Kamis, 07 Juli 2016

Hantu



Di sebuah negara beredar kisah tentang hantu. Suatu hari uang negara lenyap. Seketika negara tersebut mengalami kerugian. Pemerintah bereaksi dengan cepat dengan mengadakan rapat-rapat penting. Dan keputusannya adalah sesosok hantu telah mencuri uang negara. Kepala kepolisian segera memerintahkan bawahannya untuk menangkap hantu tersebut, hidup atau mati. Kisah hantu pencuri itu pun tersebar kepada masyarakat. Anehnya, hanya para pejabatlah yang mengetahui jenis apa hantu pencuri tersebut. Sedangkan warga terpaksa menerka-nerka seperti apa wujudnya. Aparat keamanan pun berhasil menangkap hantu itu. Tapi sialnya di tengah jalan, saat penangkapan, hantu itu bersin dengan keras hingga debu jalanan berterbangan (namanya juga hantu). Polisi-polisi penangkap hantu itupun sibuk mengusap-usap mata mereka yang terkena debu. Pada kesempatan itulah sang hantu kabur. Hingga saat ini hantu tersebut belum bisa ditangkap. Tiap kali tertangkap, ada saja ulahnya. Dan karenanya, uang negara terus lenyap secara misterius hingga saat ini.

Senin, 02 Mei 2016

Guru yang Profesional

Guru yang Profesional

Aris Primasatya Zebua, S.Pd.

Pendahuluan

Apa yang muncul di benak kita saat memperingati Hari Pendidikan Nasional? Apakah prestasi-prestasi yang diraih oleh beberapa siswa di kancah internasional? Apakah kegagalan pendidikan dalam membangun karakter bangsa? Masing-masing kita tentu berbeda-beda. Ada yang optimis ada pula yang pesimis dengan keadaan pendidikan saat ini.

Salah satu hal yang menggelisahkan saya tentang pendidikan adalah ketika saya membaca sebuah artikel berjudul “Menggugah Kesungguhan Mengajar Para Guru di Nias” yang dimuat di kabarnias.com (20/04/2016). Artikel tersebut bukan tentang prestasi di dunia pendidikan; malah sebaliknya, potret buruk pendidikan.

Beberapa masalah yang disampaikan oleh penulis, Fransiskus, seorang mahasiswa, dalam artikel tersebut antara lain: (1). Guru seringkali hanya menitip buku pelajaran di kelas lalu pergi; (2). Jam masuk siswa dan guru sangatlah berbeda. Guru selalu datang terlambat; (3). Guru sering “ngerumpi” saat proses belajar-mengajar berlangsung; (4). Siswa sering dihukum secara fisik, bukannya diberi pembinaan karakter; (5). Guru tidak menyiapkan rencana program pembelajaran; (6). Guru mengajar hanya karena uang; (7). Guru pilih kasih, hanya memperhatikan siswa yang dianggap pintar; (8). Guru merekayasa nilai akhir pada rapor siswa.
Masalah-masalah di atas sangatlah parah. Mengapa? Karena masalahnya terletak pada ujung tombak pendidikan, yaitu guru. Kalau ujung tobak bermasalah, maka tujuan pendidikan yang ingin dicapai tidak akan pernah terwujud. Oleh karena itu, saya ingin meninjau masalah ini dari sisi guru. Ada dua hal yang hendak saya sampaikan yaitu tentang profesi dan komitmen guru.

Kamis, 24 Maret 2016

Nilai Hidup

Nilai adalah sesuatu yang dimaknai, diresapi, dijadikan ukuran dan landasan dalam bersikap dan berperilaku. Nilai yang dianut seseorang bisa berasal dari pengalaman sendiri maupun dari orang lain (seperti orang tua, guru, atau tokoh agama). Biasanya manusia berperilaku sesuai nilai yang dianutnya. Arti lain, nilai yang dianut tercermin pada perilaku.

