Sebuah catatan sederhana di hari pendidikan nasional 2017 tentang problematika pendidikan di Indonesia.
Saat memperingati hari pendidikan
nasional, apakah kita bertanya kira-kira seperti apa kondisi pendidikan kita
saat ini? Masih berlakunya dua sistem pendidikan yaitu kurikulum 2006 dan 2013
menandakan kondisi pendidikan kita masih kurang baik. Katanya kurikulum baru, kurikulum
nasional/kurnas, sudah diberlakukan di semua sekolah. Nyatanya, masih banyak
sekolah kebingungan tentang ini. Selain kurikulum, masih banyak lagi ditemukan
penyimpangan seperti penyalahgunaan dana BOS, penyimpangan pengurusan tunjungan
sertifikasi, dan termasuk berbagai tindakan kekerasan di sekolah. Belum lagi
masalah klasik yaitu birokrasi yang korup, guru yang malas baca buku, guru
jarang masuk, dll.
Masalah
Kurikulum
Pemerintah sebenarnya sudah mulai
membenahi masalah kurikulum. Hanya saja terlalu lamban. Mungkin karena
kurikulum masih di bawah kekuasaan tertentu. Kurikulum adalah jalan menggapai
tujuan pendidikan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Siapa yang
dicerdaskan? Tentunya peserta didik. Bagaimana mereka dicerdaskan? Di sinilah
masalahnya. Demi kepentingan tertentu (pemilik modal atau penguasa), maka
muatan kurikulum pun diatur untuk kepentingan tersebut. Seperti kita ketahui
bersama bangsa ini rasa-rasanya dikuasai oleh golongan tertentu saja. Asal ada
uang, maka berkuasa. Bagi mereka, jika generasi penerus bangsa menjadi cerdas
dan kritis, maka bisa menggoyahkan kekuasaan mereka kelak.
Seharusnya kurikulum mencerdaskan
kehidupan bangsa. Untuk mencerdaskan, maka harus disesuaikan dengan kebutuhan
peserta didik dan bukan kebutuhan golongan tertentu. Untuk memulainya,
pendidikan harus sesuai dengan budaya yang ada. Sebab manusia adalah makhluk
yang menyejarah. Proses pendidikan terjadi di dalam masyarakat yang berbudaya
dan oleh sebab itu pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan suatu masyarakat.
Sayangnya pendidikan kita telah lepas dari akar budaya kita sendiri. Dalam
budaya Indonesia, prinsip gotong royong merupakan nilai budaya utama. Prinsip
gotong royong tercermin dari perilaku saling membantu, kerja sama, komunikasi,
kerja keras untuk menciptakan kehidupan bersama yang lebih baik. Sementara,
prinsip persainganlah yang menjadi corak pendidikan Indonesia selama ini. Prinsip
persaingan berakar dari paham liberal atau paham sosial Darwinisme. Prinsip
persaingan menekankan “siapa yang kuat dialah pemenang”.
Prinsip persaingan telah melahirkan
ratusan bimbingan belajar (bimbel) yang sebenarnya tidak memberi kontribusi
mencerdaskan kehidupan bangsa. Bimbel justru melemahkan daya pikir anak. Korea
Selatan telah memahami ini jauh sebelumnya, sehingga di negara mereka bimbel
justru dilarang. Bimbel merupakan lembaga pendidikan bayangan. Prinsip
persaingan juga membuat kita melihat ke luar. Membandingkan diri dengan negara
maju yang jelas budayanya berbeda dengan kita. Sehingga kita tidak melihat masalah
konkrit yang terjadi di bangsa kita sendiri. Prinspip persaingan juga
melahirkan sekolah-sekolah “elit” yang hanya bisa dijangkau oleh orang kaya.
Oleh karena itu, kurikulum kita seharusnya tidak lagi mengutamakan
prinsip-prinsip persaingan. Konkritnya, sistem rangking sebaiknya dihapuskan,
perekrutan siswa/mahasiswa baru tidak lagi berdasarkan rangking karena sangat
rawan kecurangan nilai, penilaian autentik sebaiknya diterapkan namun
sebelumnya guru perlu dilatih akan hal ini karena selama ini guru pun “bermain-main”
dalam memberikan nilai.
Kekerasan
di Sekolah
Salah satu dilema yang dihadapi oleh
pendidik saat ini adalah pemberian hukuman kepada siswa yang biasanya dianggap
sebagai tindakan kekerasan. Memang pemberian hukuman dan tindakan kekerasan
memiliki perbedaan yang sangat tipis. Hukuman dan kekerasan sama-sama bersifat
menyakiti atau melukai baik fisik maupun psikis. Tujuannya adalah untuk menghentikan
perbuatan-perbuatan tertentu dari peserta didik. Lalu apa perbedaannya? Hukuman
lebih dilandasi komitmen moral, dilakukan dalam rangka mendidik,
mempertimbangkan perkembangan mental anak, dan diberikan secara konsisten.
Sedangkan kekerasan dilakukan bukan dalam rangka mendidik, disertai emosi dan
dampaknya membahayakan anak.
Beberapa tindakan guru yang
dikategorikan kekerasan seperti memukul, menejewer, membentak, siswa disuruh
lari keliling lapangan, mengusir siswa dari kelas, menjemur siswa, dan
sebagainya, hingga ada yang melakukan kekerasan seksual. Semua tindakan
tersebut dikategorikan kekerasan karena sering tindakan tersebut tidak mendidik
dan tidak konsisten terhadap kesalahan anak. Misalnya, ketika siswa tidak
mengerjakan latihan yang diperintahkan guru, maka siswa tersebut diusir dari
kelas. Tindakan guru biasanya tanpa evaluasi diri atau mencari tahu penyebab si
anak tidak mengerjakan tugasnya, atau guru tersebut merasa diremehkan, dlsb. Hukuman
tidak konsisten terhadap perilaku anak, itulah kekerasan.
Saya pikir,
mungkin perlu bagi seorng guru mempelajari dan mendalami tentang pemberian
hukuman yang tepat kepada peserta didik agar tidak terjerumus pada tindakan
kekerasan. Berbagai tinjauan bisa dilakukan seperti tinjauan dari sisi
sosiologi, psikologi, ataupun agama.
Guru
Malas Baca
Saya pikir inilah masalah utama
pendidikan Indonesia. Guru malas membaca. Ujung tombak pendidikan justru tidak
mencerminkan karakteristik seorang intelektual. Seorang intelektual selalu
membahas ide-ide (gagasan) besar. Orang
yang senang dan tidak jemu membahas gagasan. Orang yang selalu memikirkan
kaitan antara satu bidang kehidupan dengan bidang kehidupan lainnya. Orang yang
selalu membuka diri untuk bertukar pikiran. Orang yang mempertaruhkan
gagasannya. Orang yang memiliki komitmen moral yang kuat; memiliki keprihatinan
yang nyata terhadap nilai-nilai inti dari masyarakat. Bagaimana seorang guru
membahas gagasan dengan siswanya, jika tidak pernah membaca buku? Jika guru
hanya menguasai materi yang sama bertahun-tahun? Guru seperti apa yang akan
diteladani seorang murid?
Implikasi dari malas
membaca yang ditularkan guru kepada muridnya adalah kurangnya wawasan,
kurangnya kemampuan berpikir kritis, sehingga mudah disusupi oleh isu-isu yang
berpotensi memecah belah bangsa. Mungkin hal ini menjadi penyebab mudahnya generasi
penerus diprovokasi menggunakan isu-isu rasial. Ketidakmampuan memilah
(menganalisis) bacaan membuat seseorang mudah dipengaruhi oleh isu-isu negatif.
Dan justru ketidakmampuan tersebut diperoleh dari sekolah. Sebuah ironi
pendidikan.
Begitu banyak
problematika di dunia pendidikan kita. Dan dibutuhkan komitmen yang kuat dari berbagai
pihak – pemerintah, birokrat, masyarakat, keluarga, dan para pendidik – untuk membenahi
pendidikan kita. Langkah-langkah pemerintah perlu didukung dan diawasi,
meskipun saat ini belum ada gebrakan dari pemerintah. Mungkin yang paling utama
adalah memastikan sistem pendidikan nasional apa yang diterapkan di
sekolah-sekolah, sehingga tidak ada lagi dualisme kurikulum. Semoga menteri
pendidikan berani mengambil langkah.
Sumber bacaan:
Prof.
Dr. H.A.R. Tilaar, M.sc.Ed. Pengembangan Kreativitas dan Entrepreneurship dalam
Pendidikan Nasional.
Dr.
M. Djamal, M.Pd. Fenomena Kekerasan di Sekolah.
Dr. Daoed Yoesoef. 10
Wacana tentang Aneka Masalah Kehidupan bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar