Sabtu, 24 Agustus 2019

Empat Tanda Pertobatan Sejati

Itulah sebabnya aku mencintai perintah-perintah-Mu lebih dari pada emas, bahkan dari pada emas tua” Mazmur 119:127

Ada empat hal yang penulis amati mengenai cara Allah berkarya di dalam setiap pertobatan sejati yang berkaitan dengan ketentuan dan cara-cara Kristus:

(1) Pikiran petobat dibawa untuk menyukai cara-cara Allah. Petobat menganggapnya sebagai hal terbaik, dan bukan sebagai tenggang rasa semata, melainkan didambakan, ya, lebih dari emas murni. Ia sepenuhnya menetapkan hati bahwa menjadi kudus adalah hal yang terbaik.

(2) Hati berhasrat untuk mengenal pemikiran Kristus seutuhnya. Tidak membiarkan ada satu dosapun yang tidak dikenali atau satu kewajiban yang diabaikan. Petobat palsu dengan sengaja tidak acuh dan tidak suka mendatangi terang. Ia masih ingin menyimpan dosa ini dan dosa itu, dan tidak suka diberitahu sesuatu yang adalah dosa. Hati yang bersyukur berniat mengenal seluruh ruang gerak dan petunjuk dari aturan hukum Penciptanya.

(3) Pilihan bebas dan ketetapan kehendak petobat bersesuaian dengan cara-cara Kristus di atas kesenangan dosa dan kemakmuran dunia. Keputusan persetujuannya tidak dilakukan secara tergopoh-gopoh atau karena rasa takut, tetapi melalui kehati-hatian dan memiliki tujuan. Benar, kedagingan ingin memberontak, namun bagian kehendaknya yang menang adalah demi menaati hukum dan pemerintahan Kristus. Hal ini tidaklah menjadi beban melainkan satu kebahagiaan. Orang yang belum dikuduskan menjalani cara-cara Kristus seolah terbelenggu dan terkekang; sebaliknya hati petobat sejati diubahkan, dan menganggap aturan hukum Kristus adalah kebebasannya, dan bersuka di dalam keindahan kesucian. Tatkala Allah menyentuh hati orang pilihan-Nya, secara langsung dan sukarela mereka mengikuti Dia, dan dengan sepenuh hati memberikan diri untuk melayani.

(4) Rute perjalanannya diarahkan mengikuti hukum-hukum Allah. Urusan hidup sehari-harinya adalah berjalan bersama Allah. Sasarannya adalah kesempurnaan dan itu adalah dambaannya dan apa yang dikejarnya. Ia tidak akan berhenti pada tahap anugerah manapun sebelum disempurnakan dalam kesucian. Dalam tahapan ini kebusukan orang munafik akan ditemukan. Orang munafik memanfaatkan kesucian hanya sebagai jembatan ke sorga dan mengupayakan seminimal mungkin apa yang dapat melayani tujuannya. Satu-satunya hasrat orang munafik hanyalah untuk masuk sorga. Sebaliknya petobat sejati mendambakan kesucian demi kesucian itu sendiri, dan bukan semata demi sorga belaka.

Joseph Alleine (1634-1668), A Sure Guide to Heaven, hlm. 46-48.

Selasa, 06 Agustus 2019

Ceritaku: Di Rumah Sakit


Hai, Semua. 

Sebelumnya aku menulis tentang keterlibatanku jadi panitia KTA. Bagian akhir ceritaku mengenai kakiku yang sakit. Tepatnya kaki kiri. Hingga KTA berakhir, kaki kiriku masih sakit. Aku berjalan sambil menahan sakit.

Ibadah penutupan KTA selesai minggu siang. Sehabis penutupan, peserta masih makan siang. Kemudian menuju parkiran. Ada yang bawa kendaraan sendiri, ada pula yang pulang naik bus. Ketika peserta sudah pulang, panitia masih tinggal hingga jam 4 sore untuk membereskan perlengkapan dan menyelesaikan urusan dengan pihak kinasih. Dan masih sempat berfoto-ria di ruang makan dan lapangan parkir.

