kuatir dengan kondisi pendidikan kita saat ini. Guru macam apa bila tidak menaruh perhatian pada pendidikan. Jangan-jangan, bila ada, itu guru jadi-jadian.

Tapi sekarang aku hendak bicara hal lain. Bertepatan saat aku menulis ini adalah malam minggu. Aku tidak tahu kapan istilah malam minggu dijadikan momen buat para kekasih. Hampir semua orang, setidaknya begitu yang kutahu, hampir semua orang memaknai malam minggu sebagai waktu bersama pacar. Malah jarang dianggap sebagai malam untuk berkumpul dengan keluarga. Aneh ya? Menurutku sih aneh. Kenapa malam minggu dinobatkan sebagai malam untuk jalan-jalan bersama kekasih? Aku bukannya iri dengan mereka karena kebetulan aku juga menikmati malam minggu sendirian. Justru aku menikmati malam minggu untuk membaca buku lebih lama.

Entah siapa dulu yang mencetuskan ini - malam minggu sebagai malam buat para kekasih. Atau mungkin karena malam minggu seolah-olah malam yang panjang (padahal setiap malam waktunya sama) karena esok harinya adalah hari minggu - hari istirahat; hari tanpa terbeban oleh pekerjaan sehingga boleh menikmati malam sampai larut tanpa takut harus bangun kesiangan esoknya.

Buatku malam minggu sama saja dengan malam sebelumnya. Dan konsep tentang malam yang panjang tidak ada dalam kamusku karena kebetulan aku belajar fisika, yang mengajarkan bahwa setiap hari sebenarnya waktunya sama saja - hanya perputaran bumi pada porosnya yang membuat bumi kadang menghadap matahari (siang) dan membelakangi matahari (malam) dalam durasi waktu yang sama. Jadi tidak ada yang namanya malam yang panjang.

Anehnya hampir semua orang muda memiliki cara pandang yang sama. Bahwa malam minggu merupakan malam yang panjang. Dan lebih anehnya lagi, malam buat pacaran. Sehingga akhirnya setiap orang yang single, sepertiku, yang menjalani malam minggu sendirian terlihat aneh. Dan biasanya jadi bahan candaan. Coba kalau malam minggu dijadikan sebagai malam buat keluarga. Tidak ada remaja yang berkeliaran di luar rumah, di mall, atau di tempat lain; melainkan menikmati waktu bersama keluarga. Alangkah indahnya. Hal ini bisa menciptakan hubungan yang baik antara orang tua dan anak.

Aku jadi teringat sewaktu masih remaja dulu. Biasanya akhir minggu merupakan waktu bersama keluarga. Ada istilah buat kami yaitu 'sidang' bila selama seminggu kami, anak-anak, memiliki kesalahan. Nah, malam minggu merupakan waktu ber'sidang'. Mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada orang tua. Sesudah itu diikuti oleh acara mendengarkan nasihat atau cerita-cerita.

Berbeda dengan remaja sekarang. Mainannya gadget. Kalau tidak, jalan-jalan dengan pacar. Masih remaja kok sudah pacaran. Pacar sering dijadikan 'alat' motivasi. Biasanya motivasi belajar. Lucunya. Ke mana orang tuanya? Jangan-jangan tidak peduli. Atau memang anak-anak sekarang sudah susah dibilangin? Mungkin saja.

Jumat, 12 September 2014

Judulnya Bosan

Bosan mendengar berita di tv. Pilkada langsung atau tidak, kenaikan harga elpiji, korupsi para pejabat negara dan berita lain yang itu-itu saja. Seolah-olah masalah negara kita hanya itu-itu saja. Karena itu aku jadinya malas menyalakan tv. Mending baca buku.

Di sekolah juga begitu. Para guru mengeluhkan kurikulum 2013 (K13). Murid juga begitu karena banyak sekali tugas. Beberapa hari yang lalu kepala sekolah kami pulang dari pelatihan. Ya, apalagi kalau bukan sosialisasi K13 dan manajemen sekolah. Ada yang lucu sewaktu kepsek berbagi tentang hal-hal yang mereka dapatkan dari pelatihan. Katanya, sewaktu bertanya ke fasilitator tentang implementasi K13 yang sulit dilaksanakan, fasilitator menjawab: ya sudah kita laksanakan dulu. Loh, kenapa begitu? Dari jawaban fasilitator tersebut tersirat bahwa K13 sulit diimplementasikan; terkesan dipaksakan. Ternyata ada juga berita di tv tentang ini. Masih banyak sekolah yang belum mendapatkan buku-buku K13. Termasuk sekolah kami. Ternyata lagi, bukan hanya sekolah kami yang mengalami kesulitan dalam implementasi K13 ini. Banyak info dari rekan-rekan guru sekolah lain yang mengalami hal yang sama. Ya begitulah isu-isu yang beredar di sekolah.

