Rabu, 26 Maret 2014

satu dunia

Beberapa hari yang lalu aku berjalan-jalan di daerah kumuh, di kolong jembatan, di pinggir rel kereta api, di kampung-kampung, dan di daerah terpencil. Aku bertanya-tanya bagaimana semua daerah ini bisa berada di planet bumi. Sebab, baru saja tadi aku melewati jalanan di kota besar, perumahan elit, gedung-gedung pencakar langit, dan perkantoran. Bagaimana kedua daerah ini, kumuh dan mewah, berada dalam planet yang sama?
Aku bukan waktu. Aku berjalan.

Senin, 24 Maret 2014

obrolan politik

kami benci politik
karena kami telah melihat di tv
betapa buruknya itu.

dan mereka lanjut main catur
sekali sekali menyeruput kopi pahit
sambil membahas calon wakil rakyat

dari partai anu.

kami tidak mengerti politik
itu kerjaan para lelaki
cukup kami di rumah saja.

dan sambil ngerumpi
para ibu mengeluh harga naik melulu
membahas harga cabai
katanya, ini salah pemerintah.

Pa, apa itu politik?
Nanti, kelak, kau akan tahu, Nak.

Si anak ngambek pertanyaannya tidak dijawab
lalu ia mengurung diri di kamar
sambil main hp dan sepasang headset di telinga.


Jumat, 21 Maret 2014

Pileg dan baca buku

Tahun 2014 ini merupakan tahun politik di Indonesia. Kampanye yang dilaksanakan oleh partai-partai politik mengisi berita-berita di televisi sampai aku bosan mendengarnya. Dari yang sudah kuikuti, tidak ada satu partai pun yang peduli akan 'minat baca masyarakat'. Maksudku di sini adalah yang peduli terhadap buku-buku bacaan yang harganya mahal-mahal. Pernah aku menanyakan beberapa murid sekolah tentang minat baca mereka. Sebenarnya mereka ingin membaca buku. Tapi cukup mahal untuk membeli satu buku saja. Perpustakaan di sekolah kadang tidak memadai. Bahkan, mungkin ada sekolah yang tidak memiliki perpustakaan. Hal ini diperparah dengan munculnya gadget yang telah mampu menarik perhatian generasi muda. Gadget semakin murah karena saling bersaing satu sama lain.

Menurutku, para calon wakil rakyat harusnya peduli akan hal ini. Memperjuangkan agar harga buku bisa murah. Sehingga masyarakat tertarik membeli dan membaca buku. Pikiranku lain berkata, jangan-jangan para calon wakil rakyat ini sebenarnya tidak gemar membaca. Kalau begini, ya, parah. Atau, jangan-jangan para wakil rakyat ini, kelak, takut kalau warganya lebih cerdas dari mereka, bisa menggoyang kursi yang mereka duduki. Mungkin saja begitu. Dan ini lebih parah.

Kamis, 20 Maret 2014

seperti iklan rumah

ada iklan rumah di tv
harganya mahal mahal
kupikir di sana aku tidak akan pernah tinggal.

mungkin mereka orang-orang kaya
ingin berkumpul mengasingkan diri
dunia sekitar sudah terlalu berisik bau miskin.
perumahan elit fasilitas lengkap
sekolah mall tempat wisata 
semua tersedia.
ah, mereka benar-benar ingin berkumpul
menjauhi dunia yang rusak.
membangun dunia sendiri layaknya di surga.
aku juga ingin tinggal di rumah
mengobrol dengan tetangga membahas kebutuhan setiap hari
bukannya memisahkan diri dari dunia
seperti iklan di tv.

Minggu, 16 Maret 2014

Anakku, jangan main hp terus

Anakku, jangan main hp terus
belajarlah dengan tekun
hidup ini tidak menentu
kau tidak akan tahu apakah kau
selalu berada di atas.

Anakku, jangan main hp melulu
jangan-jangan suatu hari nanti
kau tak tahu menggunakan tanganmu
selain memegang hp.
Andai kau mengerti hidup ini
tapi kau masih terlalu muda memahaminya
karena itu,
dengarlah nasihat ibumu
jangan main hp terus.

Nak?




Jumat, 14 Maret 2014

Cerita lain yang tidak penting

Seminggu ini telfon genggamku tidak berdering. Tidak ada panggilan dan pesan masuk. Tapi ini bukan masalah buatku. Aku pernah mendengar seseorang mengeluh karena tidak pernah mengangkat telfon atau menerima pesan pendek selama tiga hari. Katanya hidupnya sepi sekali. Untungnya dengan adanya smartfon, orang tersebut sekarang sering chatting dengan teman-temannya. Hampir setiap saat. Beda dengan aku yang tidak suka diganggu oleh dering telfon. Terlebih bila terlalu sering. Hingga suatu hari aku me-nonaktifkan aplikasi chatting di hpku. Banyak teman menanyakan 'kabarku'. Maksudnya mengapa chat dari mereka tidak pernah kubalas. Aku bilang saja aku tidak aktif lagi dan kalau mau menghubungi telfon saja atau kirim sms. Menurutku, memegang hp/smartfon terlalu sering justru membuat hidup tambah sepi.

