Senin, 30 September 2013

Pintu Maya

Aku sedang membayangkan di kamarku ada sebuah pintu maya yang -ketika kubuka- bisa membawaku ke dunia lain. Pintu yang membawaku ke pemandangan yang indah. Memang ini terdengar konyol, tapi kurasa setiap orang yang merasa bosan mengharapkan hal ini, hanya saja mereka tidak mengetahui bahwa mereka menginginkannya.
Aku membayangkan pintu itu ada setiap kali aku merasa bingung, bosan, atau lelah, agar bisa kunikmati suasana baru di tengah himpitan hidup yang menyesakkan dada ini. 
Aku membayangkan andaikan aku benar-benar menemukan pintu itu, aku akan mengajak banyak orang masuk ke dalamnya. Terlebih orang-orang yang sedang sendiri, bosan, dan lelah. Aku tidak ingin menikmatinya sendirian. Setidaknya aku punya teman yang bisa kuajak dan suatu saat bisa membuktikan kepada dunia bahwa pintu itu benar-benar ada.
Aku tidak sedang memikirkan untuk lari dari semua masalah. Masalah harus dihadapi dan sebisa mungkin harus bisa diselesaikan. Pintu maya yang kumaksud tidak bertujuan agar membawaku keluar dari masalah. Ini hanya permainan imajinasiku saja yang kadang-kadang sedikit liar dan aneh. Nah, nanti bila aku sudah menemukannya aku akan menceritakannya padamu, dan kau boleh masuk bersamaku. Kita akan berbahagia di sana. Setelah itu, kita tetap melanjutkan pekerjaan kita. Bukankah kita akan lebih semangat lagi bekerja? Aku tidak menjaminnya juga sih. Jadi, aku hanya membayangkannya saja.
imagination is more important than knowledge. ~Albert Einstein

Kamis, 26 September 2013

aku dan malam

biar kuceritakan tentang aku dan malam 
pada kalian:
tiba-tiba malam menabrakku
seketika aku tersadar di mana aku,
-tergeletak tak berdaya di kaki malam
berdarah patah tulang.

tiba-tiba malam menabrakku
seketika aku tersadar ke mana aku,
-menuju tempat tidur, meninggalkan mimpi
yang tidak menjadi nyata.

Rabu, 25 September 2013

jam dindingku

aku mengamati jam dindingku
aku mengamati jarum detiknya
hingga miring kepalaku ke kanan

dapatkah kutegakkan kepalaku kembali?
dapatkah kuulang lagi?

lama aku tertidur
di bahuku sendiri
kayaknya tak ada tempat bagi kepalaku
menuju mimpi yang sempurna

malam hari yang asing

malam hari yang asing
angin menggoyang-goyangkan pohon kenangan
buah-buahnya jatuh di kepalaku
berhamburan
mengetuk-ngetuk dadaku

ada suara berdenting dalam kepalaku
seperti bunyi lonceng di menara
seperti peringatan kematian

buah kenangan mengetuk-ngetuk
lonceng berdentang
mengingakan aku akan hari-hari yang masuk
dalam kerongkongan waktu.

Selasa, 24 September 2013

aku akan terbiasa

aku akan terbiasa dengan ini
bangun sendiri
lalu berusaha lupa
lupa bahwa di hari-hariku pernah ada kamu.

aku akan terbiasa dengan ini
pergi tidur dengan pikiran yang menolak
mengingatmu

aku akan terbiasa dengan ini
melihat-lihat sekelilingku
─dan seperti ilusi mata,
semua yang kulihat adalah kamu

aku akan terbiasa dengan ini
menuliskan banyak puisi
mengabadikanmu dalam kata

aku akan terbiasa dengan ini
menjalani hidup tanpamu

Senin, 23 September 2013

aku membayangkan kita

aku membayangkan suatu hari nanti
di malam hari saat kita hendak tidur
aku mematikan lampu
lalu kita berdebat dalam gelap
tentang siapa yang lebih dulu mencintai
aku atau kamu.
dan aku membayangkan
aku kalah debat denganmu
sebab dari pandangan pertama
akulah yang lebih dulu jatuh.

