Senin, 22 Desember 2014

Mengapa tidak boleh mengasihi materi?

Di postingan sebelumnya saya menuliskan tentang peristiwa Natal yang menjadi teguran/tamparan bagi manusia yang mengasihi materi. Natal menjadi momen yang menyadarkan umat manusia.

Mengapa kita tidak boleh mengasihi materi? Karena materi bukanlah Tuhan; materi adalah berhala seandainya kita mengasihinya. Karena mengasihi materi sama dengan mengasihi kekosongan. Apa yang diharapkan dari kekosongan? Tidak ada apa-apa di sana. Inilah hebatnya materialisme yaitu bahwa materi memiliki daya pikat yang besar. Namun, bagi orang yang terpikat olehnya akan mengalami kekecewaan yang besar. Semakin besar ia berharap, semakin besar rasa kecewa yang ia alami.

Mengapa orang terpikat materi? Karena manusia telah menjauh dari Tuhan. Manusia telah berdosa. Dosa telah menciptakan kekosongan dalam hati dan jiwa manusia. Manusia terus berusaha mengisi kekosongan ini dengan caranya sendiri. Manusia mengisinya dengan ritual keagamaan, uang, harta, popularitas, kenikmatan duniawi, dan lain-lain. Manusia terjebak di dalam semua itu. Seolah-olah jiwanya telah terisi. Namun sesungguhnya jiwa manusia masih kosong.

Kekosongan dalam jiwa manusia tidak bisa diisi oleh materi, popularitas, jabatan, bahkan dengan ritual keagamaan sekali pun. Kekosongan dalam hati dan jiwa manusia hanya bisa dipuaskan oleh Allah. Karena itulah, dalam kekristenan, Allah datang kepada manusia. Usaha manusia akan sia-sia dalam mengisi kekosongan jiwanya. Namun, Allah, dengan kasih-Nya, mendatangi umatnya melalui Yesus Kristus. Di dalam DIA, hati dan jiwa manusia tidak hanya terisi, tetapi juga mengalami kepuasan. Allah sumber berkat, termasuk materi, telah memberikan 'segalanya' yaitu Diri-Nya sendiri. Adakah alasan bagi manusia untuk mencari pengisi jiwanya di tempat lain (kekuasaan, materi, atau kemajuan teknologi)? Kalau saja manusia mengenal Allah di dalam Yesus Kristus, maka tidak ada tempat lain selain di dalam Pribadi Yesus Kristus. Percayalah.

Minggu, 21 Desember 2014

Materialisme dan Natal

Salah satu tulisan singkat yang kubaca di facebook siang ini (Senin) dari seorang teman: Mengapa Tuhan memilih lahir sebagai orang miskin? Mungkin supaya dunia sadar, letak martabat seseorang bukan pada materi. Selanjutnya dituliskan, Natal bisa menjadi tamparan bagi dunia yang lebih mengasihi materi daripada sesama.

Materialisme merupakan pandangan atau pemahaman yang 'meninggikan' materi. Materi di sini bisa berarti barang berharga, uang, kekayaan, kepemilikan, dan gelar. Lebih khusus lagi, mungkin, mobil mewah, rumah mewah, emas, permata, jabatan tinggi, dan gelar doktor. Itulah yang dikejar manusia saat ini. Biasanya orang senang sekali menampilkan foto-foto 'kesuksesan' mereka. Berfoto dengan latar mobil baru, foto keluarga dengan latar ruang tamu yang mewah, atau yang lain-lain; menampilkan materi yang diperoleh.

Lebih jauh lagi, materi dijadikan sebagai status sosial. Kepemilikan mobil mewah, misalnya, menjadikan seseorang disebut orang kaya. Dan seseorang tersebut senang dengan status itu - orang kaya. Materi menjadi penentu martabat manusia. Martabat bisa diartikan sebagai tingkat/derajat manusia, harga diri, status sosial yang 'tinggi'. Orang yang tidak memiliki materi berarti status sosialnya 'rendah', tidak terpandang, tidak terhormat.

Kebalikan dari semua itu - yaitu apa yang dikejar oleh manusia - adalah peristiwa Natal. Yesus Kristus memilih lahir di kandang domba. Sebuah tempat yang hina. Bagaimana mungkin Allah yang menciptakan alam semesta datang ke dunia melalui tempat yang hina? Sebuah antiklimaks. Pribadi Allah yang dalam benak manusia mungkin seperti superhero yang gagah, ternyata lahir sebagai orang miskin. Bagaimana mungkin 'sang superhero' terlahir seperti itu? Bagaimana mungkin Sang Raja terlahir di kandang, bukannya di istana?