Aku sering bepergian dengan bus. Sering kuamati orang-orang sibuk dengan smartfonnya. Pernah kulirik sebentar orang yang duduk di sisiku, karena agak penasaran, dia sibuk membalas chat. Dan dari pengamatan sekilasku, percakapan mereka tidak terlalu penting. Awalnya kupikir sedang membahas bisnis tertentu, ternyata cuma candaan-candaan konyol. Pantas saja dia, orang yang di sampingku tadi, senyum-senyum sendiri bahkan kadang tertawa kecil. Buatku ini hal konyol. Lebih baik memanfaatkan waktu perjalanan, apalagi kalau macet, dengan membaca. Entah koran, novel, atau buku lainnya. Ini lebih bermanfaat. Mungkin ini masih bisa dimaklumi, orang-orang yang kelelahan setelah seharian bekerja membutuhkan hiburan dengan berkomunikasi lewat smartfon saat dalam bus. Tapi yang kumaksud adalah kecanduan menggunakan smartfon.

Hal ini juga sudah memengaruhi anak sekolah yang mata dan jarinya tidak bisa lepas dari smartfon. Pada saat jam pelajaran sedang berlangsung, ada saja murid yang secara sembunyi memainkan hpnya. Pernah suatu kali aku menangkap seorang murid sedang bbm-an padahal pelajaran sedang berlangsung. Hpnya langsung kusita.

Mungkin aku orang yang terlalu serius atau kaku seperti kata teman-temanku. Namun, kupikir banyak hal penting dan bermanfaat yang bisa dilakukan ketimbang kerjaannya hanya tertunduk di depan smartfon. Atau, apakah orang-orang lebih senang melakukan hal-hal yang tidak penting?

Kamis, 13 Maret 2014

Cerita yang tidak penting (2)

Aku bertemu dengan seorang anak yang akan kuajari. Anak yang diasuh pembantu dan bukan ibunya. Ceritaku ini masih lanjutan cerita sebelumnya. Ya, cerita yang tidak penting. Kupikir anak yang kutemui berbadan sehat karena menurut pengamatanku, dengan rumah sebesar istana raja, tidak mungkin anak ini kelaparan. Bahkan terkena cahaya matahari yang membakar kulit pun tidak. Dugaanku salah. Si anak berbadan gemuk terlihat lemas dan berkacamata tebal. Dengan ramah kami berkenalan. Namanya Frans. Dia duduk di kelas 8 SMP. Pendiam. Kalau aku tidak menanyakan apa pun, dia akan diam. Mencoba mengenalnya lebih dekat, aku terus mengajaknya bicara. Tentunya dengan bertanya. Mulai dari hobinya, kegiatannya sehari-hari, keluarganya dan lain-lain. Ada rasa kesepian dari dalam dirinya. Dan yang membuatku kaget, dia merindukan ibunya yang sering tidak berada di rumah. Dia hanya berbicara dengan pengasuh, si Sus, itu pun kalau ada yang diperlukan. Frans tidak terlalu menyukai Sus, pengasuhnya, meskipun ia memanggilnya 'ibu'. Ia tahu Sus bukan ibunya. Sehari-hari Frans hanya sendirian di kamar, mengerjakan pe-er yang banyak, kadang-kadang ia berenang di kolam yang berada di halaman belakang, atau bermain game. Jadi boleh dibilang Frans kurang bergaul dengan dunia luar. Frans tidak mempunyai kelainan atau mengidap autis. Tidak. Menurutku, ia hanya terlalu sering menyendiri. Dunianya sudah dibatasi oleh kemegahan rumah. Padahal di luar, terbentang dunia yang lebih luas. Ketika kutanyakan pengasuhnya, ternyata orang tuanyalah yang memaksanya begitu. Dilarang melakukan berbagai hal, apalagi kalau ke luar rumah harus ditemani sopir dan pengasuh. 

Kalau melihat hal seperti ini, aku jadi bersyukur dengan masa kecilku. Walau tidak kaya, perhatian dari orang tua selalu kudapatkan. Aku bisa menikmati udara pedesaan yang sejuk, bekerja di sawah atau di ladang, pernah juga jualan sayur berkeliling komplek perumahan, punya teman bermain, hingga aku merantau sejak lulus SMA. Pernah hidup susah, namun kesusahan itu yang membentukku menjadi lebih mandiri. 