aku membayangkan suatu hari nanti
di malam hari saat kita hendak tidur
kau mematikan lampu
lalu kita membahas dalam gelap
tentang buah hati kita yang bertumbuh semakin dewasa
tentang harga kebutuhan pokok yang semakin mahal
tentang cinta yang tak boleh hilang di tengah pergumulan hidup.

aku membayangkan suatu hari nanti
cinta kita semakin bertambah
semakin kita menua, semakin besar cinta
antara kita.

meski kau...

tapi aku tak bisa baca
kata dalam matamu
bisakah kau membantuku?
katakan saja apa yang tersimpan
dalam dadamu.

aku menemuimu
bukan matamu,
meski matamu indah.
bukan juga diammu
meski lembut bibirmu.

ketika kau hadir

kau masuk dalam hidupku
bagai cahaya lilin di tengah kegelapan
pelan kau ciptakan kesan
hingga aku lupa kegelapan telah berlalu.

kau masuk dalam hidupku
bagai sebuah batu dijatuhkan ke tengah air tenang
kau ciptakan gelombang
hingga aku lupa bahwa aku danau.

kau datang dalam hidupku
seperti cahaya mentari pagi menerobos celah dedaunan
celah gelap diriku kau penuhi dengan cahayamu
menemani pagiku di perjalanan.

Sabtu, 21 September 2013

semoga kau kembali

"aku merindukanmu"
tidakkah kau rasakan kesedihan
yang tersembunyi di balik ucapanku?

"jangan pergi, aku masih mencintaimu"
tidakkah kau rasakan  sebuah harapan
terbungkus dalam ucapanku?

"kembalilah"
rasakan kepedihan di balik ucapanku terakhir

semoga kau kembali

apa yang terjadi di negeri ini?

apa yang telah terjadi
di negeri ini?
pelaku kejahatan merasa
bahwa kejahatan mereka adalah
salah orang lain.
kejahatan mereka adalah
kebaikan bagi keluarga dan sanak saudara mereka
─demi anak istri mereka.

apa yang sedang terjadi
di negeri ini?
kemana orang-orang yang baik hatinya?
apakah kebaikan hati
telah melemahkan mereka?
membuat mereka jadi penakut?
atau telah nyaman dengan kebaikan hatinya?
membiarkan segala sesuatu terjadi
meski menuju ke kebinasaan.

kaya dan miskin

orang kaya
terus saja maju
dalam kekayaan mereka

orang miskin
terus saja tenggelam
dalam kemiskinan mereka

keduanya,
kaya dan miskin
lahir dari rahim
ibu pertiwi

Jumat, 20 September 2013

Rumah (Tua) Kami

Mengingat masa kecil adalah suatu hal yang istimewa bagi orang dewasa. Seperti dalam mimpi saja, ternyata masa itu pernah dilewati.  Kali ini aku mau bercerita tentang masa kecilku, khususnya rumah tua kami. Rumah itu sudah tidak ada sekarang. Rumah itu dibongkar waktu aku duduk di kelas 1 SMP.

Rumah tua yang terletak kira-kira 5 meter dari pinggir jalan. Jalan itu menghubungkan dua desa. Sebuah jalan dua-jalur yang dulu kondisinya rusak, banyak lubang dan bergelombang. Di sepanjang sisi jalan tumbuh rumput liar yang sesekali dipotong oleh pemerintah kota. Itu pun kalau ada pejabat dari kota yang datang ke desa kami. Kata bapak rumah itu sudah berdiri lebih dari seratus tahun. Kelihatan dari kayu-kayu penopangnya yang sudah sangat tua, namun masih kuat. Dinding-dinding rumah terbuat dari papan yang tiap kali rusak pasti diganti. Atapnya dari daun rumbia seperti rumah-rumah lain di desa kami.