Saat itu aku sudah sulit berjalan hingga aku tidak terlalu banyak mengerjakan persiapan pulang. Termasuk mengangkat-angkat barang. Panitia akhirnya pulang. Aku gabung di mobil Pangeran. Kami menuju kantor Perkantas di Pintu Air untuk mengembalikan semua perlengkapan. Artinya, pekerjaan masih belum selesai. Lumayan banyak perlengkapan yang dibawa. Saat itu aku hanya membawa barang yang ringan saja.

Hari sudah malam, jam 8 malam, aku menumpang di mobil Pangeran untuk kembali ke Serpong. Jalanan lancar hingga waktu tempuh tidak lama. Selama di jalan kami tidak banyak berbicara. Mungkin karena sudah lelah. Pangeran mengantarku sampai depan gang tempat tinggalku, Gang Jati, Jelupang.

Aku masih harus berjalan kaki ke dalam sekitar 200 meter untuk menuju kontrakanku. Kakiku masih sakit. Sesampainya di kamarku, aku mandi dan mengeluarkan pakaian kotor lalu memasukkannya ke tempat biasa. Besok pagi aku harus berangkat kerja. Jadi aku meyiapkan pakaian yang akan kupakai besok.

Keesokan hari. Senin pagi. Aku berangkat kerja. Itu hari pertamaku bekerja di Sekolah Athalia. Aku cukup berjalan kaki menuju sekolah karena tidak terlalu jauh dari kontrakan (sekitar 300 meter). Kaki kiriku masih sakit, namun masih bisa berjalan dengan bertumpu pada kaki kanan. Aku langsung menuju aula gedung F seperti yang dijelaskan sebelumnya lewat email. Aula berada di lantai 4. Itu membuatku agak kesulitan.

Di aula aku bertemu rekan guru baru lain, baik guru SMA sepertiku maupun guru dari unit lain. Kami langsung akrab karena sesama guru baru. Guru-guru lama juga ramah. Mereka menyambut kami seperti sudah lama kenal. Sehingga kami merasa diterima sebagai anggota keluarga Athalia. Sambutan yang ramah dan hangat.

Pertemuan hari itu dibuka dengan ibadah, dengan pujian dan renungan Firman. Lalu disusul perkenalan guru baru setiap unit dan kata pengarahan dari para pimpinan. Kemudian pertemuan per unit masing-masing. Itulah hari pertama.



Hari kedua hingga seminggu berikutnya kegiatannya seputar seminar dan pelatihan secara gabungan maupun kegiatan di unit masing-masing. Acara ini semacam pembekalan dan sosialisasi. Serta hari jumat medical check up untuk guru lama. Aku mengikuti acara tanpa absen. Kondisi kakiku makin parah karena naik-turun tangga.

Masuk minggu kedua. Di sini guru-guru sudah berada di unit masing-masing. Dan seperti sekolah pada umumnya, ini saatnya membuat perangkat pembelajaran. Pekerjaan rutin guru sebelum tahun pelajaran baru dimulai. Kami dibagi ke dalam kelompok sesuai rumpun pelajaran. Aku berada di rumpun matematika bersama bu Galih, bu Feli, dan bu Jantini alias bu Nana.

Sampai di sini kakiku makin parah. Aku sudah ke dokter dan juga sudah ke tukang urut, namun tidak ada perubahan. Malah kaki kananku juga kena imbas. Ikut sakit. Hingga tanggal 4 Juli sore, sewaktu pulang sekolah, aku sudah sangat sulit jalan. Aku pulang naik grab. Malamnya aku ke tukang urut lagi ke Cibinong. Baru pulang pagi. Pulang-pergi naik grab.

Tanggal 5 Juli aku izin tidak masuk karena aku tidak bisa berjalan lagi. Di kontrakan aku hanya bisa merangkak. Seharian aku hanya tiduran dan kesulitan bergerak. Badanku juga kesemutan hingga tangan dan kakiku menjadi kejang dan kaku. Makin waktu berjalan, kondisiku makin parah. Aku sulit jalan dan tanganku sulit memegang benda. Aku terpaksa hubungi rekan-rekan untuk bantuan dengan susah payah. Malam itu sebenarnya Pangeran sudah tiba di kontrakanku, tapi dia tidak tahu di mana kamarku. Dia pulang. Sementara aku sudah tidur karena kelelahan.