Peristiwa Natal harusnya menyadarkan manusia yang mencintai materi, kalau bukan menjadi tamparan. Namun, kadang tamparan bisa menumbuhkan kesadaran. Tentu ini lebih sakit. Peristiwa kelahiran Yesus Kristus seharusnya mengubah cara pandang manusia; dari mencintai materi menjadi mencintai Tuhan. Sehingga tidak ada lagi pembedaan status sosial dalam masyarakat, tidak ada lagi orang yang menyombongkan diri, melainkan berperilaku rendah hati.

Lebih khusus lagi, misalnya, dalam memilih pasangan hidup. Bukan lagi memandang dari materi, status sosial, atau gelarnya; melainkan pribadinya yang takut akan Tuhan. Hal ini sering menjadi hambatan bagi dua pasangan muda yang hendak melanjutkan hubungan ke pernikahan; orang tua tidak merestui hanya karena calon pasangan anak mereka bukan orang kaya, bukan orang terpandang, bukan orang terhormat. Padahal bisa saja calon pasangan anaknya adalah seorang yang mengasihi Tuhan.

Perayaan yang Sia-Sia

Kemeriahan Natal terasa di mana-mana. Saat saya berjalan-jalan di pusat perbelanjaan, saat saya ke toko buku, selalu terdengar lagu-lagu Natal. Juga terlihat hiasan Natal yang berwarna cerah; lampu-lampu berwarna/i, pohon Natal lengkap dengan 'salju' buatannya, kado-kado, dan tidak lupa ikon Natal yaitu Santa Klaus.

Aku terganggu dengan semua itu - pohon Natal, lampu-lampu, Santa Klaus - menurutku, semuanya itu mengaburkan makna Natal yang sejati. Perayaan-perayaan di gereja juga terpengaruh akan hal ini. Misalnya untuk anak-anak Sekolah Minggu. Mereka melihat, menonton, menyaksikan bahkan ikut serta dalam perayaan (misalnya: drama, paduan suara, panggung boneka, dll.) Namun, apa yang mereka lihat? Pohon Natal dan Santa Klaus, itu yang paling menonjol. Syukur-syukur kalau orang tua atau guru Sekolah Minggu mereka menjelaskan tentang Natal yang sejati. Kalau tidak? Ini bahaya. Anak kecil tidak bisa berpikir abstrak, mereka berpikir sesuai dengan kenyataan. Nah, misalnya, jika Santa Klaus yang ditonjolkan dalam perayaan Natal, maka anak kecil akan melihat bahwa 'beginilah Natal' padahal, sesungguhnya, itu bukan Natal yang sejati. Termasuk pohon Natal dan segala pernak-perniknya.

Perayaan-perayaan seperti ini sudah lama berjalan. Saya yakin, hanya sebagian orang saja yang benar-benar memaknai Natal dengan benar. Sebagian besar merayakan dengan salah. Katakanlah perayaannya meriah/semarak, tapi untuk apa? untuk siapa perayaan-perayaan itu? Di postingan sebelumnya saya sudah menuliskan pendapat saya tentang perayaan Natal; Sederhana saja.

Kemeriahan Natal seharusnya muncul dari hati yang sudah diubahkan oleh Roh Kudus, muncul dari pertobatan sejati, muncul dari rasa syukur yang melimpah, muncul dari pengenalan akan Allah melalui Putera-Nya, Yesus Kristus. Selain dari itu, menurut saya, kemeriahan Natal adalah kesia-siaan. Sama halnya dengan merayakan ulang tahun seseorang yang tidak kita kenal. Atau merayakan ulang tahun, sementara orang yang berulang tahun sama sekali tidak merasakan kemeriahan karena perayaannya untuk para undangan saja. Sungguh, perayaan yang sia-sia.