Yang menjadi pertanyaan, apa yang sedang terjadi dengan bangsa ini? Apa yang sesungguhnya terjadi dengan bangsa ini? Coba tanya pada rumput yang bergoyang.

Daripada bosan mendengar berita yang itu-itu saja atau mengajukan pertanyaan mengapa bangsa ini begini, lebih baik masing-masing kita melakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan buat negara.
Dan jangan menambah masalah. Misalnya, berusahalah untuk menaati peraturan lalu lintas; jangan melawan arus. Itu salah satu contoh sederhana yang bisa kita lakukan sebagai warga negara. Masih banyak hal sederhana lain yang bisa kita lakukan: bayar pajak, buang sampah pada tempatnya, mengantrilah dengan benar kalau sedang mengantri, dll. Hal-hal kecil sehari-hari ini sering diabaikan. Apa bedanya dengan pejabat yang korup kalau kita (sebagai warga negara) juga mengabaikan hal ini; sama-sama melakukan keburukan.hehehe

Sebelum aku mengoceh makin tidak jelas, mending aku sudahi saja.

Kamis, 11 September 2014

Secuil Potret Buram Pelajar

Salam. Ketemu lagi. Sudah beberapa hari aku tidak menulis di blog. Maklum, sedang banyak pekerjaan yang musti diselesaikan.

Aku mau cerita kisah di pagi hari tadi saat mengajar di jam pertama. Seperti biasa jam 7 tepat bel tanda masuk berbunyi. Baik siswa maupun guru segera menuju kelas masing-masing. Pada saat aku masuk ke kelas, wajahku langsung berubah dengan ekspresi marah. Kelas terlihat sangat kotor. Sampah masih berserakan di lantai. Segera aku memarahi anak-anak karena tidak membersihkan terlebih dahulu kelas mereka. Setelah salam dan doa pagi yang dipimpin oleh ketua kelas, aku segera menyuruh beberapa anak yang piket hari itu. Mereka telah menyusun jadwal piket harian. Tiba-tiba seorang anak berkata bahwa tadi dia sudah mengutip satu sampah dan membuangnya ke tempat sampah. Saya memang sempat melihatnya memungut secarik kertas kusut di lantai. Namun, masih banyak sampah berserakan. Akhirnya mereka saling tunjuk-menunjuk. Ini semakin membuatku marah. Aku pun berkata, "Barangsiapa yang piket hari ini tidak boleh duduk sebelum kelas bersih." Mereka pun akhirnya bergegas. Satu orang mengambil sapu di bawah tangga di lantai 1. Kelas ini berada di lantai 3. Salah seorang siswa keberatan dan berkata, "harusnya kita digaji nih karena ini kerjaan OB (office boy)." Teman-temannya mengiyakan. Namun, mereka terus membersihkan kelas.

Memang di sekolah ada petugas kebersihan. Semester ini semua petugas kebersihan diganti. Sekarang semuanya orang-orang baru. Kinerja petugas kebersihan kali ini memang buruk sekali. Salah satu dampaknya adalah ada kelas yang tidak dibersihkan. Dan aku berkata pada anak-anak untuk melaporkan hal ini kepada kepala sekolah agar pelajaran mereka tidak terganggu gara-gara membersihkan kelas.