Besok paginya, tanggal 6 Juli, aku kembali menelpon Pangeran untuk menolongku ke Puskesmas. Dia satu-satunya rekan yang dekat dan tahu arah tempatku. Dia datang jam 8.30. Karena aku tidak bisa jalan, dia mengusahakan dengan susah payah agar aku bisa dinaikkan ke atas motornya. Motor ditempatkan persis di depan pintu kosku. Pangeran mengangkat badanku dari belakang dan aku sekuat tenaga menaiki motor. Pangeran mengunci pintu dan kami pun berangkat ke Puskesmas Pondok Jagung, Serpong.

Kondisi yang kurasakan saat itu, sekujur tubuhku dari kaki hingga tangan bahkan wajahku kesemutan. Jari-jari tanganku kejang, gemetar dan sulit kugerakkan. Demikian juga dengan jari-jari kakiku. Aku pakai kursi roda dan menunggu, sedangkan Pangeran mengurus pendaftaran.

Dokter Puskesmas langsung merujuk ke spesialis saraf di RS Hermina Serpong. Pangeran kembali mengurus surat rujukan di bagian pendaftaran. Jam 11.30 kami berangkat ke RS Hermina. Aku naik grabcar. Ada seorang bapak membantu mengang
katku naik ke atas mobil (terima kasihku untuknya). Pangeran lebih dulu tiba di RS karena mengendarai motor. Sesampainya di sana kembali aku dinaikkan ke kursi roda dan menunggu pendaftaran selesai.

Hari sudah siang. Aku mendapat antrian nomor 30 dan dokter mulai praktek jam 2 siang. Artinya, kemungkinan aku mendapat giliran jam 4 atau lebih. Pangeran membeli makan siang. Dan kami makan siang di lobi rumah sakit. Saat itu kami juga menunggu kedatangan adik, Kornelius, seorang saudara/kerabat, untuk menggantikan Pangeran yang harus ke gereja karena ada pelayanan sore itu.

Namanya Kornelius, tapi dia dipanggil Si Ade (punya kembaran yang dipanggil Si Abang), pun tiba. Si Ade dan Pangeran kuminta untuk ke kontrakanku mengambil sedikit keperluan seperti jaket dan baju ganti. Karena waktu berangkat tadi pagi, aku tidak membawa apa-apa. Sementara aku menunggu antrian yang baru dipanggil jam 5 sore.

Kuceritakan riwayat sakitku yang dimulai dari kaki yang terasa seperti kram hingga rasa kesemutan dan jari yang gemetar dan kejang. Sang dokter pun menduga ini penyakit GBS. Saat itu aku belum tahu apa itu GBS. Dokter langsung menyarankan rawat inap agar bisa dikontrol secara intensif. Ia membuat catatan untuk rawat inap. Kembali aku menunggu pengurusan rawat inap. Tapi kali ini yang urus Si Ade. Itu pun masih menunggu hingga malam karena kamar penuh. Harus menunggu pasien yang akan keluar.

Akhirnya kami mendapat ruang  di lantai 3 kamar 304, hampir jam 10 malam. Ranjangnya persis dekat pintu. Infus sudah terpasang di tangan kiriku.

Hari itu aku tidak menyangka akan dirawat inap dan tinggal di RS selama seminggu ke depan. Sama halnya banyak rekan yang tidak percaya bahwa aku sakit dan dirawat inap. Karena sebelumnya aku terlihat sehat dan hanya kram di kaki saja yang bisa pulih dengan istirahat cukup.