Awalnya kami tidak tinggal di rumah itu. Kami tinggal di kota selama aku masih kecil. Baru saat aku berumur enam tahun kami pindah ke rumah tua itu. Rumah yang dibangun oleh kakek buyut. Sebelumnya, selama tinggal di kota aku dan keluarga sesekali jalan-jalan ke desa dan menungunjungi rumah itu. Pertama kali melihatnya aku kaget. Rumahnya terlihat jelek, tua, dan lantainya masih dari tanah berpasir. Dan seorang yang tidak kukenal tinggal di situ. Mungkin dia yang menjaga rumah itu. Maklum saat itu aku tidak tahu bahwa rumah itu adalah rumah kami -warisan buat bapak dari kakek. Dan yang jadi pertanyaanku saat itu mengapa kami tinggal di kota dan bukan di rumah yang sebenarnya.

Saatnya aku masuk SD, kami pun berkemas pindah. Meskipun pindah ke desa, aku tetap didaftarkan oleh bapak sekolah di kota. Kami pun tinggal di rumah yang sebenarnya. Masa-masa sekolah dasar kuhabiskan di rumah itu. Aku ingat aku pertama kali bisa membaca rangkaian huruf di rumah. Sering kuhabiskan waktu membaca buku di rumah. Dulu ada sebuah buku berjudul 'Dodo dan Didi' yang kudapat dari rumah itu sebelum kami tempati. Sebelum bisa membaca aku sudah membuka buku itu berulang kali hanya untuk melihat gambar di dalamnya. Dan aku senang akhirnya bisa membaca teksnya. Buku itu itu entah di mana sekarang, tapi aku sudah membacanya berulangkali.

Sebuah rumah tua yang ternyata adalah rumah kami yang sebenarnya akhirnya kami tempati. Suka dan duka sudah tercipta dan terekam di sana. Kuingat kalau hujan, atapnya pasti bocor, air hujan masuk ke rumah dan kami sibuk menadahkan ember. Apalagi kalau hujan pada malam hari, menambah suasana yang tidak nyaman. Perbaikan demi perbaikan sudah dilakukan, namun belum cukup. Aku tahu orang tuaku tidak cukup dana memperbaiki seluruhnya, karena mengutamakan biaya sekolah kami. Juga yang kuingat adalah awalnya di rumah tidak ada listrik. Bertahun-tahun kami diterangi oleh cahaya lampu teplok. Lantainya pun baru disemen setelah bertahun-tahun kami di situ. Lantainya pun tidak rata. Rumah kami itu ada lotengnya dan di bagian depan ada jendela. Aku sering duduk di jendela itu. Hal yang kuingat adalah saat tujuh belasan agustus, melihat orang gerak jalan lewat depan rumah dari loteng. Di desa suasana tujuh belas agustus sangat terasa.

Rumah yang meninggalkan banyak kenangan itu pun kini telah tiada. Waktu aku kira-kira sebelas tahun, rumah baru kami pun di bangun rumah kami sekarang, tepat di belakang rumah tua itu. Setelah rumah baru selesai dibangun dan kami menempatinya, rumah tua pun dibongkar. Sedih sekali rasanya, hingga sebelum dibongkar diadakan pesta. Karena di rumah itu bukan hanya kenangan kami yang ada, tapi juga kakek-nenek kami. Umurnya saja melampaui umur orang tuaku, bahkan kakekku. Kakek meninggal diumur 81 tahun.

Bagiku, rumah adalah tempat kembalinya jiwa kita. Karena di rumah kita bertumbuh menjadi besar.

Selasa, 17 September 2013

Kisah Tiga Anak

Tiga anak perempuan di rumah depan kulihat sedang asyik bermain dengan seperangkat alat masak-masakan. Aku tidak tahu apakah ketiganya bersaudara kandung atau mungkin dua dari mereka anak dari tetangga yang lain. Hari itu baru selesai hujan, jadi tanah masih basah dan cuaca masih lembab. Tapi bagi ketiga anak gadis itu, kelihatannya cuaca tidak memengaruhi keasyikan mereka bermain.