Ada dua jenis nilai, pertama, nilai terminal yaitu keadaan akhir kehidupan yang diinginkan; tujuan yang orang ingin capai selama hidupnya. Kedua, nilai instrumental yaitu cara atau perilaku yang lebih disukai untuk mencapai nilai terminal. Misalnya, seseorang menginginkan kehidupan nyaman (nilai terminal) dalam hidupnya. Untuk mencapai hidup nyaman tersebut, orang itu bekerja keras siang-malam (nilai instrumental). Jadi setiap hari orang tersebut terlihat sangat giat bekerja.

Contoh lain, ada seseorang malu berjalan kaki atau naik angkutan umum, sehingga ia berupaya untuk memiliki mobil pribadi. Nah, bisa jadi orang tersebut menginginkan pengakuan masyarakat atas dirinya dengan cara memiliki mobil pribadi. Pengakuan masyarakat merupakan nilai terminal sementara memiliki mobil merupakan nilai instrumental orang tersebut.

Sebuah fenomena di bangsa kita Indonesia yaitu intoleransi. Sekelompok golongan tertentu mengklaim diri atau keyakinan merekalah yang  benar. Kalau diselidiki, nilai yang mereka anut mungkin adalah ingin menegakkan keyakinan mereka tersebut. Dan untuk menegakkan hal tersebut mereka bergiat untuk "menghabisi" atau menyingkirkan orang yang tidak sepaham dengan mereka. Bahkan melarang umat lain beribadah dan/atau mendirikan tempat ibadah. Nilai terminal golongan tersebut adalah menegakkan kebenaran versi mereka. Sedangkan, nilai instrumentalnya adalah giat menyingkirkan orang yang tidak sepaham dengan mereka. Karena itu, wajar kalau mereka melakukan kekerasan.

Berbeda dengan kekristenan. Nilai terminal orang Kristen adalah memuliakan Tuhan dan menikmati kasih-Nya. Karena itu, perilaku Kristen selalu menunjukkan kasih, pengampunan, kelemahkelemah-lembutan, kerendahan hati, dll. Itu semua adalah nilai instrumental. Nilai hidup orang Kristen bisa seperti itu karena orang Kristen telah beroleh keselamatan di dalam Kristus Yesus. Sangat kontras dengan yang bukan Kristen. Mereka berjuang berbuat baik hanya untuk mendapatkan keselamatan yang bahkan tidak pasti. Bagi orang Kristen, berbuat baik adalah ungkapan syukur karena sudah memperoleh keselamatan.

Ada pepatah berkata bahwa sesungguhnya manusia adalah kumpulan dari nilai-nilai yang dianutnya. Nilai yang dianut cenderung bersifat stabil kecuali ada peristiwa/pengalaman tertentu yang dialami. Contohnya Rasul Paulus, segala sesuatu (nilai-nilai) yang dulu dianggapnya berharga (identitas, aktivitas, kekuasaan, penganiaya orang Kristen) sekarang menjadi sampah karena pengenalannya akan Kristus.

Seharusnya nilai hidup kita tidak tergantung lagi pada "apa kata dunia" atau kehendak diri melainkan "apa yang Tuhan kehendaki". Sehingga kita tidak perlu malu dengan keadaan kita yang seadanya, tidak perlu membandingkan diri dengan orang lain. Dan juga, tidak memandang orang lain karena penampilan, harta, atau kekuasaan.

Sekarang, apa nilai hidupmu? Apa yang membuatmu semangat bekerja/melayani? Apa yang membuatmu malu dalam hidup ini?

Selamat Jumat Agung!

Rabu, 16 Maret 2016

Anak bukanlah Miniatur Orang Dewasa

Ada sebuah kalimat berkata, "dunia diselamatkan oleh napas anak-anak sekolah". Saya mengartikannya bahwa anak-anak sekolahlah yang akan menyelamatkan dunia ini dari kehancuran. Merekalah generasi penerus umat manusia di bumi ini. Pihak pertama dan utama yang bertanggung jawab atas pendidikan anak adalah orang tua. Karena keterbatasan kemampuan orang tua, maka pihak kedua yang dipercayakan untuk pendidikan anak adalah guru di sekolah.

Satu hal yang perlu diketahui oleh pendidik adalah bahwa anak bukanlah miniatur orang dewasa. Anak memiliki kepribadian sendiri. Dan tujuan pendidikan adalah untuk membentuk mereka menjadi manusia seutuhnya. Karena itu, seorang pendidik jangan bangga dulu bila menguasai materi pelajaran, rumus-rumus, teori-teori, dll. Itu memang baik. Tapi bukan yang pertama dan utama.

Seorang anak harus diajar untuk berpikir. Dengan kata lain, menghidupkan akalnya. Guru yang "tampaknya" menghafal banyak rumus misalnya, lalu murid merasa kagum, tidaklah menghidupkan akal si murid. Mereka hanya mengagumi "kepandaian" sang guru. Sementara mereka belum tentu memahami apa pun. Sebaiknya, guru merangsang daya pikir anak sehingga mereka membangun pengetahuan sendiri di bawah bimbingan guru. Pengetahuan yang diperoleh kemudian dikaitkan dengan kehidupan nyata. Ini lebih penting ketimbang menghafal banyak teori, rumus, dll, tapi lepas dari realitas. Buatlah anak menggunakan akalnya, bukan "mencocokkan" pikiran orang dewasa ke anak.

Hal yang perlu disadari oleh pendidik adalah bahwa pengetahuannya sudah diperoleh lebih dulu, bahkan sudah diajarkan berulang kali. Jadi bukan hal luar biasa. Karena anak bukan miniatur orang dewasa, maka baiknya pendidik memahami keunikan pribadi masing-masing anak.

Ada perbedaan antara anak dan orang dewasa dalam memandang realitas. Terlebih lagi dalam memandang sesuatu yang abstrak (teori dan rumus-rumus). Karena itu, penting sekali mengaitkan hal yang abstrak tersebut ke realitas. Agar murid memahaminya dengan mudah. Dan, dengan itu, pengetahuan yang mereka peroleh menjadi bermakna dan bermanfaat untuk menyelamatkan dunia.

Selasa, 16 Februari 2016

Hukuman untuk Anak menurut Cicero

Cicero lahir pada tahun 106 S.M. dan meninggal tahun 43 S.M. Ia adalah seorang filsuf, negarawan Romawi Kuno, ahli retorika,  pengacara, dan penulis. Meskipun Cicero lebih terkenal sebagai orator dan negarawan, namun ia juga memiliki pandangan mengenai pendidikan. Ajaran-ajarannya tentang pendidikan adalah sebagai berikut: bahwa pendidikan dimulai dari masa kanak-kanak, dan pendidikan adalah sebuah perkembangan stabil sepanjang kehidupan. Daya ingat (memori) sebaiknya dikembangkan dengan mempelajari ekstraksi dari para penulis klasik. Lingkungan pendidikan harus menyenangkan.

Pandangannya tentang hukuman dalam mendidik anak menjadi salah satu dasar dalam perkembangan pendidikan dunia. Tentang hukuman ia berpendapat bahwa:
  1. hukuman fisik sebaiknya diberikan ketika semua hukuman lainnya gagal mendisiplinkan anak,
  2. anak sebaiknya jangan direndahkan dengan cara hukuman. Artinya, hukuman tidak bermaksud merendahkan anak,
  3. hukuman sebaiknya jangan pernah diterapkan dalam kemarahan,
  4. hukuman sebaiknya ditangguhkan hingga cukup waktu untuk refleksi bagi guru dan murid,
  5. alasan-alasan untuk hukuman sebaiknya diberikan. Anak harus memahami mengapa ia dihukum,
  6. anak dibimbing untuk melihat keadilan dari hukuman yang dibebankan.


Di tengah dilema yang dihadapi oleh seorang pendidik dalam memberi hukuman kepada anak terkait masalah HAM dan/atau kekerasan pada anak, mungkin pandangan Cicero tersebut bisa membantu para pendidik. Pendidik dalam hal ini terutama adalah orang tua, baru kemudian guru.