Hari minggu, 7 Juli, aku masih juga belum bisa menggerakkan kaki. Sedangkan tanganku lemah. Untuk duduk saja aku harus dibantu. Apalagi berdiri, tidak bisa. Baru senin pagi aku mencoba untuk berdiri di pinggir ranjang. Dan berhasil. Aku akhirnya bisa berdiri meskipun harus berpegangan dan belum bisa jalan. Untuk ke toilet aku masih pakai kursi roda. Aku tidak menyukai kondisi ini dan harus segera sembuh, pikirku. Hal yang paling tidak enak adalah air minum terasa pahit di mulut.

Hari berganti. Sudah berapa banyak suntikan obat-obatan masuk ke tubuhku aku tidak ingat lagi. Tiap pagi, siang, dan malam secara teratur perawat menyuntikkan obat.

Selama seminggu itu bergantian teman dan sahabat datang menjenguk. Kehadiran mereka benar-benar menguatkanku. Terlebih ketika rekan-rekan guru datang. Mereka adalah keluarga baruku – yang kenal baru dua minggu. Entah bagaimana aku merasa sudah mengenal mereka lama. Terima kasih untuk doa dan dukungannya.

Hari jumat aku dinyatakan boleh pulang oleh dokter. Aku sudah bisa jalan meski belum terlalu kuat.  Paginya kukemasi barang, Si Ade mengurus surat keluar di kasir. Dan...kami pesan grabcar. Pulang. Jam 12 kami tiba di kontrakan.

Sesampainya di kontrakan, aku memesan makanan via grabfood. Sambil mengetik dan memilih menu tanganku kembali kebas. Lama-kelamaan makin kuat dan akhirnya kejang. Sampai-sampai aku meminta Si Ade yang memesan makanan. Makanan datang, aku sempat makan walau dengan kondisi tangan gemetaran. Hingga jam 2, tangan dan kakiku masih gemetaran, kesemutan, dan aku mulai berpikir untuk kembali ke RS.

Si Ade dan aku mulai panik. Kondisiku makin parah. Aku kembali kesakitan, kesemutan, gemetaran dan kejang. Kuminta Si Ade untuk memesan grabcar yang beberapa kali di-cancel – entah mengapa. Sambil juga menghubungi Bang Anton untuk meminjam mobil sekolah atau apalah. Entah mana mobil yang duluan datang, yang penting berangkat ke RS. Ternyata mobil sekolah yang duluan datang bersama Pak Edwin (rekan guru). Pak Edwin memapahku hingga ke mobil. Kami kembali ke RS pada sore hari itu juga.

Kemudian Bang Anton bersama Pak Reggy dan Pak Victor juga datang menyusul ke RS. Bang Anton itu kepala sekolahku, pak Reggy dan pak Victor adalah rekan guru. Aku panggil Bang Anton karena sudah kenal sebelumnya di pelayanan Perkantas (bukannya gak sopan sama kepsek hehehe). Malam harinya, Pak Tri (koord. SDM) juga datang bersama istri.

Aku dibawa ke IGD. Dan ternyata penanganannya sangat lambat. Aku ditempatkan di ruang tindakan dan beberapa jam menunggu tindakan dari dokter. Infus kembali dipasang dan beberapa suntikan obat diberikan. Kakiku kejang, tanganku mengepal rapat dan aku tidak bisa mengendalikannya. Sampai seorang dokter, kuduga dokter muda, memaksa membuka kepalan tanganku. Rasanya sangat sakit seperti seluruh lenganku dipelintir. Aku tidak tahu apakah tindakan itu sudah tepat atau benar.

Rasa kesemutan mulai berkurang, kakiku tidak kejang lagi, dan kepalan tanganku sudah bisa terbuka. Tetapi, rasanya telapak tanganku mati rasa. Tiap dikepal seperti lagi memegang gabus atau busa. Mungkin pengaruh obat pelemas otot. Singkatnya, tubuhku lemas seluruhnya. Herannya, dokter menyuruh pulang. Padahal dengan kondisiku yang seperti itu, butuh penanganan lebih lanjut. Rekan-rekan sudah mengusahakan untuk rawat inap, namun tetap disuruh pulang. Kami pulang dan tiba di kontrakanku sekitar pukul 10 malam.