Sementara aku termenung sejenak. Aku jadi teringat masa kecilku. Andai aku bisa muda lagi. Satu dari sekian pengalaman masa kecil yang masih kuingat adalah saat pulang sekolah, dan saat itu hujan deras sekali. Waktu duduk di bangku SD, aku dan kedua saudaraku selalu bersama, mulai dari berangkat hingga pulang sekolah. Kami bertiga diantar oleh bapak. Bapak seorang guru, tapi bukan di tempat kami bersekolah. Karena bapak mengajar di SMA. Sekolahku dan sekolah tempat bapak mengajar tidak jauh. Hanya berjalan kaki saja sampai. Biasanya kalau pulang sekolah kami langsung ke sekolah bapak dan menunggunya sampai pulang.

Suatu hari yang mendung, bel tanda pulang berbunyi. Kami langsung bertemu di gerbang sekolah lalu langsung bergegas ke tempat bapak. Sesampainya di sana, hujan turun sangat deras. Kami menunggu di kantornya. Kantor kosong sebab guru-guru di sana masih mengajar. Tepat di depan ruang guru di situ ada saluran air, yang saat itu sedang penuh dan air mengalir deras karena hujan. Kami pun membuat perahu kertas. Di situ banyak kertas bekas. Kami meletakkan perahu kertas di atas air pada saluran itu dan sambil berlari mengikuti perahu-perahu itu berlayar sampai belokan yang kami tidak tahu ke mana ujungnya.

Tiga anak kecil bermain di depan rumah. Ketiganya perempuan. Dulu kami juga bertiga aku dan adikku laki-laki dan kakak perempuan kami. Ketiga anak gadis itu masih kecil. Kami dulu masih kecil. Aku tidak tahu apakah perahu kertas kami berlabuh dengan selamat pada tujuan yang tidak kami ketahui. Yang kuketahui adalah aku menua, usiaku sekarang 26 tahun.

Minggu, 15 September 2013

Cerita Pagi(ku)

Pagi hari jam 6 aku duduk di beranda rumah menikmati sinar matahari yang baru saja muncul. Secangkir kopi tersedia di meja di sampingku. Kopi hitam sedikit gula meski tidak terlalu manis, aku  yang menyeduhnya sendiri. Ada suara burung berkicau punya tetangga menambah suasana meriah. Seperti di kampung halaman, hanya pemandangannya yang beda. Di sini hanya ada rumah lalu rumah lagi di depanku. Suasana pagi ini sama seperti pagi sebelumnya −suara burung, sinar matahari, dan secangkir kopi panas.

Beberapa tahun silam, lebih dari sepuluh tahun, aku masih ingat pas liburan sekolah, pada pagi hari suasana di rumah di kampung, pasti sibuk. Sibuk menyambut hari yang panjang. Biasanya hari libur kami habiskan dengan bekerja di kebun atau di sawah. Kami sempat mengolah sawah saat aku duduk di kelas satu SMP hingga kelas satu SMA. Sebelumnya dan setelahnya sawah itu kami sewakan ke orang lain. Kesibukan pagi hari mulai dari menyiapkan sarapan pagi, makanan untuk bekal siang karena kami baru pulang malam harinya, memberi makan ternak. Kami, anak-anak, punya tugas masing-masing. Aku biasanya yang memasak makanan bersama ibu. Selebihnya sepanjang hari kami menikmati hari di sawah atau di kebun.

Pagi yang paling kuingat adalah saat mendekati musim panen. Aku berangkat dari rumah pagi buta, sebelum matahari muncul, dengan mengayuh sepeda ke sawah. Pada saat-saat itu semua petani datang lebih awal untuk menjaga sawah dari serbuan ribuan burung pipit. Terlambat sedikit saja, burung pipit sudah hinggap dan memakan padi-padi yang sudah menguning. Aku sarapan di sawah kala itu. Nasi putih dan ikan asin yang dipanaskan kembali adalah menu yang paling sering. Nikmat sekali apalagi ditambah pemandangan sawah yang masih temaram. Aku sudah tiba di sawah dan sarapan sebelum matahari terbit. Setelah sarapan pagi, aku berjalan di pematang sawah, kadang membetulkan orang-orangan yang tertiup angin semalam. Kedua kakiku yang telanjang terasa dingin, basah terkena embun pagi yang menempel di dedaunan padi.  Matahari terbit, ribuan burung pipit pun datang. Persawahan terdengar berisik. Ada teriakan para petani, kaleng-kaleng bekas yang dipukul, dan orang-orangan yang bergerak-gerak.