(dicopy dari facebook note)

Jumat, 12 Februari 2016

Pembelajaran Semu

Sebuah quote pernah kubaca mengatakan bahwa dunia pendidikan selalu dipenuhi permohonan, copy, dan pencurian. Permohonan agar rekannya memberitahu jawaban, kemudian mengcopy jawaban orang lain, atau jika tidak, mencuri hasil karya orang lain. Mungkin begitulah yang ingin disampaikan oleh pembuat quote tersebut.
Ada sebuah ilmu yang biasa dipelajari di sekolah adalah beologi. Beologi adalah ilmu tentang membeo. Istilah beologi hanyalah istilah pelesetan. Semua murid mengikuti apa yang dikatakan oleh guru. Bukan mengajak murid menggunakan daya nalar mereka sendiri. Mungkin hampir semua murid dan lulusan sekolah merupakan ahli beologi.
Beberapa hari yang lalu seorang teman dan aku membahas tentang pembelajaran semu. Ide diskusi pembelajaran semu itu berasal dari teman tersebut pada akhirnya menarik perhatian kami. Pembelajaran semu adalah pembelajaran yang seolah-olah belajar padahal sebenarnya tidak belajar melainkan hanya mengikuti apa yang ada di buku paket atau apa kata guru. Dalam pembelajaran semu siswa seolah-olah menggunakan daya nalar mereka dalam memecahkan masalah. Misalnya, dalam matematika, seorang siswa mampu menghitung luas persegi karena sudah menghafal rumus bukan karena paham apa itu luas persegi atau mengapa rumus luas persegi seperti itu.

Minggu, 03 Januari 2016

Sebuah Percakapan dengan Pak Sopir

Sepulang gereja tadi, seperti biasa aku naik angkot dan duduk di depan dekat sopir karena memang tinggal itu yang kosong. Di tengah jalan yang sedang macet terlihat serombongan orang Korea dengan membawa belanjaan di tangan. Jalan kaki.
Tiba-tiba Pak Sopir berkata bahwa orang-orang Korea itu tidak bisa berbahasa Indonesia dan kerja mereka hanyalah buruh kasar di sebuah proyek di perusahaan ternama (PT. Holc*m). Pak Sopir bilang proyek itu dekat  dengan rumahnya, oleh karena itu dia tahu keberadaan orang-orang Korea tsb. Keren juga Pak Sopir ini.
Pak Sopir terus mengajak bicara.
Dia berkata, "aneh bangsa kita ini, buruh kasar saja didatangkan dari Korea. Kenapa tidak pakai tenaga orang kita saja?" Jalan masih macet melewati pasar.
Ia melanjutkan lagi, “Padahal mandornya orang kita yang tidak bisa bahasa Korea. Itu mandor kursus bahasa Korea biar nyambung dengan pekerjanya. Kursusnya bukan sama orang Korea, tapi sama orang kita juga. Aneh kan?”
“Mungkin pemegang saham terbesarnya orang Korea,” akhirnya aku bicara.
“Kata orang sih begitu.”
“Bagaimana tanggapan Bapak tentang MEA yang akhir-akhir ini heboh di TV?” aku bertanya yang lain.
“Mana siap negara kita! Pemerintah tidak menyiapkan kita untuk hal itu. Buruh kasar saja didatangkan dari luar. Gaji orang kita mencekik leher.” Itu tanggapan si Pak Sopir. Hebat juga bapak Sopir yang satu ini. Pengetahuannya lumayan bagus. Pemikirannya juga brilian.
“Tapi kan orang Korea terkenal cepat kalau kerja. Mungkin itu alasan mereka didatangkan.” kataku.
“Iya juga sih. Orang kita malas-malas. Kalau dikasih proyek lamban,” pak Sopir setuju.

Selanjutnya Pak Sopir menceritakan anaknya yang kuliah komputer, sudah lulus, dan sekarang kerja di salah satu perusahaan besar sebagai ahli komputer jaringan.