Senin, 21 Desember 2015

Makna Hari Ibu (bagiku)

"Seorang ibu bisa mengurus sepuluh anak, tapi sepuluh anak belum tentu bisa mengurus seorang ibu"
Kurasa tidak ada seorangpun yang mampu mendefinisikan kasih sayang seorang ibu kepada anak-anaknya. Bahkan kamus hanya memberi arti ibu sebagai wanita yang melahirkan anak atau wanita yang mempunyai suami. Ibu lebih dari itu.
Ibu sudah mengenal anaknya sejak dari kandungan, sudah mengenal anaknya sejak tangis yang pertama. Ajaibnya dari tempat jauh, tanpa melihat pun, seorang ibu bisa merasakan penderitaan anaknya seperti mampu meraba wajah sang anak dari dekat. Dan apabila si anak membandel, seorang ibu selalu memaafkan. Kalau diperpanjang lagi maka akan menghabiskan banyak kertas untuk menggambarkan kasih sayang seorang ibu.
Peran seorang ibu di bangsa ini begitu strategis. Karena semua berawal dari ibu. Anak-anak penerus bangsa mula-mula dilahirkan dari ibu, dirawat, dilindungi, dan besarkan oleh ibu. Nilai-nilai hidup juga mula-mula didapatkan dari seorang ibu. Dan umumnya, anak-anak yang sukses selalu lahir dari ibu yang sungguh-sungguh memperhatikan anaknya.
Sayangnya peran ibu sering diabaikan. Peran ibu digantikan oleh pembantu rumah tangga. Umumnya terjadi di kota-kota besar. Sementara di desa, tingkat pendidikan ibu kurang mendapatkan perhatian. Karenanya kita sering menemukan ibu-ibu yang tidak memiliki pengetahuan memadai akan pentingnya kesehatan atau pendidikan anak.

Di desa, misalnya, seorang anak lahir dari orang tua yang miskin dan kurang berpendidikan. Tentu pendidikan sang anak bukan yang utama melainkan pemenuhan kebutuhan keluarga. Seorang ibu (atau orang tua) melatih anaknya untuk bekerja membantu kondisi ekonomi keluarga. Hingga anak tersebut menikah agar terlepas dari tanggungan orang tua. Pasangan muda ini pun hidup seperti orang tuanya juga. Kisah kemiskinan pun terulang. Keluarga-keluarga seperti ini jangankan berdiskusi tentang politik, hukum, sosial ekonomi bangsa, memenuhi kebutuhan sehari-hari saja susah. Ujungnya adalah mereka jadi korban para birokrat kotor dalam melancarkan politik busuk mereka demi kekuasaan.
Di kota besar lain lagi. Sering ibu menitipkan anaknya kepada pembantu/asisten rumah tangga dengan alasan sibuk dengan pekerjaan. Sang anak mendapatkan “kasih sayang” dari pembantu. Kasih sayang yang seharusnya ia dapatkan dari ibu. Akibatnya, komunikasi anak dan orang tua berkurang. Si anak akhirnya mudah terjerumus ke dalam pergaulan bebas.
Di sisi lain, kekerasan terhadap ibu sering terjadi, angka kematian saat melahirkan masih tinggi, diskriminasi, pelecehan seksual, dll. Dan pemerintah terlihat belum sepenuhnya menangani hal ini. Sebaliknya, ada juga ibu yang tega menganiaya, membuang, bahkan membunuh anaknya. Kenyataan-kenyataan ini semakin menambah keprihatinan atas kurangnya perhatian pada peranan seorang ibu. Entah dari masyarakat atau dari pribadi ibu itu sendiri.
Kemajuan teknologi juga membuat ibu beralih perhatian. Terlalu sibuk dengan smartfon hingga anak terlantar. Di pusat-pusat perbelanjaan anak terjatuh dari lantai atas atau terjepit di eskalator saat  ibunya sedang asyik belanja. Saat mendengar berita-berita semacam ini hati langsung bertanya-tanya “kok tega” atau malah mengutuki. Pandangan kita terhadap ibu bisa jadi berubah melihat kenyataan-kenyataan tersebut. Apakah ibu masih menjadi seseorang yang begitu mulia atau sebaliknya? Itu kembali ke pengalaman masing-masing.
Kalau sampai ada seorang ibu menganiaya, menelantarkan, bahkan membunuh anaknya, menurutku, itu adalah sebuah tragedi kemanusiaan.
Sejarah ditetapkannya tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu sebenarnya sangat panjang. Untuk menghargai perjuangan kaum ibu di Indonesia, pada 22 Desember 1968, pemerintah memutuskan untuk merayakan Hari Ibu sebagai hari nasional. Penetapan tanggal tersebut didasarkan atas pelaksanaan Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung 1938 yang memutuskan tanggal 22 Desember setiap tahun dijadikan sebagai Hari Ibu. Pada 22 Desember 1928, sejarah mencatat, di Djojodipuran, Yogyakarta, diadakan Kongres Perempuan Indonesia (Kompas, 18/12/2015).
Sebenarnya menurut sejarahnya hari ibu berawal dari kesadaran politik kaum perempuan pada tahun 1900-an. Jadi, saat bicara hari ibu maka tidak lepas dari peran perempuan. Sekadar informasi perempuan pertama yang mendirikan sekolah perempuan adalah Dewi Sartika. Surat kabar perempuan pertama didirikan oleh Rohana Kudus dari Sumatera Barat pada tahun 1912. Dua tokoh tersebut mungkin tidak terlalu dikenal oleh masyarakat kini. Dan masih banyak lagi tokoh perempuan di awal-awal pemikiran modern Indonesia. Mungkin tokoh yang paling kita kenal adalah Kartini. Kartini dalam tulisannya menggunggat kesetaraan kaum perempuan. Kondisi saat itu, mungkin juga sampai saat ini, perempuan masih dinomorduakan dalam sistem sosial; berpolitik, pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya. Bahkan seorang penulis besar Indonesia menuliskan tentang Kartini begini: dia harus dikawinkan, dipadamkan di ranjang pengantin. Bahkan pemikiran Kartini benar-benar padam dengan wafatnya di usia muda.
Oleh karena itu, hari ibu janganlah dimengerti secara sempit. Hari ibu tidak sekadar diisi dengan ikut-ikutan mengatakan ‘selamat hari ibu’. Kalau baca sejarahnya, maka kita akan tahu bahwa semua berawal dari pergerakan perjuangan kaum perempuan dalam menuntut kesetaraan. Berapa banyak perempuan yang terlibat dalam politik? Berapa banyak perempuan yang masih mengalami pelecehan, diskriminasi, kekerasan? Bagaimana pandangan kita terhadap perempuan dalam adat-istiadat? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi refleksi bagi kita dalam merayakan Hari Ibu.
(Tulisan ini juga kuposting di note facebookku)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar