"Seorang ibu bisa mengurus sepuluh anak, tapi sepuluh anak belum tentu bisa mengurus seorang ibu"
Kurasa tidak ada seorangpun yang mampu
mendefinisikan kasih sayang seorang ibu kepada anak-anaknya. Bahkan kamus hanya
memberi arti ibu sebagai wanita yang melahirkan anak atau wanita yang mempunyai
suami. Ibu lebih dari itu.
Ibu sudah mengenal anaknya sejak dari
kandungan, sudah mengenal anaknya sejak tangis yang pertama. Ajaibnya dari
tempat jauh, tanpa melihat pun, seorang ibu bisa merasakan penderitaan anaknya
seperti mampu meraba wajah sang anak dari dekat. Dan apabila si anak membandel,
seorang ibu selalu memaafkan. Kalau diperpanjang lagi maka akan menghabiskan
banyak kertas untuk menggambarkan kasih sayang seorang ibu.
Peran seorang ibu di bangsa ini begitu
strategis. Karena semua berawal dari ibu. Anak-anak penerus bangsa mula-mula dilahirkan
dari ibu, dirawat, dilindungi, dan besarkan oleh ibu. Nilai-nilai hidup juga
mula-mula didapatkan dari seorang ibu. Dan umumnya, anak-anak yang sukses
selalu lahir dari ibu yang sungguh-sungguh memperhatikan anaknya.
Sayangnya peran ibu sering diabaikan.
Peran ibu digantikan oleh pembantu rumah tangga. Umumnya terjadi di kota-kota
besar. Sementara di desa, tingkat pendidikan ibu kurang mendapatkan perhatian.
Karenanya kita sering menemukan ibu-ibu yang tidak memiliki pengetahuan memadai
akan pentingnya kesehatan atau pendidikan anak.
Di desa, misalnya, seorang anak lahir
dari orang tua yang miskin dan kurang berpendidikan. Tentu pendidikan sang anak
bukan yang utama melainkan pemenuhan kebutuhan keluarga. Seorang ibu (atau
orang tua) melatih anaknya untuk bekerja membantu kondisi ekonomi keluarga.
Hingga anak tersebut menikah agar terlepas dari tanggungan orang tua. Pasangan
muda ini pun hidup seperti orang tuanya juga. Kisah kemiskinan pun terulang.
Keluarga-keluarga seperti ini jangankan berdiskusi tentang politik, hukum,
sosial ekonomi bangsa, memenuhi kebutuhan sehari-hari saja susah. Ujungnya
adalah mereka jadi korban para birokrat kotor dalam melancarkan politik busuk
mereka demi kekuasaan.
Di kota besar lain lagi. Sering ibu
menitipkan anaknya kepada pembantu/asisten rumah tangga dengan alasan sibuk
dengan pekerjaan. Sang anak mendapatkan “kasih sayang” dari pembantu. Kasih
sayang yang seharusnya ia dapatkan dari ibu. Akibatnya, komunikasi anak dan
orang tua berkurang. Si anak akhirnya mudah terjerumus ke dalam pergaulan
bebas.
Di sisi lain, kekerasan terhadap ibu
sering terjadi, angka kematian saat melahirkan masih tinggi, diskriminasi,
pelecehan seksual, dll. Dan pemerintah terlihat belum sepenuhnya menangani hal
ini. Sebaliknya, ada juga ibu yang tega menganiaya, membuang, bahkan membunuh
anaknya. Kenyataan-kenyataan ini semakin menambah keprihatinan atas kurangnya
perhatian pada peranan seorang ibu. Entah dari masyarakat atau dari pribadi ibu
itu sendiri.
Kemajuan teknologi juga membuat ibu
beralih perhatian. Terlalu sibuk dengan smartfon hingga anak terlantar. Di
pusat-pusat perbelanjaan anak terjatuh dari lantai atas atau terjepit di
eskalator saat ibunya sedang asyik
belanja. Saat mendengar berita-berita semacam ini hati langsung bertanya-tanya “kok tega” atau malah mengutuki.
Pandangan kita terhadap ibu bisa jadi berubah melihat kenyataan-kenyataan
tersebut. Apakah ibu masih menjadi seseorang yang begitu mulia atau sebaliknya?
Itu kembali ke pengalaman masing-masing.
Kalau sampai ada seorang ibu
menganiaya, menelantarkan, bahkan membunuh anaknya, menurutku, itu adalah
sebuah tragedi kemanusiaan.
Sejarah ditetapkannya tanggal 22
Desember sebagai Hari Ibu sebenarnya sangat panjang. Untuk menghargai
perjuangan kaum ibu di Indonesia, pada 22 Desember 1968, pemerintah memutuskan
untuk merayakan Hari Ibu sebagai hari nasional. Penetapan tanggal tersebut
didasarkan atas pelaksanaan Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung 1938
yang memutuskan tanggal 22 Desember setiap tahun dijadikan sebagai Hari Ibu.
Pada 22 Desember 1928, sejarah mencatat, di Djojodipuran, Yogyakarta, diadakan
Kongres Perempuan Indonesia (Kompas, 18/12/2015).
Sebenarnya menurut sejarahnya hari ibu
berawal dari kesadaran politik kaum perempuan pada tahun 1900-an. Jadi, saat
bicara hari ibu maka tidak lepas dari peran perempuan. Sekadar informasi
perempuan pertama yang mendirikan sekolah perempuan adalah Dewi Sartika. Surat
kabar perempuan pertama didirikan oleh Rohana Kudus dari Sumatera Barat pada
tahun 1912. Dua tokoh tersebut mungkin tidak terlalu dikenal oleh masyarakat
kini. Dan masih banyak lagi tokoh perempuan di awal-awal pemikiran modern
Indonesia. Mungkin tokoh yang paling kita kenal adalah Kartini. Kartini dalam
tulisannya menggunggat kesetaraan kaum perempuan. Kondisi saat itu, mungkin
juga sampai saat ini, perempuan masih dinomorduakan dalam sistem sosial;
berpolitik, pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya. Bahkan seorang penulis
besar Indonesia menuliskan tentang Kartini begini: dia harus dikawinkan,
dipadamkan di ranjang pengantin. Bahkan pemikiran Kartini benar-benar padam
dengan wafatnya di usia muda.
Oleh karena itu, hari ibu janganlah
dimengerti secara sempit. Hari ibu tidak sekadar diisi dengan ikut-ikutan
mengatakan ‘selamat hari ibu’. Kalau baca sejarahnya, maka kita akan tahu bahwa
semua berawal dari pergerakan perjuangan kaum perempuan dalam menuntut
kesetaraan. Berapa banyak perempuan yang terlibat dalam politik? Berapa banyak
perempuan yang masih mengalami pelecehan, diskriminasi, kekerasan? Bagaimana
pandangan kita terhadap perempuan dalam adat-istiadat? Pertanyaan-pertanyaan
tersebut menjadi refleksi bagi kita dalam merayakan Hari Ibu.
(Tulisan ini juga kuposting di note facebookku)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar