Selasa, 31 Desember 2019

Catatan Akhir Tahun 2019


Kita semua sedang dalam perjalanan; perjalanan hidup kita. Masing-masing kita memiliki kisah perjalanan hidup yang berbeda. Ada yang menjalani hidup dengan baik ada pula yang buruk, atau, silih berganti antara keduanya.

Semua orang tentu mendambakan hidup yang sukses dalam perjalanan hidupnya. Memiliki kekayaan finansial, karier yang bagus, relasi yang baik, kesehatan, dan keluarga bahagia Bagi sebagian orang mungkin semua itu bisa tercapai. Tetapi bagi sebagian besar orang, hal tersebut hanya bisa jadi impian saja.

Seringkali dalam perjalanan hidup ini, manusia diperhadapkan dengan berbagai masalah. Masalah bisa berupa apa saja dan bisa terjadi kapan pun tanpa bisa diduga sebelumnya. Masalah-masalah tersebut bisa jadi masalah finansial, kesehatan, relasi, dan sebagainya.

Masalah adalah kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Seperti yang disebut sebelumnya, manusia mendambakan hidup sukses. Itulah harapan. Semua orang memiliki harapan-harapan tertentu dalam hati. Hanya saja, tidak selalu sesuai dengan kenyataan yang (akan) terjadi.

Ketika masalah datang, kita akan bereaksi. Reaksi setiap orang berbeda-beda. Bergantung kedewasaan masing-masing. Apa itu kedewasaan?

Kedewasaan yang dimaksud di sini adalah kemampuan untuk mempertahankan ketenangan dan karakter dalam masa-masa sulit*. Masa-masa sulit yang dimaksud adalah masa ketika kita menghadapi masalah.

Coba kita pikirkan sejenak bagaimana reaksi kita saat mengalami masa-masa sulit? Apakah kita panik, cemas, depresi, dan perasaan lainnya?

Saya mengakui bahwa saya sendiri, ketika mengalami masalah, saya tidak bisa mempertahankan ketenangan – terutama ketenangan hati. Saya terus mempertanyakan mengapa semua ini bisa terjadi terhadap saya. Awalnya saya tidak menyadari hal ini. Saya berpikir saya baik-baik saja.

Kemudian, setelah mendapatkan waktu untuk merenung, saya pun menyadari bahwa saya tidak tenang. Hati saya dipenuhi kekhawatiran yang, sebenarnya, tidak perlu. Pada perenungan tersebut, yang juga dibarengi oleh buku-buku bacaan yang cukup membantu, saya belajar satu hal tentang ketenangan.

Pelajaran tentang ketenangan dapat kita peroleh dari seorang Pribadi yang sempuna yaitu Yesus Kristus. Ketika Tuhan Yesus ditangkap, diolok-olok, dianiaya, dan disalibkan, Dia berkata: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat (Lukas 23:34).” Ini sungguh ketenangan yang tidak mungkin dimiliki manusia mana pun! Rahasia ketenangan tersebut berasal dari kedekatan Yesus dengan Bapa di surga.

Oleh karena itu, untuk mendapatkan ketenangan ketika berada di masa-masa sulit, maka dekatkanlah diri kepada Allah. Percayalah, Allah peduli!

Salah satu keuntungan untuk menjadi tenang ketika masalah datang adalah kita memiliki kesempatan mendengarkan suara Tuhan; Firman yang hidup. Firman-Nya sangat menghibur dan menyelamatkan di masa-masa sulit.

Ketika kita berada dalam masalah, kita sulit sekali mengetahui kehendak Tuhan bila tidak ada ketenangan. Kita bisa terjerumus ke dalam dosa; menyalahkan Allah. Padahal sesungguhnya, Allah memiliki hikmat yang melampaui akal pikiran kita. Hikmat-Nya tidak terselidiki oleh kita (Roma 11:33). Oleh sebab itu, tidak ada gunanya untuk berusaha menggunakan daya nalar kita untuk memahami kehendak-Nya, apalagi menyalahkan Allah atas masalah yang kita hadapi. Kita perlu menenangkan diri di hadapan Tuhan untuk mendengarkan maksud-maksud-Nya; menantikan Dia memulihkan keadaan kita.