Pertanyaan yang muncul dibenak saya saat ini adalah apakah perlu untuk meniadakan pohon Natal dalam gereja? Apakah perlu meniadakan tokoh Santa Klaus dalam perayaan Natal kita? Semuanya itu sebenarnya tidak memiliki kaitan dengan kelahiran Yesus Kristus. Kukira, hal ini perlu. Alasannya, pertama, agar makna Natal tidak menjadi kabur. Kedua, agar kita mewarisi perayaan kelahiran Tuhan Yesus dan bukan Santa Klaus. Kalau memang pohon Natal harus ada dalam gereja, misalnya sebagai hiasan agar menambah semarak, kupikir, jangan terlalu menonjol. Karena bukan itu yang kita tonjolkan. Atau pohon Natal kita ganti dengan, misalnya, pot-pot berisi bunga yang disusun menyerupai taman agar bagian depan gereja terlihat indah.

Jumat, 19 Desember 2014

Makna Natal

Apa arti Natal buatmu? Orang Kristen tentu memiliki pemahaman bahwa Natal adalah peringatan datangnya Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat, ke dalam dunia. Tuhan menjadi sama seperti manusia karena kasih-Nya yang besar. Apakah orang Kristen benar memiliki pemahaman seperti itu? Kelihatannya tidak. Sering natal dirayakan untuk diri sendiri, keluarga sendiri, kelompok sendiri, atau gereja sendiri, bukan lagi peringatan lahirnya Tuhan Yesus.

Sekarang, di pusat-pusat perbelanjaan selalu terdengar lagu-lagu bernuansa natal, hiasan berbau natal di sana-sini; bukan untuk merayakan kelahiran Tuhan Yesus, melainkan agar menciptakan suasana natal saja. Ditambah diskon yang menarik minat pembeli. Untuk siapa natal dirayakan?

Dua hari yang lalu (Rabu) aku hadir di acara Natal kampus. Ruang aula penuh. Berbagai pertunjukkan ditampilkan; tarian beberapa daerah, drama pantomim, vokal grup, paduan suara, dan lain-lain. Semuanya menarik untuk dilihat. Semuanya membuat hadirin bertepuk tangan. Tapi untuk siapa semua itu? Sedihnya adalah pada saat renungan Natal, saat pendeta mulai berkhotbah, rata-rata hadirin bermain smartfon, ada yang mengobrol, sibuk sendiri; tidak memperhatikan khotbah.

Aku sangat menikmati khotbah Natal kampus saat itu. Pendeta yang menyampaikan renungan, seorang teolog, mengatakan bahwa Natal adalah sebuah perayaan yang skandalon. Sebuah perayaan yang menjijikan. Tidak ada perbedaan antara memuliakan Allah dengan menghujat Allah. Inilah khotbah yang kutunggu-tunggu. Ngomong-ngomong, acara Natal ini adalah yang pertama yang kuikuti di tahun ini. Khotbah yang begitu tegas menegur acara-acara Natal yang salah. Saya tidak tahu apakah hadirin memahaminya, tapi aku sendiri begitu menikmati. Sambil introspeksi diri tentang bagaimana menjalankan ibadah yang sesungguhnya.

Aku berpendapat bahwa tidak perlu merayakan Natal dengan meriah. Sederhana saja cukup. Inilah alasan aku tidak mengikuti ajakan/undangan Natal di beberapa tempat, karena kebanyakan hanya untuk unjuk kemeriahan acaranya saja. Kalau memang diadakan dengan meriah, apakah menjamin bahwa perayaan itu untuk memuliakan Allah? Bagaimana mengetahui bahwa orang sungguh-sungguh menikmati Allah dan bukan pertunjukan-pertunjukan dalam perayaan? Karena sesungguhnya Allah tidak menginginkan persembahan atau perayaan, melainkan hati yang tunduk di hadapan-Nya. Itulah ibadah yang sesungguhnya.

Selasa, 16 Desember 2014

Menikmati Kehilangan

Apa yang kau rasakan bila kehilangan uang? Bagaimana sikapmu? Merasa sedih, itu pasti, terlebih bila uang tersebut merupakan hasil jerih lelah sendiri. Lain halnya bila kehilangan tersebut karena kelalaian diri sendiri. Tentu merasa sedih, namun sering kita menyalahkan diri sendiri mengapa bisa lalai - misalnya lupa meletakkan dompet yang berisi uang hingga diambil orang. 

Kehilangan yang lain juga sama. Mengapa kita bisa merasa sedih saat kehilangan? Tentu karena kita merasa memiliki sesuatu tersebut. Kupikir salah satu kebiasaan manusia adalah ingin memiliki. Tapi apakah kita bisa benar-benar memiliki? Kalau berpikir pendek, mungkin kita bisa memiliki. Kalau berpikir panjang atau bila kita melihat akhir dari hidup kita, kita akan berpikir ulang bahwa kita tidak bisa memiliki apa-apa. Tidak ada yang dibawa, satu pun tidak, saat kita meninggal dunia. Jadi mengapa kita bersedih tentang kehilangan?

