Minggu, 20 September 2015

Guru dan Sistem Pendidikan

Ada seorang rekan pengajar risau dengan kondisi guru saat ini yang lebih mengutamakan gaji ketimbang pengabdian terhadap pendidikan. Mungkin slogan “habis ngajar, ya, pulang” bisa menggambarkan kondisi guru kini. Orientasi guru adalah uang, bukan pengabdian. Itulah kerisauan rekan tadi.

Untuk menjawab kerisauan rekan tadi, pemerintah sebenarnya memiliki program yaitu uji kompetensi bagi guru yang ikut program sertifikasi. Nilai rata-rata uji kompetensi guru (UKG) sebelumnya yang rendah menunjukkan kualitas guru memang masih belum memuaskan. Tapi, apakah UKG bisa mengatasi masalah tersebut? Menurut saya, belum. Karena UKG hanya menguji kompetensi guru di ranah kognitif saja. Kalaupun ada evaluasi tentang bagaimana guru mengajar di kelas, evaluasi tersebut belum mewakili kondisi guru keseluruhan. Nah, ke depan ini, pemerintah akan mengadakan UKG untuk semua guru, tanpa terkecuali. Saya kira ini hanya akan membuang-buang biaya dan waktu saja. Kalau hasil yang sebelumnya belum memuaskan, maka tidak ada jaminan bahwa UKG berikutnya akan memuaskan, terlebih ini untuk semua guru. Karena tidak ada pembinaan atau pelatihan secara merata bagi semua guru selama ini. Lagipula program sertifikasi guru telah terbukti tidak memberikan pengaruh signifikan pada peningkatan kualitas pendidikan.

Kalau begitu, apa yang menjadi permasalahan pendidikan kita? Terlalu sulit menjawab pertanyaan ini secara singkat. Namun, ada hal yang menggelitik saya selama ini yakni permasalahan pendidikan kita selalu dicurahkan ke pundak guru. Sering sekali guru, secara individu ataupun kelompok, dijadikan sebagai penyebab kegagalan pendidikan. Sementara sistem pendidikan tidak dianggap sebagai penyebab kegagalan.

Misalnya, pencapaian materi yang harus dipenuhi oleh guru karena tuntutan kurikulum membuat guru hanya berfokus pada materi pelajaran saja. Permasalahan yang terjadi selama ini adalah guru sering mengeluh kekurangan waktu dalam mengajarkan semua materi pelajaran. Sementara kemampuan para murid untuk menyerap pelajaran berbeda-beda. Seharusnya murid jangan dipaksakan untuk menerima semua pelajaran. Namun, karena tuntutan kurikulum guru harus mengajarkan semua, sebab kalau tidak, maka dianggap tidak sukses dalam mengajar dan para murid akan gagal di ujian nasional karena tidak mempelajari semua materi pelajaran. Ini menjadikan proses pendidikan menyimpang dari tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi, kesalahannya tidak terletak pada guru melainkan pada sistemnya. Penerapan kurikulum yang “terlalu memaksa” dan pola ujian nasional yang juga terkesan sebagai pencapaian tertinggi dalam pendidikan.

Padahal hasil pendidikan tidak hanya dilihat dari perubahan kognitif para murid, tetapi juga perubahan sikap dan perilaku – menjadi manusia seutuhnya. Artinya, para murid diharapkan mengalami perkembangan pengetahuan dan perilaku sehingga mampu memecahkan permasalahan yang terjadi di sekitar kita; baik masalah sosial, lingkungan, dan masalah lainnya. Inilah tujuan sejati pendidikan. Tujuan ini hanya akan tercapai bila guru tidak menghabiskan waktunya hanya untuk mengajarkan pengetahuan saja karena “dipaksa” oleh tuntutan kurikulum.

Oleh karena itu, perlu ada perubahan penerapan kurikulum. Pencapaian pendidikan memang berpedoman pada kurikulum, tetapi harus memperhatikan karakteristik para murid. Ujian nasional (UN) yang selama ini dianggap sebagai pencapaian tertinggi sebaiknya ditiadakan atau – kalau memang belum menemukan cara terbaik untuk standar kelulusan – maka UN hanya dijadikan sebagai bahan pemetaan saja. Jadi, jangan salahkan guru jika sistemnya masih belum diperbaiki. Dan tidak perlu juga mengadakan uji kompetensi untuk saat ini, selain karena terbukti hasil sebelumnya masih jauh dari harapan, juga tidak memberi jaminan perbaikan. Lalu bagaimana dengan guru? Guru perlu diberi pendidikan dan pelatihan intensif seputar pembelajaran di kelas, filsafat pendidikan, psikologi anak, dll., dan perekrutan guru ke depan perlu diperketat. Hanya yang benar-benar ingin menjadi guru dan memenuhi standar kompetensilah yang layak diangkat menjadi guru.

Bagaimana dengan guru yang lebih berorientasi pada uang daripada pengabdian? Jawabannya juga tidak mudah. Salah satu contohnya, kenyataan yang terjadi pada sertifikasi guru adalah banyak yang memanipulasi jumlah jam mengajar, ada yang sertifikasi padahal jelas bidangnya bukan dari pendidikan, membeli ijazah palsu; demi mendapat tunjangan yang besar. Sementara banyak juga guru yang tidak sertifikasi justru malah lebih berkualitas dan berdedikasi tinggi terhadap pendidikan. Namun, solusinya adalah tinjau ulang semua guru yang sudah sertifikasi; dan perekrutan guru harus diperketat seperti yang sudah saya jelaskan di paragraf sebelumnya.