Kembali kepada Frans. Sejak kehadiranku, ia mulai banyak bicara. Malahan ia memintaku menemaninya bermain, sebab ia sudah bosan belajar dari buku. Kepalanya hampir pecah dengan tugas-tugas yang sangat banyak, katanya. Tapi yang membuatku tidak nyaman di rumah itu adalah pengasuhnya, yang kujuluki manusia ganda-tunggal. Aku sulit membedakan apakah dia laki-laki atau perempuan. Sehingga kadang kupanggil dia 'mbak' kadang 'mas', tapi dia bilang panggil aja "Sus'.hahaha.

Rabu, 12 Maret 2014

Cerita yang tidak penting

Aku pernah mengajar les privat di salah satu perumahan elit di ibukota. Pertama kali masuk ke sana, aku sedikit bingung. Rumahnya bagus-bagus tersembunyi di balik pagar beton yang besar-besar. Sepi. Kebingunganku adalah aku tidak tahu bagaimana bisa masuk ke dalam rumah yang kutuju. Dan ternyata, setelah memberanikan diri, maklum baru masuk wilayah orang kaya, aku melihat dari celah gerbang ada pos satpam di balik pagar beton itu. Segera kutekan bel yang memaksaku meninggikan kakiku karena belnya cukup tinggi menempel di sisi gerbang. Pak satpam pun bergerak mendekat. Menanyakan maksud kedatanganku. Tidak lama aku disuruh menunggu. Ada seseorang muncul dari dalam rumah. Dari gayanya berjalan kupikir perempuan, ternyata laki-laki. Ah, nada suaranya pun seperti perempuan. Dia mengenalkan diri sebagai pengasuh anak yang akan kuajari.

Aku pun masuk ke dalam rumah. Tidak melewati pintu depan, melainkan lewat samping, sebuah garasi mobil, dan ketika masuk, astaga garasinya indah sekali. Dua mobil mewah diam di sana. Belum lagi satu mobil di luar yang sempat kulihat pada waktu kupikir aku masuk lewat pintu depan. Si pengasuh anak, yang kupanggil 'Sus', dia yang bilang begitu, mengoceh panjang lebar saat kami masuk. Katanya tuan besar dan nyonya besar (pemilik rumah) sedang tidak di rumah. Juga si nyonya paling besar (sang nenek) sedang menjalankan bisnis di luar. "Lalu kenapa ada tiga mobil di rumah?" aku bertanya. "Itu mobil yang tidak dipakai hari ini," jawab si Sus. "Astaga, berarti ada enam mobil, mewah pula." "Tidak, sebenarnya ada tujuh mobil, satunya lagi dipakai bos besar (anak tertua)," lanjut si Sus. Aku terkaget-kaget.

Ceritaku di atas tidak terlalu penting. Itu hanya sepenggal cerita bagaimana aku mencari uang di awal masaku sebagai lulusan perguruan tinggi. Aku hanya membayangkan berapa jiwa yang tercukupi kebutuhannya seandainya mobil-mobil di rumah si kaya tadi dijual lalu uangnya dipakai untuk membantu orang miskin? Daripada didiamkan di garasi? Dan aku membayangkan jalanan di ibukota, Jakarta, bebas macet kalau saja orang-orang cukup rendah hati naik transportasi umum?

Ah, itulah hidup, kata orang dewasa.


Senin, 10 Maret 2014

Suatu hari nanti

Seperti apa cinta itu:
wajah anak-anak kelaparan,
tangan yang terulur memberi sementara menyimpan lebih banyak,
mulut yang berjanji,
wajah ramah hati monster menertawakan nasib buruk orang lain,
hujan setelah musim panas berkepanjangan?

Generasi muda harus diajari apa itu cinta
sebab cinta yang mereka dapatkan jangan-jangan bukan cinta sejati.
Acara-acara televisi, hiburan-hiburan musik, games, dan lain-lain
semua bukan cinta sejati.
Atau sengaja anak-anak ini diajari begitu
agar kesalahan orang tuanya tidak kelihatan?
Suatu hari mereka akan mengerti
dari warisan yang mereka terima
ketika mereka tidak punya pegangan
ketika mereka bertanya tapi tak ada jawaban
mereka pun sadar
mereka tidak bodoh tapi dibodohkan oleh bangsa sendiri.

Sabtu, 08 Maret 2014

ibu pertiwi

barangkali ibu pertiwi sedang menangis
anak-anaknya tak punya cita-cita
anak sulungnya berebut kekuasaan
anak bungsunya merengek botol susunya diambil.

ibu pertiwi sedang sibuk
merapikan dapur yang berantakan
yang kemalingan kemarin malam.
tikus berkeliaran
kucing diam saja. lelah.
penjaga rumah pura-pura siaga
seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

mari merenung
andai kau di posisi ibu pertiwi
apa yang akan kau lakukan?