Berikutnya, coba kita pikirkan lagi, apa yang berubah dalam diri kita ketika kita menghadapi masalah? Salah satu ciri kedewasaan, selain ketenangan, adalah mempertahankan karakter kita. Ada orang yang berubah drastis ketika menghadapi masalah, misalnya, dari yang sebelumnya ceria, tiba-tiba menjadi pemurung. Orang yang seperti ini tidaklah dewasa.

Ketika orang yang memiliki kedewasaan dilanda masalah, maka karakter yang baik dalam dirinya malah semakin menguat, bukan sebaliknya. Atau, setidaknya ia mampu mempertahankan karakter baik yang sudah ada.

Apakah Anda adalah seorang yang mengalami perubahan karakter ketika menghadapi masalah? Apakah itu merupakan perubahan ke arah yang baik atau yang buruk?

Saya sendiri sedang berusaha untuk menjadi dewasa dalam menjalani hidup ini. Tentu dalam pertolongan Tuhan.

Semoga di tahun mendatang, kita semakin memupuk kedewasaan dalam menghadapi masalah hidup agar perjalanan yang sedang kita lakukan ini bisa bermakna dan bermanfaat bagi sesama. Dan lebih lagi, hidup kita memuliakan Tuhan. (31/12/2019)

*Skeen, Miller, Hill: The Circle BluePrint

Hasil gambar untuk travel
Sumber gambar: Independent Travel Cats

Kamis, 19 Desember 2019

Reputasi


Dalam kehidupan sehari-hari kita sering berhadapan dengan pandangan orang lain terhadap diri kita. Ketika kita berhadapan dengan orang lain, kita akan menampilkan diri kita yang terbaik. Dan selalu waspada terhadap pendapat orang tentang kita. Karena itu, kita akan dengan cermat mendengarkan saat orang tersebut menyinggung mengenai diri kita.

Demikian pula sebaliknya. Kita berusaha memberikan penilaian yang baik kepada orang yang berdiri di hadapan kita. Kita menjaga agar orang di hadapan kita itu tetap merasa bahagia saat berbicara dengan kita.

Namun hubungan kita dengan orang lain tidak sesederhana cerita di atas. Kita setiap hari berhadapan dengan banyak orang lain. Pertama-tama keluarga sendiri, tetangga, sesama warga setempat, hingga hubungan yang lebih luas. Lebih lagi saat ini pertemanan tidak saja di dunia nyata, tetapi merambah juga di dunia maya. Malahan pertemanan di dunia maya bisa jauh lebih banyak dari kenyataan.

Dari hubungan kita dengan sesama yang sangat kompleks itu muncullah di dalam diri kita untuk selalu menampilkan diri yang terbaik kita. Keinginan menampilkan diri kita yang terbaik adalah dorongan yang sangat dalam. Kita selalu memperhatikan bagaimana orang menilai diri kita. Dari situlah muncul istilah reputasi.

Secara umum, orang mengartikan reputasi sebagai nama baik. Nama baik lebih berharga daripada emas dan permata, kata orang bijaksana. Itulah sebabnya orang senang memiliki nama baik.

Reputasi adalah sesuatu yang menyebabkan kita memperoleh nama baik. Dari pengertian ini bisa dilihat dua hal: pertama, kata ‘sesuatu’. Sesuatu di sini bisa bermakna gelar, jabatan, penilaian orang lain, termasuk juga penilaian diri sendiri. Gelar bisa berarti gelar kehormatan atau pun gelar akademik. Sedangkan jabatan berarti posisi kita di dalam suatu organisasi, komunitas, atau pemerintahan.

Kedua, reputasi adalah sesuatu yang kita usahakan. Ia tidak datang dengan sendirinya. Orang-orang hebat yang terkenal yang telah memiliki reputasi adalah orang-orang yang telah melalui perjuangan hidup yang tidak mudah. Mereka telah melewati setiap tantangan demi tantangan. Dengan kata lain, orang yang tidak berusaha bisa dikatakan tidak layak mendapatkan reputasi. Tidak ada yang patut disematkan kepada orang malas.