Pagi yang lain yaitu saat kuliah. Inilah pagi yang paling suram tapi juga santai. Suram karena aku jarang menikmati matahari pagi, aku lebih sering bangun siang. Santai karena tidak sibuk. Jam kuliahku saat itu sore hari hingga malam hari. Kadang juga pagi hari kuhabiskan dengan mengerjakan tugas-tugas kuliah. Namun, lebih sering menonton tv bersama teman-teman. Memang kala itu waktu terasa terbuang sia-sia. Hal ini baru kusadari setelah beberapa tahun sudah lulus kuliah. Semasa kuliah banyak waktu yang kuhabiskan dengan hal-hal yang tidak bermanfaat, kecuali saat mendekati tugas akhir menjelang kelulusan.

Setelah lulus kuliah, kupikir inilah saat-saat aku menikmati pagi dengan sibuk dan juga terburu-buru. Bangun pagi sering terasa berat karena lelah kemarin belum hilang, dan paginya harus berangkat kerja lagi. Sering tidak sempat sarapan di rumah. Apalagi sekarang hidup sendirian di kota, tanpa keluarga. Aku meninggalkan kampung halaman sejak masuk kuliah delapan tahun lalu.
Dan pagi ini bukanlah kebetulan. Hari ini hari sabtu jadi tidak masuk kerja. Pagi sabtu yang selalu kuhabiskan dengan menikmati matahari pagi dan secangkir kopi panas. Kapan lagi menghabiskan pagi dengan cara begini, pikirku.

Namun, di antara semua pagi yang sudah kulewati, pagi inilah aku merasa pagiku belum sempurna. Seperti ada yang kurang di sampingku. Cahaya matahari, suara burung, bahkan secangkir kopi tidak mampu menutupinya. Adalah dia teman hidup. Itulah yang hilang. Lebih tepatnya bukan hilang, tapi belum ada. Entah bagaimana pagiku ke depan. Sulit membayangkan dengan imajinasi yang sehat. Imajinasiku terlalu liar, sering berlebihan. Maklum belum punya kekasih. Semoga saja, pagiku segera sempurna seperti yang kubayangkan.
 ***
sepenggal pagi
yang masih kuingat
tidak utuh memang ceritanya.
namun, lebih tidak utuh lagi
bila tanpa dirimu, kekasih.

Kisah Sebatang Lilin

Sebatang lilin tertidur bersama lilin-lilin lainnya. Sumbunya putih terurai ke bawah. Sama sekali tidak ada bekas pernah dinyalakan. Sebatang lilin ini agak beda dengan yang lain. Dia selalu bertanya kapan dia akan dinyalakan karena dengan begitu hidupnya lebih berguna. Sementara lilin yang lain menikmati keadaan mereka sekarang, tertidur dan tidak menyala. Lilin yang sebatang tadi kuberi nama Ken, dan yang lain tetap bernama lilin, semuanya lilin.

"Kapan ya kita akan menyala?" kata Ken suatu hari. Hari itu menjelang malam.

"Siapa yang peduli," jawab lilin lain.

"Ya, lagipula dengan menyala sumbu kita akan terbakar dan badan kita akan habis," jawab yang lain lagi.

"Tapi hidup seperti ini tidak ada arti dan membosankan. Bukankah kita diciptakan untuk memberi cahaya?" Ken membalas.

"Sudahlah jangan pikirkan itu. Sekarang sudah ada cahaya yang lebih terang yaitu lampu. Dan manusia lebih memilih lampu daripada lilin untuk memberi cahaya bagi mereka," sebatang lilin dari tumpukan paling bawah menjawab dengan suara berat.

