Senin, 26 Oktober 2020

Tentang Perasaan

Zaman kita hidup saat ini merupakan zaman yang meninggikan perasaan. Baik perasaan secara individu maupun secara berkelompok atau komunitas. Segala sesuatu ditentukan oleh perasaan. Kalau menyenangkan perasaan, lakukan; kalau tidak, hindari. 

Begitu pula dengan tindakan orang lain terhadap kita atau kelompok kita; yang penting jangan menyinggung perasaan. Perhatikan saja penolakan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap orang/kelompok lain. Jika ditanya mengapa mereka menolak, jawabannya adalah karena menyinggung perasaan. Sama sekali tidak membicarakan hal yang ditolak itu apa. Apalagi diajak bermusyawarah untuk mufakat. Sama sekali tidak. Yang penting tolak karena telah menyinggung perasaan kelompokku. 

Media sosial seperti facebook, instagram, dll., menjadi tempat mencurahkan perasaan yang ada dalam diri. Coba perhatikan apa yang dituliskan di media sosial. Lebih banyak mengenai perasaan; gembira, sedih, galau, bingung, dll. Dulu yang ditulis 'apa yang kamu pikirkan', sekarang 'apa yang kamu rasakan'.  

Respons atas status atau curhatan di media sosial juga menunjukkan perasaan senang atau tidak. Jika banyak yang tonton/lihat/like/komentar, maka hati senang. Sebaliknya, hati kecewa. Apakah orang lain mendapatkan pelajaran atau hikmah, itu tidak penting. Pokoknya, aku senang dulu karena banyak yang memperhatikanku walaupun hanya lewat media sosial. 

Setiap zaman memang berbeda. Ada zaman yang menjadikan aktivitas politik sebagai penentu status sosial. Seseorang baru 'dianggap' bila terlibat kegiatan politik. Ada pula zaman yang meninggikan spiritualitas, intelektualitas/rasio, ekonomi, dan sebagainya. 

Nah, seperti yang telah kutulis di atas, zaman ini adalah zaman yang meninggikan perasaan. Semua bersumber dari dalam diri manusia. Ukuran segala sesuatu menjadi terlalu subjektif. Mungkin ini ada pengaruh dari relativisme. Hanya saja lebih terfokus pada suasana hati, bukan akal.  

Ada banyak perasaan yang biasa kita alami. Perasaan senang, jatuh cinta, sedih, galau, kecewa ,dll. Semua perasaan ini biasanya harus dipenuhi atau dihindari. Perasaan jatuh cinta, misalnya, adalah perasaan yang menyenangkan, namun bisa begitu menyakitkan jika bertepuk sebelah tangan. Hehehe. 

Lalu apa yang salah dengan perasaan? Masalahnya, perasaan bukanlah dewa yang harus disembah dan dipenuhi permintaannya. Sama seperti hal lain seperti uang, materi, akal,  dll., perasaan pun bisa menjadi berhala bagi kehidupan. 

Terlalu meninggikan perasaan akan mengakibatkan permasalahan dalam hidup. Orang menjadi enggan menegur sesamanya hanya untuk menjaga perasaan sesamanya itu. Orang menjadi terlalu sensitif bila dikritik atau diberi teguran, meskipun teguran itu bermanfaat. Orang yang jatuh cinta akan sulit menggunakan akalnya dan sulit menerima saran dari orang lain bila dinasihati. Masih banyak lagi contoh lain sehari-hari yang berkaitan dengan perasaan. 

Terkadang masalah yang terjadi di sekitar kita sesungguhnya hanyalah masalah sepele yang dapat diselesaikan secara cepat. Namun, jika sudah menyangkut perasaan, masalah tersebut menjadi besar dan berlarut-larut. 

Lebih jauh lagi, barangkali tindakan curang, korupsi, dan hal lain yang merusak, berawal dari perasaan tidak enak. Misalnya, seorang pejabat tidak mau berlaku curang dalam pengurusan surat izin tertentu, tetapi karena yang minta adalah saudaranya dan oleh karena tidak mau mengecewakan saudaranya itu (atau merasa tidak enak), maka ia pun melakukan kecurangan. Padahal (anggaplah begitu) saudaranya tersebut tidak memenuhi syarat. 

Merasa tidak enak atau sulit berkata "tidak", apalagi yang minta saudara, sahabat, atau orang terdekat, merupakan permasalahan bagi beberapa orang. Dan, menurutku, itu terjadi karena kita mendewakan perasaan ketimbang kebenaran atau kejujuran. 

Bagaimana agar kita terlepas dari "mendewakan" perasaan? 

Aku sangat suka kalimat ini: Ketika Allah berada di tempat yang tepat dalam hati kita, maka segala sesuatu akan menempati tempat yang tepat di dalam hidup kita. Demikian pula dengan perasaan. Perasaan akan berada pada tempat yang seharusnya, ketika Allah menjadi yang terutama di hati kita. 

Artinya, kita memang memerlukan perasaan. Perasaan itu sesuatu yang penting dalam hidup kita. Kita memerlukan perasaan ketika berempati kepada orang lain, turut berduka bagi yang berduka dan bergembira bagi yang bersuka, dan sebagainya. Bayangkan jika kita tidak memiliki perasaan! Tetapi, perasaan bukanlah yang terutama. Allah-lah yang terutama. 

Jika Allah yang terutama, maka kita tidak perlu enggan menegur kesalahan sesama kita dan ketika menegur, kita melakukan dengan penuh kasih. Jika Allah yang terutama, kita tidak perlu takut berkata "tidak", apalagi bila itu ajakan berbuat jahat. Jika Allah yang terutama, maka tujuan hidup kita bukan hanya untuk memenuhi perasaan kita dengan hal-hal yang kita ingini. 

Oleh karena itu, bersyukurlah karena kita memiliki perasaan dan pergunakan perasaan yang ada untuk kemuliaan Tuhan.