Alhasil, besoknya kondisiku tidak membaik. Pihak sekolah mengirimkan makanan untuk pagi dan siang. Kornelius masih menemaniku. Mulai dari sabtu pagi hingga siang aku hanya bisa terbaring di kasur dan cuma berpindah tempat saat ke toilet. Aku memang sering buang air kecil karena banyak minum. Tidak ada perubahan kurasakan. Hingga kupikirkan untuk ke rumah sakit lagi, tapi RS yang berbeda. Ke RS Siloam Karawaci. Kembali kuhubungi Bang Anton untuk meminta bantuannya lagi. Dia datang bersama Pak Reggy dan Pak Victor lagi jam 5 sore.

Kami pun berangkat ke RS Siloam. Sesampainya di sana langsung dibawa ke ruang emergency gedung B. Dokter dan perawat langsung menyambut dan menanyakan kondisi. Kuceritakan bahwa aku baru saja keluar RS dengan diagnosis GBS. Ternyata RS Siloam tidak bisa menangani penyakit tersebut dan harus dirujuk ke RSU Kab. Tangerang. Karena jauh, teman-teman membawaku ke gedung A. Di sini lumayan mahal.

Karena aku bukan pasien rujukan, maka mesti bayar pribadi. Kalau tidak, ya, perlu urus rujukan dulu dari faskes tingkat I. Artinya, mesti ke puskesmas dulu. Itu perlu menunggu hari senin. Akhirnya, keluarga dihubungi dan kami bersedia dengan biaya pribadi. Saat di IGD, aku kaget beberapa rekan panitia KTA datang. Aku tidak sangka mereka datang jauh-jauh dari Jakarta (terima kasih, rekans).

Kuceritakan kondisiku yang lemah dan kesemutan serta rasa tertekan di dada yang sudah kualami sejak semiggu sebelumnya. Dokter dan perawat langsung bertindak karena penyakit GBS ternyata salah satu penyakit menakutkan. Mulai dari pemeriksaan fisik, darah, hingga rekam jantung. Hasilnya, kaliumku (elektrolit tubuhku) sangat rendah dan punya masalah di jantung. Rekam jantung sudah dilakukan dua kali untuk memastikan.

Dokter pun menyuruh membawaku ke ruang observasi untuk tindakan berikutnya. Terutama untuk mengoreksi kaliumku yang rendah. Di sana aku dipasangi alat yang tidak pernah kubayangkan akan dipasangkan di tubuhku. Alat asing yang tidak kuketahui dan tidak ingin tahu saat itu. Infus kembali masuk. Sekarang satu di lengan kiri, satu di lengan kanan. Hmmm.

Akhirnya, dokter Sp.JP yang menanganiku, menyuruh membawaku ke ICU tetapi di gedung B (karena di gedung A mahal ckckk). Kornelius, yang masih juga menemaniku bersama Bang Anton, mengurus kepindahan ruanganku. Sementara aku masih terbaring di tempat pesakitan. Kalau dilihat dari luar sih aku baik-baik saja. Namun, di dalamnya aku merasa kesemutan dan dadaku seperti ditekan beban berat. Aku masih sadar dan bisa bicara.

Di satu sisi aku tenang karena ternyata aku tidak memiliki penyakit GBS. Itu kata dokter spesialis saraf. GBS itu penyakit yang lumayan menakutkan karena berkaitan dengan saraf dan sistem imun tubuh. Di sisi lain, aku khawatir karena kondisi jantungku yang ternyata bermasalah. Jadi, ternyata diagnosis penyakitku dari dokter di RS ini adalah hipokalemi dan nstemi.

Aku akhirnya dirawat di ICU selama tiga hari. Mulai dari pegurusan administrasi hingga masuk kamar baru selesai sekitar jam 2 dini hari. Sekarang pengunjung atau keluarga tidak bebas masuk tanpa seizin perawat. Saat jam kunjungan pun hanya diperbolehkan satu pengunjung saja.

Hari selasa aku tidak menyangka mama datang. Mama tiba-tiba muncul di jam kunjungan. Aku senang, kaget, sedih. Aku tidak mau mama melihatku dalam kondisi seperti ini. Adikku yang bungsu juga datang. Hmm. Padahal aku baik-baik saja hehehe.