Suatu hari di sebuah rumah, seorang anak kecil dari keluarga kaya akan mengadakan perayaan ulang tahun ketujuhnya. Si anak sangat suka kalau hari ulang tahunnya dirayakan. Apalagi saat meniup lilin. Dan pada perayaan itu, ternyata Ken yang terpilih menjadi lilin yang akan dinyalakan. Keinginan Ken terpenuhi. Ken pun berkata kepada teman-temannya "Alangkah bahagianya anak itu. Ia berulang tahun saat aku dinyalakan." Lalu Ken menyala.

Kamis, 12 September 2013

langit terbentang

langit terbentang di depanku
jalan mana yang akan pilih,
hilang jejak langkahku
sementara hati belum pulih.
aku ingin terus berjalan
sebab di depan masih terbentang harapan,
tinggal satu yang hilang
adalah kau satu yang kusayang.

siapa yang tahu

siapa yang tahu aku akan bersamamu kelak
meski kini kau bersamanya.
aku bukannya berharap terlalu banyak
punya mimpi apa salahnya.
sekarang aku hidup tanpamu
seperti duduk diam di ruangan tanpa cahaya.
kelak kita ‘kan bersama,harapku
entah tetap mimpi entah jadi nyata.

Sabtu, 07 September 2013

15 Menit Sebelum Tidur

Lima belas menit sebelum tidur, mungkin lebih dari itu karena aku tidak tahu kapan aku benar-benar tertidur, bayang wajahmu melintas di kelopak mataku seolah ada layar televisi di dalamnya. Aku belum tidur. Aku masih merasakan kipas angin mengipasi kulitku yang kepanasan. Malam ini udara terasa panas.

Pekerjaan seharian tadi membuat tubuhku kelelahan dan mudah mengantuk. Malam baru saja turun. Lampu teras rumah tetangga kulihat baru menyala. Seperti biasa mereka baru kembali dari kerjaan setelah malam tiba. Aku hanya memerhatikan mereka sesaat dari balik jendela sambil menyantap makan malamku sendirian. Waktu cepat berlalu kulihat jam sudah pukul 9. Mataku sudah berat, padahal biasanya aku nonton berita malam. Aku menyikat gigi lalu segera menyiapkan diri untuk tidur. Kusiapkan tempat tidurku, kunyalakan anti nyamuk elektrikku, kumatikan tivi. Kulihat mejaku berantakan. Besok pagi saja kurapikan, pikirku, aku akan bangun lebih pagi.

Hari ini benar-benar melelahkan, seperti ada suara-suara kecil dalam kepalaku mengulang kalimat itu. Memang hari ini aku lelah, tapi tidak biasanya aku mengeluh seperti itu. Sebenarnya setiap hari pekerjaan selalu banyak dan selalu ada. Tapi hari ini beda. Mungkin dipengaruhi badanku yang tidak terlalu fit hari ini.

Aku duduk di pinggir tempat tidurku, menundukkan kepala sambil mengucapkan doa kecilku. Kata-kataku habis. Aku seperti lupa cara berdoa. Aku merasa sendirian. Kesendirian yang mengerikan. Lelah. Berat untuk terus bangun, tapi enggan untuk tidur. Dengan tidur, rasanya, waktu cepat berlalu. Dan aku tidak mau waktu berlalu begitu saja dengan cara begini. Beberapa saat kuamati kamarku dari setiap sudut seolah-olah baru kutempati kemarin malam. Aku sudah tinggal di kamar ini setahun yang lalu. Terasa asing.

Kubaringkan badanku. Oh, lega sekali. Rasanya bebanku langsung berpidah ke kasur. Langit-langit kamarku yang bercat putih menjadi pemandanganku sekarang, di bagiannya tengahnya ada sebuah lampu sebagai satu-satunya sumber penerang dalam kamar yang kecil ini. Pikiranku masih menyala seperti lampu di atasku. Ternyata aku lupa mematikan lampu. Langsung saja aku berdiri dan pergi mematikan lampu. Sebentar saja aku kembali ke tempat tidurku. Sekarang kamarku agak gelap. Ada sedikit cahaya dari luar yang masuk lewat celah kecil bagian atas jendela.