Sulit memang menolak perasaan sedih saat kehilangan. Terlebih jika kehilangan orang yang dicintai. Termasuk kehilangan sesuatu yang berharga. Namun, larut dalam kesedihan saat kehilangan akan membuat kita lupa bersyukur kepada Sang Pemberi segala sesuatu. Kita harus sadar bahwa segala sesuatu yang kita miliki, kalau memang pantas disebut sebagai milik kita, adalah semata-mata pemberian Tuhan. Bahkan bila sesuatu itu kita peroleh dengan jerih lelah. Bayangkan saat kita bekerja keras tiba-tiba jantung kita sakit lalu berhenti, tentu kita tidak mendapatkan apa yang ingin kita miliki tersebut. Dari manakah 'detak jantung' kita, kalau bukan dari Tuhan?

Bersedihlah bukan karena pernah memilikinya, namun karena ikhlas melepaskannya.

Minggu, 14 Desember 2014

suatu senja

mana mungkin aku bercumbu dengan sepi
untuk membunuh rindu yang telah menumpuk
di dada yang sesak ini.
suatu senja aku tertidur entah jam berapa
ketika terjaga samar kudengar sebuah lagu lawas
dari kamar sebelah
mendadak suasana sepi 
lebih hening dari tidurku.
aku terbawa suasana
seperti melesat ke masa lalu
mengajakku mengingat peristiwa-peristiwa hidup
rasanya semua baru terjadi kemarin.
andai bisa mengintip waktu kemarin.
waktu merangkak seperti bayi
tertatih-tatih namun 
kini ia bukan lagi bayi kecil
ia telah menjadi dewasa.
hari telah senja.
senja adalah perbatasan antara siang dan malamdi sanalah kesadaran dan penyesalan bertemudi sanalah tarikan nafas paling panjangke mana hari-hariku pergi?

Minggu, 07 Desember 2014

Dekat dengan Allah

Hari minggu ini tema khotbah di gereja, tadi siang, menarik sekali buatku. Yaitu tentang dekat dengan Allah. Bagaimana sih caranya dekat dengan Allah? Adakah manusia yang benar-benar dekat dengan Allah?

Tidak ada seorang pun yang bisa dekat dengan Allah. Karena manusia sungguh terbatas. Selain manusia terbatas, manusia juga berdosa. Sementara Allah adalah mahakudus dan kekal. Jadi, tidak mungkin yang terbatas dan berdosa mampu dekat dengan Pribadi yang Mahakudus dan kekal itu. Hanya Pribadi yang Kekal yang mampu dan mungkin mendatangi pribadi yang terbatas. Dan ini pun hanya oleh belas kasih dari Pribadi yang Kekal itu.

Menarik sekali, dalam kekristenan, Allah-lah (Pribadi yang Kekal) yang datang kepada manusia. Allah-lah yang menyelamatkan manusia melalui Yesus Kristus. Bukan sebaliknya; manusia yang datang kepada Allah atau manusia berusaha dengan berbagai cara untuk mendapatkan keselamatan. Jadi, dalam kekristenan, manusia bisa dekat dengan Allah semata-mata hanya karena anugerah-Nya, bukan hasil upaya manusia.

Apakah tradisi kurban bakaran menyelamatkan manusia seperti yang dilakukan umat Israel kuno? Sama sekali tidak. Justru kurban yang dipersembahkan setiap tahun menunjukkan bahwa kurban tersebut tidak memberi keselamatan. Karena kalau kurban tersebut memberi keselamatan, maka cukup dilakukan sekali saja, bukan tiap tahun. Justru kurban yang dipersembahkan itu berguna untuk menyingkapkan dosa yang terus dilakukan manusia.

Di sinilah kasih Allah itu terbukti bahwa 'kurban sejati' yaitu Tuhan Yesus telah dipersembahkan untuk menebus dosa dan menyelamatkan umat manusia cukup sekali saja. Jadi, berbahagialah orang yang hidupnya di dalam Tuhan Yesus, karena hanya melalui DIA manusia bisa dekat dengan Allah. Sekarang, adakah manusia yang benar-benar dekat dengan Allah? Ada, yaitu orang yang percaya kepada Yesus Kristus.