Malamnya dan malam berikutnya mereka menginap di kontrakan milik salah seorang alumni, Kak Melda - seniorku saat kuliah, tidak jauh dari RS Siloam. Tuhan sangat baik. Ia memakai Kak Melda untuk penginapan mama dan adikku tanpa mengeluarkan biaya. Aku tidak tahu berkat-berkat apa lagi yang kuterima meskipun aku sadar aku tidak layak mendapatkannya.

Di ICU aku melihat pasien yang sungguh menderita. Tubuh mereka terpasang peralatan medis untuk menopang kehidupan. Dan kuamati bahwa akulah pasien termuda di sana. Rata-rata pasien di ICU adalah orang tua paruh baya dan lanjut usia. Aku merasa kesepian selama berada di ICU. Selama di ICU tidak diperbolehkan membawa gadget atau smartpon.

Lupa entah hari apa, sore, akhirnya aku dipindahkan ke ruang rawat inap. Aku dipindahkan ke lantai 2 di bangsal 2G12. Aku merasakan kelegaan karena di sini lebih banyak orang. Baik pasien maupun pengunjung. Perawatan juga tidak jauh berbeda ketika di ICU. Perbedaannya hanyalah pada peralatan yang dipakai.

Aku diperbolehkan pulang pada hari Jumat, 19 Juli, pagi. Saat itu aku mengurus administrasi sendirian karena mama dan adikku belum datang. Mereka menginap di rumah saudara di Cibodas, Tangerang. Perawat menyerahkan semua rekam medis, rincian pembiayaan selama dirawat, obat-obatan, dan jadwal kontrol dokter. Ada tiga dokter yang menanganiku; spesialis jantung, penyakit dalam, dan saraf.

Sebenarnya aku masih melakukan kontrol rutin ke dokter. Kontrol pertama tanggal 22, 23, dan 24 Juli. Dari dokter saraf sih sudah selesai. Dari dokter penyakit dalam masih butuh observasi untuk mengatasi hipokalemi. Penyebabnya masih belum ditemukan. Dari dokter jantung menyarankan untuk katerisasi jantung. Suatu hal yang baru kudengar dan tampaknya mengerikan. Dia menyaranku mengurus BPJS karena biayanya mahal. Untuk urusan BPJS dan katerisasi akan kuceritakan di lain hari (kalau ada mood nulis ya...)
Kunjungan rekan-rekan guru. Terima kasih perhatiannya, Bu Bellina hehehe

Ki-Ka: Bu Lidia, Pak Bambang, Kak Diana (blkg), Bu Intan, Bu Bellina, Bu Atik, Bu Jantini, Bu Marta, aku, Kornelius.

Mama dan anaknya :)

Mama, aku, dan Pak Pramono

 
Ucapan terima kasih
Terima kasih kepada Kornelius yang telah menemani selama aku sakit. Dari hari pertama hingga aku masih kontrol atau rawat jalan. Aku tidak tahu bagaimana membalasnya, Kawan. Pangeran, yang malam hari datang mengunjungiku tapi aku tertidur. Kemudian besok paginya mengantarku ke puskesmas dan RS dengan susah payah. rekan-rekan guru, Jeki dengan membawa makanan spesial hehe, Lauren (kembaran Kornelius), Masda, Kak Lidia dan suami, Bang Anton atas segala bantuan dan perhatiannya, Yusak, Pak Tri dan istri. Terima kasih untuk doa dan kunjungannya selama berada di RS Hemina Serpong.

Pak Reggy, Pak Victor, Pak Edwin, supir sekolah (maaf aku lupa namanya), Bu Charlotte, Kak Luce dan Bang Hubert, rekan panitia KTA, Kak Fifi yang kehadirannya sangat menenangkanku, Kak Rosa yang ceria, Jundrei atas sharingnya dan juga sedang berjuang melawan kanker, Kesa Laia, Pak Pram yang mewakili rekan alumni magister pendidikan UKI angkatan 2014, suami dari/mewakili bu Join (rekan guru yang juga sedang dirawat di Siloam), Lena dan suami, dan Kak April (PKK-ku) yang melakukan panggilan video. Kepada Kak Melda atas kamar yang disediakan untuk mama dan adikku. Terima kasih untuk doa dan dukungannya selama aku dirawat di Siloam.

