Senin, 24 September 2018

Perbuatan yang Baik


Apa itu perbuatan baik? Ini bacaan saat teduhku pagi ini.
Katanya baik bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, baik sebagai keindahan atau kecantikan. Dan, baik sebagai nilai karakter yang terdapat dalam diri seseorang. itu sih pendapat pribadiku saja. Hehehe Terima, silakan; Gak terima, ya, ga masalah.

Ngomong saat teduh pagi ini yang berasal dari Injil Markus 14:1-9, di sana dijelaskan bahwa waktu kejadiannya berlangsung dua hari sebelum hari raya Paskah dan Roti Tidak Beragi. Yesus dan murid-murid-Nya berada di rumah Simon si kusta di Betania. Ketika mereka sedang makan datanglah seorang perempuan membawa buli-buli pualam berisi minyak narwastu. Konon, harga minyak narwastu itu harganya sangat mahal. Kira-kira harganya bisa mencapai setahun gaji, wow.

Si perempuan tersebut meminyaki kepala Yesus. Lalu muncullah tanggapan orang-orang di situ. Ada yang bilang itu pemborosan dengan alasan jika minyak mahal itu dijual maka uangnya bisa digunakan untuk membantu orang miskin. 

Tapi, tanggapan Yesus beda. Ia memberi penilaian bahwa apa yang dilakukan perempuan itu merupakan sebuah perbuatan yang baik kepada-Nya. Memang apa yang dipikirkan manusia sungguh jauh berbeda dengan apa yang dikehendaki Tuhan. Kejadian di atas di mata manusia merupakan pemborosan, sedangkan di mata Tuhan Yesus merupakan perbuatan baik.
Ini hasil refleksiku. Mengapa orang-orang di situ menganggap perbuatan si perempuan sebagai pemborosan? Kalau dilihat dari alasan mereka, itu masuk akal. Bukankah itu merupakan perbuatan yang baik? 

Memang itu masuk akal dan bisa dibilang sebagai perbuatan baik. Hanya saja ada yang kurang. Di situ ada Yesus, Tuhan dan Juruselamat. Kehadiran atau keberadaan Yesus di situ seharusnya menjadi keutamaan (prioritas) bagi mereka. Itu sebab Yesus berkata orang miskin selalu ada, artinya setiap waktu bisa membantu mereka. Sementara Yesus, tidak selalu ada (sebagai manusia) di situ bersama mereka. 

Ketika mereka melihat pemborosan, mereka melupakan yang utama yaitu Yesus Kristus. Sedangkan si perempuan melihat kesempatan untuk melayani Yesus dengan meminyaki kepala-Nya. Dari minyak nan mahal itu bisa terlihat bahwa ia memberikan yang terbaik. Tidak mungkin seseorang memberikan yang terbaik yang dimilikinya, jika itu tidak berasal dari hati yang mampu melihat yang utama. Perempuan itu melihat Yesus dan itulah yang menjadi prioritas baginya.

Kristus harus menjadi yang terutama dalam hidup orang percaya. Dosa terbesar dan tidak terlihat, dan jarang disadari, oleh orang percaya adalah tidak memprioritaskan Tuhan Yesus dalam hidup. Kemiskinan, isu-isu sosial, dll., membuat orang percaya seolah-olah telah melakukan perbuatan yang baik; dengan melibatkan diri dalam berbagai kegiatan sosial.
Kegiatan sosial, dan seluruh kegiatan sehari-hari orang percaya, harus didasari oleh keutamaan Kristus. Itulah inti dari perbuatan yang baik. Perbuatan yang baik hanya bisa dilakukan atau keluar dari hati yang mampu melihat yang utama. 

Apakah kita telah melakukan perbuatan yang baik hari ini?