Di tengah kegelapan inilah ada sebuah celah sehingga bayangmu masuk ke dalam pikiranku.  Ketika aku memejamkan mata, bayangmu semakin jelas. Semua keluhan, semua kelelahanku lenyap. Kaulah penyembuhnya. Dapatkah kita bertemu suatu hari? Aku bosan bertemu kamu dalam mimpi.

Jumat, 06 September 2013

Kasih Ibu

Inilah kisah seorang pemuda yang tinggal di desa dan jatuh cinta dengan seorang gadis dari desa tetangga. Cintanya kepada gadis itu sejati, dan ia meminta gadis itu untuk menikah dengannya. Si gadis, sebaliknya, tidak mencintai pemuda itu dan hanya memanfaatkan perasaan pemuda tersebut demi keuntungannya sendiri. Ia menjadikannya sebagai permainan. Ia menuntut banyak hal kepada sang pemuda untuk membuktikan cintanya kepada dirinya.

Akhirnya, suatu hari, si gadis kehabisan alasan, ia menuntut hal yang tidak pernah terpikirkan. "Jika kau sungguh mencintai aku," gadis itu berkata, "aku akan percaya bahwa cintamu tulus tanpa ada saingan. Untuk membuktikannya, aku meminta agar kau membunuh ibumu dan membawa jantungnya kepadaku sebagai kenang-kenangan kemenanganku atas cintamu kepadaku." berminggu-minggu lamanya pemuda itu tak tahu apa yang harus ia lakukan dan ia sedih pada pilihan yang harus ia ambil. Tidak sanggup menahan 'kehilangannya' lebih lama lagi dan ketika melihat ibunya sendirian, dalam keadaan gelap mata ia membunuh ibunya dan mengeluarkan jantungnya dari tubuhnya. Ia berlari secepat mungkin untuk mempersembahkan hadiah khusus itu kepada gadis yang paling ia cintai, sementara ia lari dari rasa bersalah yang menyiksanya. Sewaktu berlari melalui hutan yang lebat ia tersandung dan jatuh, dan jantung itu lepas dari tangannya. Ia mencoba bangkit, seperti orang gila mengobrak-abrik semak belukar mencari jantung itu. Akhirnya, ia menemukannya. Sementara ia membersihkan jantung itu, ia mendengar suara keluar dari jantung itu berkata, "Nak, apakah kau terluka?... Nak, apakah kau terluka?"

(Cerita ini diambil dari sebuah buku)

Kamis, 05 September 2013

pekerjaan

aku takut suara hatiku terdengar keluar hingga orang lain bisa mendengarnya.
hatiku sedang berteriak. keras sekali.
oh, alangkah beratnya hidup ini. masalah datang silih berganti. aku merasa lelah. kepalaku sering tertunduk lesu. malam hari aku selalu sulit tidur. pikiranku masih belum kembali. masih mengembara entah ke mana. bangun pagi terasa berat seolah menghadapi monster mengerikan dan aku bersiap untuk diremukkan. barangkali orang lain juga merasakan hal ini.
hatiku sedang bersuara. berteriak. bertanya-tanya.
kapan aku menjadi manusia?
pekerjaan telah menjadikanku bukan manusia lagi.
tapi aku segera sadar pekerjaan bukanlah kutukan.
bukan juga beban.
pekerjaan adalah panggilan hidup manusia.