Terima kasih juga kepada seluruh teman dimana pun berada yang telah memberikan doa dan dukungan semangat melalui whatsap atau telepon. Terima kasih juga atas dukungan dana. Terima kasih juga kepada "seseorang" yang telah mengirim pesan dan tanpa menyadari bahwa pesannya sangat berarti bagiku (yang terakhir ini cuma khayalan belaka hahaha).

Kiranya Tuhan yang murah hati melimpahkan berkatnya kepada teman-teman semua. Bersambung... (klik di sini)

Sabtu, 03 Agustus 2019

Ceritaku: KTA XIV



Kali ini aku akan ceritakan tentang pengalamanku terlibat dalam kepanitian Kamp Tahunan Alumni alias KTA. Tahun ini merupakan KTA keempat belas yang diadakan oleh Perkantas Jakarta.
Staf Perkantas pertama kali men-sharingkan beban pelayanan ini pas akhir tahun 2018. Saat itu aku sedang pulang kampung. Respon pertamaku saat membaca ajakan jadi panitia via whatsapp adalah tidak percaya. Aku tidak pernah terlibat kepanitiaan apapun selama melayani di Perkantas. Lalu tiba-tiba diminta menjadi panitia di satu event. Hmm.


Saat itu, aku menggumulkannya dengan sungguh-sungguh karena aku juga sedang mencari pekerjaan baru. Maksudnya, jangan-jangan saat aku mendapat kerja baru, aku tidak bisa melanjutkan kepanitiaan nantinya. Namun singkat cerita, aku bersedia. Jadilah aku menjadi bagian kepanitiaan KTA XIV tahun 2019.

Aku ingat rapat perdana panitia saat itu tanggal 23 Februari 2019 tidak bisa kuhadiri karena sudah lebih dahulu mendaftarkan diri ikut seminar di tempat lain. Barulah di rapat kedua aku bisa ikut. Dan sejak itu, aku selalu hadir tiap rapat di hari Sabtu di Perkantas. 

Panitia pengarah menempatkanku di sie acara (sebagai anggota) bersama Agnes (koordinator), Reinhard (yang akhirnya penempatan di Manado), Ongki, Moti, dan Ika (yang hilang di tengah jalan). Kami awalnya berenam, di akhir tinggal empat orang. Namun, dalam anugerah Tuhan dan atas kerja sama panitia lain, semua bisa dikerjakan. 

Panita KTA XIV

Aku coba sebutkan nama-nama panitia lain. Mudah-mudahan masih ingat karena ini sudah bulan Agustus dan KTA sudah lama berakhir. Tim inti: Ona dan Alvi; sie dana: Eva dan Tria; sie peserta: kak Lidia, Hendra, Septri, Owin, Agus, Juliana; sie doa dan konsumsi: Mazda dan Leni; sie perlengkapan: Hendi, Edwin, Vaul. Staf pengarah ada Kak Luce dan Kak Lidia. Panitia juga dibantu oleh beberapa tim kerja yaitu Pangeran dkk.

Seperti biasa KTA diadakah di Kinasih Resort, Caringin, Bogor. Tahun ini pun demikian. Tema yang diangkat adalah Utus Aku dalam Misi-Mu (eksposisi Kitab Nehemia). Pembicara utama ada Pak Mangapul Sagala dan Pak Erick Sudharma. Pelaksanaannya dari tanggal 21 sampai 23 Juni 2019.

Pengalaman melayani sebagai panitia KTA merupakan salah satu anugerah yang kuterima tahun ini. Aku bertemu dengan rekan-rekan yang memiliki kelebihan dan kekurangan, unik, dan bekerja sama dengan mereka merupakan pengalaman yang berkesan. Pelan-pelan aku dibentuk dalam kepanitiaan ini. Dari seorang yang maunya kerja sendiri menjadi seorang yang bersedia bergantung pada orang lain. Dari seorang yang ingin segala sesuatu sempurna menjadi seorang yang mau menerima kekurangan yang ada. 