Kejadian tadi pagi tadi mengingatkanku masa-masa sekolah dulu. Dulu semasa SMP dan SMA, kami membersihkan kelas sendiri. Tidak ada petugas kebersihan atau office boy. Ada jadwal piket harian. Siswa yang piket harus datang lebih awal dari teman-teman yang lain untuk menyapu kelas, membersihkan papan tulis, menyapu teras dan halaman kelas. Ada rasa tanggung jawab atas kebersihan kelas sendiri walaupun kadang-kadang dikerjakan dengan terpaksa.hehehe

Dibandingkan sekarang, khususnya di kota besar, anak-anak terasa dimanja. Tidak boleh membersihkan kelas karena sudah ada OB. Bahkan pernah ada orang tua marah gara-gara anaknya dihukum karena terlambat masuk sekolah. Apa yang terjadi dengan orang tua? Bagaimana anak mereka bisa memiliki karakter yang baik jika tidak didisiplin dengan baik pula? Bagaimana bisa menghasilkan generasi yang bertanggung jawab kalau kebersihan kelas diserahkan pada orang lain? Bagaimana anak-anak mereka bisa peduli lingkungan bila yang diajarkan mementingkan diri sendiri? Itulah tugas sekolah. Namun, orang tua membatasi sekolah hanya sekadar membagi ilmu kepada anak mereka. Hasilnya adalah ketika anak-anak disuruh kerja, mereka akan segera merasa bahwa mereka tidak pantas melakukannya. Ketika ada teman mereka yang kerja, menyapu misalnya, mereka langsung mengejeknya sebagai office boy. Terciptalah generasi yang bermental bos. Bukan generasi yang bertanggung jawab, apalagi generasi yang melayani.

Jumat, 05 September 2014

Curhat: Evaluasi Pekerjaan

Jumat. Buat para pekerja sepertiku hari Jumat paling ditunggu. Tadi sewaktu pulang kerja aku langsung merebahkan diri di tempat tidur. Lega sekali. Aku berkata dalam hati: terima kasih Tuhan, akhirnya selesai juga kerjaan minggu ini. Aku pun istirahat sejenak. 

Setelah beberapa menit, aku membaca buku. Kemudian di tengah-tengah bacaanku tiba-tiba aku berpikir tentang pekerjaanku. Apakah aku benar-benar menikmati pekerjaanku? Apakah rasa terima kasihku setelah pulang kerja, karena hari ini Jumat, didasari oleh hal-hal penting dan bermanfaat yang sudah kulakukan? Ternyata jawabannya tidak. Aku tidak menikmati pekerjaanku. Begitu melelahkan karena minggu ini aku menghadapi beberapa masalah dalam hal penyusunan soal ujian di sekolah. Dan aku berterima kasih (kepada Tuhan) bukan karena aku telah melakukan pekerjaanku dengan baik, melainkan karena aku (merasa) bebas dari segala tuntutan pekerjaan setidaknya sebelum hari Senin tiba.

Mungkin banyak orang mengalami seperti yang kualami. Hanya saja apakah mereka menyadarinya? Mungkin ya, mungkin tidak. Apakah orang-orang melakukan refleksi setelah seminggu bekerja? Apakah mereka melakukan evaluasi diri? Apakah mereka bekerja hanya untuk mencari uang lalu menunggu akhir minggu tiba?

Kupikir ini penting sekali dilakukan. Mengevaluasi kembali semua yang sudah kita lakukan. Memang aku banyak mengeluh akhir-akhir ini karena pekerjaan yang menumpuk. Sebagian besar karena kesalahanku sendiri, setelah kuevaluasi. Aku sering menunda-nunda, telat bangun, dan tidak teratur makan. Memang pekerjaanku selesai seminggu ini, namun semua terasa seperti dipaksakan. Rasanya seperti dikejar-kejar waktu. Padahal dalam pikiran yang tenang sebenarnya waktu yang dimiliki semua orang selalu sama - 24 jam sehari. Tapi mengapa adakalanya kita merasa kekurangan waktu?

Hal utama yang perlu disadari dalam pekerjaan adalah bahwa pekerjaan merupakan panggilan hidup setiap orang. Ini panggilan mulia. Jadi, sikap yang benar dalam bekerja adalah melakukannya untuk kemuliaan Tuhan. Banyak orang tidak menyadari ini. Dan pada akhirnya bekerja secara asal-asalan, tanpa makna, tanpa rasa senang; sia-sia. Pekerjaan yang sia-sia. Dan paling buruknya adalah melakukan kecurangan, menipu, malas-malasan.

Semoga minggu depan aku tidak mengulangi kesalahan-kesalahan minggu ini. Kalau ada masalah dari luar, seperti menghadapai rekan kerja yang 'sulit', atasan yang bikin kesal, dan lain-lain, dihadapi saja dengan tenang sambil mengharapkan hikmat dari Tuhan untuk mengatasinya.