Perjalanan

Setelah lama menunggu akhirnya bus datang. Aku bersiap-siap berdiri di pinggiran halte bersama beberapa orang yang juga sejak tadi menunggu. Aku sudah berada di dalam bus sekarang. Duduk dekat jendela kaca agar aku bisa melihat keluar. Udara dalam bus cukup sejuk karena AC. Tidak seperti di luar, panas. Di pemberhentian berikutnya bus mengetem lama. Menunggu hingga bangku-bangku terisi penuh. Sementara duduk diam, kuperhatikan keluar. Kendaraan hilir mudik dari dua jalur jalan. Beberapa kali terdengar klakson dan teriakan para pengendara motor. Memang jalanan cocok sekali jadi tempat ujian kesabaran. Ada juga orang-orang yang menyeberang jalan dengan hati-hati. Di sini rambu-rambu lalu lintas tidak terlalu diperhatikan oleh pengguna jalan. Di bawah rambu-rambu dilarang stop ada angkutan yang menurunkan penumpang. Orang-orang menyeberang dengan bebas. Tentu saja jalanan terlihat kacau. Ditambah cuaca yang lumayan panas siang itu. Dalam bus pengamen sedang menyanyi sambil bermain gitar. Tidak peduli suara gitarnya sumbang. Aku abaikan saja. Juga pedagang asongan yang berisik menawarkan jualannya. Tidak di dalam tidak di luar suasananya sama saja. Berisik. Apa dunia ini memang berisik?

Bus berangkat juga. Penumpang terlihat lega karena menunggu terlalu lama. Termasuk aku. Sebenarnya dari tadi aku ingin mengingatkan supir untuk jalan, tapi karena aku tidak terlalu buru-buru ke tujuanku, akhirnya tidak jadi. Seperti biasa di perjalanan aku selalu merenung sambil melihat keluar, memerhatikan garis-garis putih di aspal bergerak ke belakang, dahan-dahan pohon di pinggir jalan seolah memberikan lambaian terakhir, dan pemandangan lain yang terlewatkan. Ke mana aku pergi? Tentu sekarang jelas, aku punya tujuan. Setiba di tujuanku aku pasti akan turun dari bus. Namun, pertanyaanku itu tidak hanya sebatas kemana aku pergi saat ini, namun lebih jauh ke depan. Ke masa depan yang masih terbentang. Masa depan yang masih disimpan oleh hari esok. Ya, ke mana aku pergi?  Terlalu banyak pilihan. Terlalu luas jalan.

Aku sering bingung sendiri dengan jalan pikiranku. Sering memikirkan hal-hal yang tidak bisa kujangkau. Tapi, ini di perjalanan. Aku di dalam bus. Dan hidup ini adalah perjalanan panjang. Lebih panjang dari yang kulewati saat ini. Bukankah sebaiknya aku hanya perlu berjalan terus, mengerjakan pekerjaanku dengan baik, tanpa perlu banyak bertanya? Seperti kata orang, biarkan hidup mengalir?

Selasa, 03 September 2013

manusia gelisah

terdengar bunyi air dari kamar mandi sebelah.
di luar ada sepeda motor lewat dengan bunyi mesinnya yang kasar. 
ada juga desiran angin dari kipas angin di pojok kamar.
sesekali terdengar gonggongan anjing dari kejauhan seperti ingin mengundang hantu.
dari tempat yang lebih jauh lagi pasti lebih banyak bunyi terdengar.
tapi, di dalam hatinya ada keheningan paling sunyi seperti kota mati
seperti suasana desa malam hari
seperti langit malam.
dia mengenang akan hari-hari lalunya
dia merenung akan kekiniannya yang menyedihkan
sebab banyak keputusan berakhir buruk.
lebih buruk dari reruntuhah kota sehabis perang.
dia menerawang, dalam ketidaktahuan, akan hari depannya
betapa beratnya hidup ini, pikirnya.
dia ingin menjadi patung
dia ingin dikutuk jadi batu seperti dalam dongeng
dia ingin waktu berhenti sekarang.

rebah

ingin aku rebah di tempat paling empuk. aku mencari-cari ketenangan yang paling tenang di dunia ini, tapi tak ketemu juga.
ingin kujatuhkan diriku di tempat paling lembut. aku ingin memanjakan tubuhku yang jarang santai ini.
aku ingin rebah di pelukanmu, kekasih. datanglah malam ini. sebab setahun lalu aku menunggu.
ingin kurebahkan diriku di ranjang bersama kekasihku.
kekasihku yang mana?
semua kekasih telah pergi. satu-satunya yang tinggal adalah diriku sendiri. aku adalah kekasihku yang setia.