Dua minggu sebelum KTA, kami panitia mengadakan acara kebersamaan di Ciawi, Bogor, yaitu pada tanggal 31 Mei dan 1 Juni 2019. Sayangnya tidak semua bisa ikut. Di momen inilah kami makin saling mengenal. Acaranya sederhana saja serasa di rumah sendiri bersama keluarga. Ada yang main uno, ada yang main kartu, ada yang duduk-duduk santai sepertiku. Teman-teman yang cewek dibantu sebagian cowok membagi tugas untuk memasak. Seingatku aku tidak pernah ikut kerja di dapur hehehe. 

Camilan juga berlimpah yang disediakan oleh tim inti. Tapi yang berkesan buatku adalah pisang goreng. Aku makan banyak pisang goreng saat itu. Sambil ngobrol dengan teman-teman. Obrolan melantur kemana saja yang ujung-ujungnya bahas gebetan atau calon teman hidup. 

Saat itu kami juga belajar gerakan senam dan tarian untuk dibawakan saat KTA. Lewat video yang diputar di televisi kami meniru gerakan-gerakan yang ada. Buatku belajar dance seperti itu ternyata susah. Apalagi gerakannya bersamaan kaki dengan tangan. 

Pelaksanaan KTA dapat dikatakan berjalan lancar dalam angerah Tuhan. Meskipun banyak kekurangan di sana-sini, namun banyak peserta yang merasa terberkati oleh acara ini. Aku lupa jumlah peserta yang hadir. 

Tentu yang paling berkesan dari KTA adalah Firman Tuhan yang disampaikan oleh kedua pembicara. Di sana, seluruh alumni yang hadir belajar dari tokoh Nehemia. Seorang tokoh yang memiliki hati bagi bangsa Israel ketika mendengar tembok Yerusalem runtuh. Nehemia sangat peduli dengan bangsanya. Ia berdoa bagi bangsanya dan menyusun strategi untuk membangun tembok yang telah runtuh. 

Nehemia juga menghadapi tantangan yang berasal dari bangsa di sekitarnya yang merasa terancam jika Yerusalem dibangun kembali. Berbagai cara dilakukan untuk menjatuhkan dan menggagalkan rencana Nehemia. Namun, semua itu ia hadapi dengan mengandalkan Tuhan. Dan bersama seluruh rakyat, mereka berhasil membangun kembali tembok Yerusalem.

Acara di KTA tidak hanya ibadah atau kebaktian saja. Ada juga kapita selekta bidang tertentu. Tahun ini kapselnya bidang pendidikan, politik, abdi bangsa, gereja, dan bisnis. Di pagi hari ada senam dan jalan pagi bersama, di malam hari ada acara kebersamaan dengan kegiatan yang menarik dan bikin ketawa serta api unggun yang turut menghangatkan suasana. Terus ada acara khusus untuk alumni yang telah berkeluarga serta acara khusus bagi alumni single. Menarik deh. 

Peserta yang hadir di KTA ini beragam. Ada yang sudah menikah, ada yang membawa keluarganya, ada yang single. Terus beda generasi. Ada alumni yang sangat senior, senior, madya, dan yang baru lulus juga hadir. Seru. 

Kira-kira begitulah yang bisa kuceritakan sedikit tentang anugerah Tuhan bagiku melalui kepanitiaan KTA ini.

Oh ya, satu lagi, empat hari sebelum KTA, aku demam. Bahkan saat kami berangkat kamis malam, aku masih demam. Puji syukur aku masih bisa mengerjakan bagianku. Tidak hanya demam, saat KTA kaki kiriku juga sakit. Aku berjalan agak pincang saat itu. Tapi kakiku yang sakit ini punya cerita lanjutan lagi setelah KTA.

Terima kasih sudah membaca (kalau ada yang baca ya...)