Karena ini bulan Natal, maka sesungguhnya Natal sejati itu adalah peringatan kedatangan Sang Juruselamat yaitu Tuhan Yesus ke dalam dunia. Natal sejati bukanlah perayaan, pesta, atau peringatan kebaikan santa Klaus, melainkan peringatan akan bukti kasih Allah yang rela mengosongkan diri-Nya dari kemuliaan menjadi sama dengan manusia.

Selamat menyambut Natal. Semoga kita dianugerahkan hikmat surgawi oleh Tuhan dalam memaknai keselamatan yang sesungguhnya.

Kamis, 04 Desember 2014

Cerita Penjual Nasi Goreng

Tulisan awal bulan desember 2014 ini tentang penjual nasi goreng. Siapa yang tidak kenal nasi goreng? Keterlaluan. Presiden Obama saja suka.

Ada penjual nasi goreng di depan rumah. Awalnya hanya satu, yaitu seorang kakek dengan gerobaknya. Setiap malam ia datang sambil memukul tongkat besi dengan sendok. Bunyi ketukan sendok dan tongkat besi itulah pertanda ia datang. Kemudian ia memarkir gerobaknya di seberang jalan persis di depan sebuah kios kosong yang sudah lama ditinggal oleh penghuninya. Di pintu besi kios itu tertulis "dikontrakkan". Di sebelah kios itu ada dua kios lagi yang tengah diisi oleh penjual pulsa dan yang ujung satunya lagi penjual es kelapa yang hanya aktif di siang hari. Si kakek penjual ini biasanya duduk-duduk dekat gerobaknya sambil menunggu pembeli datang. Biasanya para penghuni kos-kosan yang ada di sekitar situ. Aku sering juga membeli nasi gorengnya. Tapi aku heran kenapa kakek penjual nasi goreng itu tidak menyewa saja kios kosong itu untuk berjualan. Itu lebih baik, kupikir, daripada harus mendorong gerobak setiap hari. Tapi, ah, itu urusannya. Bukan urusanku.

Beberapa minggu kemudian. Kios yang biasanya si kakek penjual memarkir gerobaknya ternyata sudah berpenghuni. Yaitu seorang pedagang. Ternyata, penghuni baru kios itu adalah penjual nasi goreng juga. Sejak kios itu buka, si kakek penjual tadi tidak pernah lagi kulihat muncul untuk beberapa hari. Awalnya aku enggan untuk membeli nasi goreng dari si penjual baru ini, karena sudah 'berlangganan' dengan si kakek. Tapi suatu hari kucoba untuk membeli nasi gorengnya. Ternyata enak juga. Sambil menunggu nasi yang sedang digoreng aku mengajak penjualnya bicara, seperti yang biasa kulakukan dengan si kakek penjual. Penjual yang baru ini masih muda. Sebelumnya ia berdagang di Jakarta. Namun, karena ada penggusuran di beberapa wilayah, termasuk tempat ia berjualan, akhirnya ia pindah ke daerah Bogor, tempatnya sekarang, dengan menyewa sebuah kios. Itulah ceritanya mengapa si penjual baru berada di situ.

Sekarang ada dua penjual nasi goreng di depan tempat tinggalku. Bingung mau beli yang mana. Tapi aneh juga mengapa si kakek itu masih bertahan jualan padahal sudah ada penjual yang menetap di kios itu. Coba ia berkeliling mendorong gerobaknya di tempat lain, mungkin banyak yang akan membeli.

Pertanyaan yang muncul berikutnya di benakku adalah apa tidak ada lagi usaha lain selain nasi goreng? Inilah tantangan hidup. Tantangan hidup ini sebaiknya dihadapi dengan kreativitas. Kalau jadi pekerja kantoran sih enak, jam berangkat dan jam pulang sudah ketahuan. Tapi kalau mau usaha sendiri harusnya cari usaha yang baru atau lokasi yang baru. Kalau semua, misalnya, jadi penjual nasi goreng, pasti merugi. Kecuali kalau berani bertaruh dengan kualitas. Artinya, walau pun sama dengan orang lain, tapi soal kualitas kitalah yang nomor satu.

Begitulah cerita awal desember tahun ini. Karena setiap minggu selalu hujan dan cuaca dingin, maka nasi gorenglah yang menjadi pilihan makan malamku kadang-kadang. Tapi, di mana aku beli, hanya aku yang tahu?hehehe