Minggu, 02 September 2018

Era Digital dan Pendidikan Indonesia


Seorang teman membagikan link blognya di grup whatsapp. Bertepatan aku punya waktu luang untuk membaca, tanpa menunggu lama aku langsung mengunjungi blog yang dimaksud. Di sana penulis menceritakan kisahnya yaitu sebuah kegiatan yang baru saja ia ikuti dan terlibat di dalamnya sebagai salah seorang pemusik.
Saat sedang membaca tiba-tiba muncul keinginan untuk menulis. Sudah lama juga aku tidak menulis. Mungkin ‘dewa menulis’ belum mendatangiku. Ah, itu cuma alasan doang. Tapi aku mau menulis apa? Setelah membuang-buang waktu cukup lama untuk merenung, kuputuskan untuk menulis hal-hal yang kudapatkan dari seminar yang diadakan tanggal 25 Agustus yang lalu.
Areopagus Education Summit 2, itulah nama seminar dan workshop yang kuikuti kemarin. Dari namanya saja sudah ketahuan isi dari seminar ini. Ya, tentang pendidikan. Seminar ini merupakan yang kedua kalinya diadakan. Yang pertama diselenggarakan tahun lalu yang juga aku hadiri. Tahun ini panitia menyediakan tema E-Society: How It Transforms Education.
Ada enam topik dan satu workshop yang dibahas dalam seminar tahun ini. Enam topik tersebut dibawakan oleh para pemateri yang ahli di bidangnya. Topiknya antara lain: Education: A Strategic Investment (oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A., CBE.), Think Globally Act Locally in Education (oleh Dr. Masduki Ahmad, S.H., M.M.), Inspriation and Teaching Digitally (oleh Dr. Nuhattati Fuad, M.Pd.) Tantangan Kurikulum Pembelajaran di Indonesia dan Workshop: How to Think Critically (oleh Weilin Han, M.Sc.), dan terakhir, VUCA on Education dan The E-Society  Transforms Education (oleh Tumbur Tobing, S.E., MBE., MCS.).
Membaca topik yang disediakan oleh panitia inilah yang awalnya membuatku bergairah untuk mendaftarkan diri. Bagaimana tidak, topik-topik seperti ini langka sekali, bahkan tidak pernah disampaikan pada berbagai pelatihan yang selama ini aku ikuti di lingkungan dinas pendidikan di tempatku berada. Biasanya hanya membahas seputar implementasi kurikulum baru yang mana tidak membawa perubahan pada cara mengajar guru di kelas.
Seminar dibuka oleh dua siswi SMA. Mereka menceritakan aktivitas di sekolah, dampak penggunaan fasilitas yang serba digital, dan pandangan orang tua mereka terhadap gadget. Dua siswa ini sangat percaya diri. Mereka memiliki kemampuan public speaking yang sangat baik.
Di sekolah, mereka didorong untuk menggunakan gadget dengan baik dan benar. Artinya, tidak melulu untuk bermain (game) seperti kebanyakan anak zaman now. Gadget sudah digunakan sebagai sumber dan media belajar di kelas, seperti menggunakan laptop dan smartphone. Meskipun demikian, mereka dilatih untuk tidak bergantung sepenuhnya. Guru kadang-kadang memberikan penugasan yang membutuhkan interaksi antarsiswa, dilatih menggunakan alat belajar secara manual, serta dilatih untuk mengenal pandangan/pemikiran yang berkembang di masyarakat sekitar.
Penentangan justru didapat dari orang tua mereka yang sering menganggap mereka menggunakan gadget hanya untuk bermain. Sebenarnya mereka sedang mengerjakan tugas-tugas sekolah, begitu curhatan mereka. Memang saat ini banyak orang tua begitu mengkhawatirkan sang buah hati yang telah kecanduan menggunakan gadget.
Ada dua generasi yang bertemu di sini. Generasi pertama yaitu orang tua yang tidak biasa dengan gadget, dan sang anak yang sejak lahir telah mengenal gadget. Generasi sekarang memang bisa dikatakan sebagai native secara digital. Ketika dilahirkan dan mulai tumbuh besar, mereka sudah mengenal gadget. Jadi, sudah sewajarnya bila dunia pendidikan (sekolah) berubah mengikuti perkembangan zaman. Bagaimana dengan pendidikan Indonesia saat ini?
Selanjutnya klik di SINI