Hanya saja tragisnya, pada zaman ini ada banyak orang yang menempuh jalan pintas. Malas bekerja, malas berusaha, namun menginginkan reputasi. Itu sebabnya terdapat orang yang suka membeli ijazah, menyuap oknum agar mendapatkan jabatan, dan sebagainya.

Berikutnya, ada yang menarik soal gelar dan jabatan. Biasanya gelar merupakan sesuatu yang melekat (atribut) dalam diri kita yang tidak bisa dilepas dengan begitu saja, kecuali dalam kasus tertentu. Misalnya saja gelar kesarjanaan yang menempel pada nama kita. Sedangkan jabatan adalah sesuatu yang sifatnya sementara dan suatu saat bisa digantikan oleh orang lain.

Orang-orang yang terlalu membanggakan (menyombongkan) jabatannya mungkin tidak memahami bahwa posisinya tersebut bisa digantikan orang lain. Artinya, dia bukanlah satu-satunya yang layak pada posisi tersebut. Orang lain bisa saja menggantikannya atau merebutnya dengan cara-cara tertentu.

Gelar, meskipun tampaknya melekat pada kita, pun tidak perlu terlalu dibanggakan karena orang lain pun sudah banyak yang memiliki gelar, bahkan bisa jadi gelar mereka lebih tinggi dan lebih banyak dari kita. Intinya adalah baik gelar atau jabatan – meskipun membuat kita memperoleh nama baik – itu bukanlah hal yang patut terlalu dibanggakan apalagi disombongkan. Rahasianya adalah rendah hati.

Selanjutnya saya akan bahas adalah dua hal (sesuatu) yang menyebabkan kita memperoleh nama baik: penilaian orang lain (eksternal) dan penilaian diri sendiri (internal).

Penilaian atau pendapat orang lain. Pilihan mana yang lebih baik: menjadi orang yang paling cerdas, tetapi dianggap orang paling bodoh? Atau, menjadi orang yang paling bodoh, tetapi dianggap orang paling cerdas?

Apakah Anda memilih menjadi orang cerdas walaupun dianggap orang paling bodoh? Apakah Anda memilih sebaliknya? Begitulah cara kerja dari ‘pendapat orang lain’. Kita terjebak pada anggapan orang lain terhadap kita. Tanpa sadar kita sering memilih menjadi yang kedua; lebih senang dianggap sebagai orang paling cerdas padahal tidak, lebih senang dianggap orang kaya padahal miskin, lebih senang dianggap orang paling baik hati padahal perilaku sehari-hari menunjukkan sebaliknya.

Itu adalah jebakan reputasi. Kita cenderung merasa cemas mengenai bagaimana orang lain memandang kita. Timbullah yang dinamakan gengsi atau perasaan malu dalam pikiran kita.

Sebenarnya, pendapat orang lain tidak lebih penting daripada yang kita pikirkan. Sekalipun orang lain memuji kita setinggi langit (atau meyeret nama kita ke dalam lumpur), dampaknya terhadap hidup kita lebih kecil ketimbang gengsi atau perasaan malu yang kita pikirkan. Dengan kata lain, yang lebih membuat kita cemas dan merasa hancur adalah gengsi kita sendiri – bukan pendapat orang lain.

Cara mengatasi perasaan malu tersebut adalah, pertama, jangan terlalu berfokus pada reputasi. Reputasi akan datang dengan sendirinya bila kita fokus melakukan hal-hal yang bermanfaat dan terus berjuang meningkatkan kualitas diri kita.

Ciri-ciri orang yang fokus pada reputasi, sederhananya, dapat kita lihat dari media sosial. Perhatikan seberapa kita menginginkan orang lain memberi ‘like’ atau komentar pada postingan kita. Terlebih bila postingan kita mengenai kesuksesan/pencapaian kita. Jika kita terlalu fokus pada reputasi, maka kita akan kecewa bila hanya sedikit yang memberi respons.

