Selasa, 23 Juni 2020

Dua Puisi Rindu

Betapapun Itu

Betapapun samar ingatanku
Tentang dirimu; 
Wangi parfummu ketika kau di dekatku 
Suaramu ketika engkau bernyanyi 
Warna baju yang kupakai waktu itu
Rambutmu yang kaubiarkan terurai 

Betapapun bias ingatanku
Tentangmu; 
Pribadimu yang sederhana 
Teguh-pendirianmu di balik sikap lembutmu 
Tentang suara-suara senyap di balik diammu 
Tentang jiwa-pemberontakmu yang tersamar di balik senyum manismu

Betapapun itu
Aku tetap merindukanmu

(15/02/2020)

Bisikan Malam

Ada yang menunggu untuk kembali: aku
Ada yang sangat berharga untuk ditemui: kamu

Aku pernah menutup hati.

Lalu suatu hari 
aku membukanya.

Aku tak tahu ternyata yang masuk
Adalah sebuah bintang yang sinarnya 
Paling terang di malam hari. 

Dan mataku tertuju ke sana
Yang kulihat bukan gelap, meski ia luas, 
Tapi cahaya bintang paling terang. 

Aku pun berbisik dalam diriku:
Mengapa aku begitu merindukannya? 

(23/6/2020)
Untuk: yang paling berharga 
Dari: si bodoh yang setia menunggu 

Sabtu, 20 Juni 2020

Kota dan Desa: Sebuah Catatan


Tadi aku ke Gramedia SMS, summarecon mall serpong, untuk beli buku Emil Zola. Buku itu sdh lama kuincar dan baru sekarang mampu beli. Ini pertama kali aku ke SMS. Suasananya sangat beda dengan cibinong city mall (CCM) yang dulu biasa kukunjungi, seringnya ke toko bukunya. Di SMS, pengunjungnya rata-rata berkulit putih bermata sipit dan/atau masyarakat lain kelas atas. Juga pengunjung gramedianya.

Serpong memang terkenal sebagai wilayah elite. Tapi... tapi... ternyata warga biasa dan warga miskin juga eksis. Hanya saja mereka tersingkirkan dan terjepit di antara perumahan elite. Seolah-olah wilayah ini bukan untuk mereka. Tidak pantas untuk mereka. Bahkan tempat umum seperti mall pun didesain bukan untuk mereka. Sehingga hanya kalangan tertentu saja yang menikmati. Kecuali driver grab yang terlihat hilir-mudik dengan wajah khas pribumi dengan pesanan grabfood di tangan hehehe

Btw, aku bukan kalangan elite. Hanya warga biasa yang hobi baca buku. Masuk SMS pun rasanya aku tidak layak hahaha. Bodo amat. Yang penting dapat bukunya hahaha (8-9-2019)

Cerita di atas adalah sebuah catatan kecil tentang salah satu pengalamanku saat membeli buku. Biasanya aku mencatat hal-hal tertentu dalam smartfonku. Mirip catatan harian. Sesuai dengan tanggal yang tertera, itu terjadi bulan September 2019. Dua bulan sebelum aku akhirnya memutuskan pulang kampung.

Sekarang aku di kampung. Desa tercinta. Suasananya berbeda. Bahkan tidak ada toko buku semacam gramedia di sini. Untungnya, hal itu bukan sebuah masalah. Teknologi telah membuka akses seluas-luasnya termasuk belanja buku. Bedanya, kita tidak bisa menikmati suasana dan aroma toko buku dengan alunan musik pelan yang membuat kita betah berlama-lama di sana. Dengan aplikasi, yang cukup dilakukan di kamar sendiri, kita bisa mencari hal yang kita butuhkan atau inginkan melalui smartfon. Kemudian melakukan pemesanan dan pembayaran dengan mudah secara daring. Dan…tunggulah sampai barang itu sampai di tangan anda.

Sejenak aku membayangkan ketika aku berkunjung ke SMS atau CCM, lalu membandingkan dengan keberadaanku saat ini. Sungguh jauh.

Di sini aku biasa berjalan kaki dari rumah menuju kebun. Jalan raya di depan rumah memang dipenuhi kendaraan lalu-lalang, namun selalu ada waktu jalan tersebut terlihat lengang yang membuat kita dengan mudah menyeberang jalan. Lagipula jalannya tidak begitu lebar. Hanya dua jalur. Ini sungguh berbeda dengan kota besar.

Tentang perbedaan kota dan desa aku punya catatan tersendiri dan akan kutampilkan langsung di bawah ini. Catatan ini kutulis pada tanggal 01 Februari 2020 dengan judul ‘Kota dan desa’. Silakan didengarkan ya (eh dibaca).

Kota dan desa sama-sama merupakan ruang dan waktu dimana manusia berada atau berkumpul. Namun, keduanya terbentuk secara berbeda. Sehingga orang memandang keduanya pun berbeda.

Aku punya pengalaman tinggal di kota maupun di desa. Hingga lulus SMA aku tinggal di desa. Kemudian merantau ke kota untuk kuliah dan meneruskan hidup.

Lima tahun aku tinggal di Cawang, Jakarta Timur. Selama itu aku melihat perubahan yang cepat di ibukota. Salah satunya adalah transportasi bus Patas ke bus transjakarta dengan jalur dan halte khusus. Contoh lain adalah keberadaan mall yang bertambah.

Dua tahun aku bolak-balik Cawang-Cibinong karena alasan pekerjaan. Selama perjalanan pulang-pergi kerja, kulihat segala sesuatunya berubah cepat.

Enam tahun aku tinggal di Cibinong. Pada akhirnya aku pindah ke Cibinong karena alasan lokasi kerja dan kelelahan bolak-balik Cawang-Cibinong.

Di Cibinong banyak yang berubah sejak aku datang hingga akhirnya aku pindah nantinya. Dulu  ada Carrefour di perempatan pasar Cibinong yang kemudian tutup karena kalah saing dengan mall besar yang baru dibangun. Mall itu adalah Cibinong City Mall (CCM).

Waktu pindah ke Cibinong, CCM belum ada. Keberadaan CCM kemudian melumpuhkan pusat perbelanjaan lain semisal Carrefour, Cibinong Square, Robinson, ITC, dan Ramayana. Setidaknya itu yang kuamati.

Itu hanya secuil perubahan yang bisa kutuliskan di sini.

Terakhir, lima bulan aku tinggal di Serpong. Jangan salah, dengan waktu sesingkat itu pun kulihat banyak perubahan terjadi.

Sekarang aku kembali ke desa setelah kurang-lebih empat belas tahun merantau. Apa yang kulihat? Perubahan sangat sedikit. Paling mudah diamati adalah seputar penambahan jumlah penduduk atau pendatang baru. Dan, pembukaan hutan untuk pembangunan jalan alternatif. Itu pun hanya jalan kecil dengan dua lajur.

Soal kehidupan warga, menurutku, tidak jauh berbeda dengan saat kutinggalkan dulu. Pekerjaan sehari-hari tetap sama dengan penghasilan pas-pasan. Bahkan ada yang berkekurangan. Sama seperti dulu!

Ketimpangan sangat nyata antara kota dan desa. Aku belajar satu hal: sesulit-sulitnya hidup di kota, kita masih menikmati fasilitas umum, transportasi murah, tempat rekreasi, atau pusat perbelanjaan. Meskipun sekadar jalan-jalan.

Di desa, apa yang bisa kau nikmati? Udara sejuk dan pemandangan indah? Belum tentu ada, belum tentu seindah yang dibayangkan. Yang ada adalah kau melihat setiap hari orang berjerih lelah untuk kebutuhan sehari-hari yang belum tentu terpenuhi.

Bagaimana dengan lowongan kerja? Di desa, tidak seperti di kota, tidak banyak pilihan pekerjaan. Pekerjaan yang diidam-idamkan semua orang adalah jadi PNS/ASN. Bertani atau berkebun? Belum tentu menjanjikan sebab masih banyak menggunakan cara-cara tradisional (ini membuat banyak orang memilih hidup di kota). Teknologi pertanian belum dikembangkan secara optimal.

Sekarang aku merasa asing di desa. Ingin mengembangkan sesuatu jadi terasa sulit. Segala sesuatunya harus dimulai dari nol dengan dukungan minimal. Dukungan yang dimaksud, semisal: transportasi, listrik, akses internet, komunitas yang sevisi, dll. Listrik sering padam, internet kurang lancar, transportasi umum mahal, orang yang sevisi sulit didapat. Tingkat pendidikan atau pengetahuan masyarakat rata-rata masih rendah, masih percaya takhayul, malas-malasan di warung, dlsb.

Begitulah. Di sini listrik sering padam. Dalam tempo seminggu selalu ada pemadaman. Kadang seharian penuh; dari pagi sampai sore.  Memang situasi di sini tidak bisa dibilang sangat tradisional karena setiap rumah teraliri listrik, warga memiliki kendaraan motor sendiri, punya smarfon juga, bahkan gaya hidup beberapa warga lebih mirip orang kota ketimbang orang desa (atau berusaha meniru gaya hidup orang kota). Tetapi aku bisa mengatakan bahwa situasi di sini adalah situasi ‘pertengahan’.

Masalahnya adalah di sini terdapat semacam ‘lompatan gaya hidup’. Dari yang sangat tradisional langsung ke yang modern. Bukan berarti warga di desa tidak boleh meniru kehidupan kota atau tidak layak. Bukan. Tetapi kehidupan kota didukung oleh berbagai infrastruktur, lapangan kerja, akses dan fasilitas. Sedangkan di desa, dengan segala keterbatasannya, rasanya sulit. Untuk memenuhi kebutuhan makan-minum sehari-hari saja sangat sulit, apalagi ditambah kebutuhan pulsa dan kuota internet yang tergolong mahal.

Kalau dipikirkan dari sisi lain, mungkin saja ini terjadi karena selama ini pembangunan bangsa ini hanya terpusatkan di kota-kota besar saja. Sehingga kehidupan kota menjadi standar hidup layak bagi semua orang. Pembangunan dari desa pun yang merupakan salah satu program pemerintah saat ini terlihat tidak memberikan perubahan yang signifikan. Ini tugas pemerintah untuk mengoreksi dan memperbaiki program kerjanya.

Aku sebenarnya mengharapkan sebuah kondisi dimana warga di desa bisa menikmati ‘kemudahan’ seperti yang dinikmati oleh warga di kota besar. Seperti fasilitas umum yang memadai, klinik atau pusat kesehatan yang siap melayani masyarakat secara merata, pasar tradisional yang bersih dan nyaman, transportasi umum yang cukup, fasilitas listrik dan jaringan internet yang lancar.

Ah…keinginanku terlalu banyak. Aku sudahi dulu sampai di sini. Tiba-tiba aku merasakan suatu kesadaran mendatangiku. Tiba-tiba aku merasakan aku ‘berada’ di sini; di sebuah desa kecil. Mungkin ini yang disebut kesadaran eksistensial? Entahlah.

(Aku barusan menulis apa ya?!) 

Perbedaan Masyarakat di Kota dan di Desa | mybektiblog
sumber foto: mybektiblog.wordpress.com