Ciri lain yang mungkin dapat kita amati (ini bagi diri sendiri) adalah seberapa besar kita menginginkan ulasan/pendapat positif/pujian orang lain terhadap hasil kerja kita. Kita menjadikan pujian sebagai ukuran kesuksesan (ingat tentang gengsi di atas!).  Sedangkan sebaliknya, kita segera merasa stress dan resah ketika kritikan datang. Ini bisa mengganggu tidur hahaha. (orang yang tidak terlalu fokus pada reputasi bisa tertidur lelap di malam hari).

Cara kedua adalah pusatkan perhatian pada penilaian internal. Puaslah dengan diri sendiri. Hiduplah dengan cara yang membuat Anda kuat memandang diri Anda sendiri di depan cermin. Bukan sebaliknya: ketika Anda berdiri di depan cermin, Anda malah sibuk memikirkan bagaimana orang lain memandang Anda. Saya kira itu salah satu jenis kebodohan.

Cara ketiga adalah tetap rendah hati. Kerendahan hati adalah kualitas atau keadaan di mana Anda tidak berpikir bahwa Anda lebih baik daripada orang lain. Sedikit saja kita berpikir bahwa kita lebih baik dari orang lain, kita bukanlah orang yang rendah hati. Orang yang rendah hati tidak menyombongkan kesuksesannya, jabatannya, atau gelarnya. Justru sebaliknya, ia merahasiakannya. Dan menurut saya, ini adalah reputasi terbaik. 


Hasil gambar untuk orang berdasi
sumber: google

Senin, 16 Desember 2019

Gang Jati dalam Ingatan

Siang itu udara panas. Angin yang bertiup akibat laju motor tidak membantu sama sekali. Driver ojol bahkan sudah melajukan motor lumayan kencang. Sementara aku mengedarkan pandangan ke segala arah. Indera penglihatanku menyerap semua pemandangan yang ada – pertokoan, apartemen, kendaraan lain yang melaju, orang-orang, dan sebagainya.

Hampir tiba di belokan Villa Melati Mas, kuingatkan driver untuk belok kiri. Driver mengiyakan. Tak lama kemudian kami berbelok arah meninggalkan jalan utama. Sekarang perjalanan terus berlanjut di Jalan Melati Mas. Pemandangan yang kulihat membuatku bosan karena sudah sering kulihat. Sehingga seringkali kuabaikan.

Aku kembali mengingatkan driver untuk belok kanan setelah menempuh sekitar dua kilometer setelah belokan pertama tadi. Nanti akan ada perempatan, kataku. Di jalan melati, ada banyak persimpangan jalan karena itu kawasan perumahan. Laju motor tidak sekencang sebelumnya untuk mengantisipasi polisi tidur yang ada di jalan.

Setelah bertemu dengan perempatan jalan yang kumaksud, kami berbelok ke kanan. Di sudut kanan jalan terdapat Alfamidi. Awalnya minimarket itu kujadikan patokan ketika aku petama kali ke kawasan Melati Mas menuju kontrakanku.

Tidak lama lagi kami akan tiba di tempat tinggalku – sebuah kontrakan tersembunyi dari keramaian jalan. Tinggal berjalan lurus, kemudian belok kiri. Dan sekitar seratus meter lagi di kanan jalan, di situlah gang tempat tinggalku berada – Gang Jati.

Panas matahari masih menyengat. Aku membantu mengarahkan driver untuk menuju Gang Jati. Gang itu cukup tersembunyi. Banyak driver kebingungan karena gang itu tidak terbaca dalam peta google hingga ke dalam-dalamnya. Malahan aplikasi ojek online menunjukkan rute lain melewati Regensi Melati II yang berada di sebelah Gang Jati.

Kesan pertama ketika masuk Gang Jati, kau akan melihat tembok mengapit di kedua sisi gang. Sepintas itu gang sepi tanpa atau sedikit penghuni. Gang sempit itu hanya memuat satu jalur untuk mobil. Tetapi jika sudah masuk sdikit agak ke dalam, maka akan terlihat banyak rumah berjejer.

Setelah berjalan sekitar 100 meter, gangnya berbelok ke kanan. Kali ini di sebelah kiri ada tembok tinggi yang merupakan pembatas dengan Regensi Melati II. Sementara sebelah kanan persis di belokan, ada sebuah warung. Kita jalan terus kira-kira 100 meter lagi, barulah kita tiba di depan kontrakanku. Kau akan melihat sebuah lorong  kontrakan yang masing-masing terdiri dari tujuh pintu - sebelah kiri dan kanan.

Di lorong itu, kontrakankku sebelah kiri persis di dekat gerbang. Bagian atas gerbang dimanfaatkan sebagai tempat tangki air. Di situ ada dua tangki untuk masing-masing sisi kontrakan.

Ini adalah kontrakan kecil. Sebenarnya lebih tepat disebut rumah kost daripada kontrakan. Hanya terdapat satu kamar dengan toilet di dalam. Ya, harusnya namanya kost. Tetapi, warga di sini menyebutnya kontrakan.

Kontrakan ini saling berhadapan terdiri dari 14 pintu. Di bagian tengahnya membentuk gang kecil. Tiap pintu dibatasi oleh pagar hitam di teras atau beranda. Panjang terasnya cukup memuat satu motor dan bisa dijadikan tempat jemuran. Ini hanya salah satu kontrakan. Di Gang Jati ini masih ada beberapa kontrakan lain dengan pemilik berbeda.

Warga di Gang Jati terdiri dari warga asli dan pendatang. Warga asli merupakan orang Betawi. Sedangkan pendatang – yang kebanyakan penghuni kontrakan – sangat beragam. Pada siang hari, Gang Jati sangat sepi karena warga sibuk bekerja atau beraktivitas. Warga di sana juga kebanyakan ‘menutup diri’- mungkin dipengaruhi banyaknya pendatang sehingga tidak saling mengenal. Pendatang biasanya sering berganti seiring waktu.  

Aku tinggal di Gang Jati - Kampung Jelupang, Serpong Utara - tidak lama, hanya sekitar 5 bulan. tidak banyak yang bisa kuceritakan tentang kebiasaan warga di sana karena memang kurang dekat dengan warga yang biasanya sibuk mencari nafkah. Bahkan pemiliki kontrakanku pun sepertinya enggan ketika kuajak bercerita.

Hal yang berkesan selama tinggal di Gang Jati yaitu bahwa gang tersebut sangat tertutup, lokasinya kurang strategis karena hanya satu jalan keluar-masuk. Selain itu, ia bersebelahan dengan perumahan yang cukup mewah. Rasanya seperti tinggal di tengah ketertinggalan. Sebuah perkampungan di tengah perkotaan.

Di sana kau bisa melihat warga biasa yang berjuang untuk bertahan hidup. Botol plastik atau kardus bekas jadi rebutan sebagian warga. Anak-anak kecil berlarian dengan penampilan tak terurus. Menjelang malam hari kau bisa melihat para bapak bertelanjang dada dan para ibu sibuk  bercerita sambil duduk-duduk di pinggir jalan gang yang sempit itu. Mereka bisa disebut orang-orang pinggiran. Sebab, keluar dari sana kau segera melihat suasana perkotaan yang mewah dan modern.

Meski demikian aku senang berada di sana karena warga di sana menerimaku sebagai saudara. Mereka mengetahui namaku dan biasa memanggilku ‘Pak Guru’. Dan ketika aku hendak beranjak dari sana, seorang ibu dengan sukarela membantu menaikkan tasku yang cukup berat.

Aku tidak tahu apakah ke depan gang itu masih eksis. Bisa saja ada orang yang sangat kaya membeli tanah di sana. Lalu warga asli di sana berpindah tempat entah ke mana. Kemudian gang itu disulap menjadi perumahan yang mewah. Semoga ini tidak terjadi.