Selasa, 02 Mei 2017

Problematika Pendidikan Indonesia



Sebuah catatan sederhana di hari pendidikan nasional 2017 tentang problematika pendidikan di Indonesia.
 
Saat memperingati hari pendidikan nasional, apakah kita bertanya kira-kira seperti apa kondisi pendidikan kita saat ini? Masih berlakunya dua sistem pendidikan yaitu kurikulum 2006 dan 2013 menandakan kondisi pendidikan kita masih kurang baik. Katanya kurikulum baru, kurikulum nasional/kurnas, sudah diberlakukan di semua sekolah. Nyatanya, masih banyak sekolah kebingungan tentang ini. Selain kurikulum, masih banyak lagi ditemukan penyimpangan seperti penyalahgunaan dana BOS, penyimpangan pengurusan tunjungan sertifikasi, dan termasuk berbagai tindakan kekerasan di sekolah. Belum lagi masalah klasik yaitu birokrasi yang korup, guru yang malas baca buku, guru jarang masuk, dll.

Masalah Kurikulum
Pemerintah sebenarnya sudah mulai membenahi masalah kurikulum. Hanya saja terlalu lamban. Mungkin karena kurikulum masih di bawah kekuasaan tertentu. Kurikulum adalah jalan menggapai tujuan pendidikan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Siapa yang dicerdaskan? Tentunya peserta didik. Bagaimana mereka dicerdaskan? Di sinilah masalahnya. Demi kepentingan tertentu (pemilik modal atau penguasa), maka muatan kurikulum pun diatur untuk kepentingan tersebut. Seperti kita ketahui bersama bangsa ini rasa-rasanya dikuasai oleh golongan tertentu saja. Asal ada uang, maka berkuasa. Bagi mereka, jika generasi penerus bangsa menjadi cerdas dan kritis, maka bisa menggoyahkan kekuasaan mereka kelak.

Seharusnya kurikulum mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mencerdaskan, maka harus disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik dan bukan kebutuhan golongan tertentu. Untuk memulainya, pendidikan harus sesuai dengan budaya yang ada. Sebab manusia adalah makhluk yang menyejarah. Proses pendidikan terjadi di dalam masyarakat yang berbudaya dan oleh sebab itu pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan suatu masyarakat. Sayangnya pendidikan kita telah lepas dari akar budaya kita sendiri. Dalam budaya Indonesia, prinsip gotong royong merupakan nilai budaya utama. Prinsip gotong royong tercermin dari perilaku saling membantu, kerja sama, komunikasi, kerja keras untuk menciptakan kehidupan bersama yang lebih baik. Sementara, prinsip persainganlah yang menjadi corak pendidikan Indonesia selama ini. Prinsip persaingan berakar dari paham liberal atau paham sosial Darwinisme. Prinsip persaingan menekankan “siapa yang kuat dialah pemenang”.

Prinsip persaingan telah melahirkan ratusan bimbingan belajar (bimbel) yang sebenarnya tidak memberi kontribusi mencerdaskan kehidupan bangsa. Bimbel justru melemahkan daya pikir anak. Korea Selatan telah memahami ini jauh sebelumnya, sehingga di negara mereka bimbel justru dilarang. Bimbel merupakan lembaga pendidikan bayangan. Prinsip persaingan juga membuat kita melihat ke luar. Membandingkan diri dengan negara maju yang jelas budayanya berbeda dengan kita. Sehingga kita tidak melihat masalah konkrit yang terjadi di bangsa kita sendiri. Prinspip persaingan juga melahirkan sekolah-sekolah “elit” yang hanya bisa dijangkau oleh orang kaya. Oleh karena itu, kurikulum kita seharusnya tidak lagi mengutamakan prinsip-prinsip persaingan. Konkritnya, sistem rangking sebaiknya dihapuskan, perekrutan siswa/mahasiswa baru tidak lagi berdasarkan rangking karena sangat rawan kecurangan nilai, penilaian autentik sebaiknya diterapkan namun sebelumnya guru perlu dilatih akan hal ini karena selama ini guru pun “bermain-main” dalam memberikan nilai.

Kekerasan di Sekolah
Salah satu dilema yang dihadapi oleh pendidik saat ini adalah pemberian hukuman kepada siswa yang biasanya dianggap sebagai tindakan kekerasan. Memang pemberian hukuman dan tindakan kekerasan memiliki perbedaan yang sangat tipis. Hukuman dan kekerasan sama-sama bersifat menyakiti atau melukai baik fisik maupun psikis. Tujuannya adalah untuk menghentikan perbuatan-perbuatan tertentu dari peserta didik. Lalu apa perbedaannya? Hukuman lebih dilandasi komitmen moral, dilakukan dalam rangka mendidik, mempertimbangkan perkembangan mental anak, dan diberikan secara konsisten. Sedangkan kekerasan dilakukan bukan dalam rangka mendidik, disertai emosi dan dampaknya membahayakan anak.

Beberapa tindakan guru yang dikategorikan kekerasan seperti memukul, menejewer, membentak, siswa disuruh lari keliling lapangan, mengusir siswa dari kelas, menjemur siswa, dan sebagainya, hingga ada yang melakukan kekerasan seksual. Semua tindakan tersebut dikategorikan kekerasan karena sering tindakan tersebut tidak mendidik dan tidak konsisten terhadap kesalahan anak. Misalnya, ketika siswa tidak mengerjakan latihan yang diperintahkan guru, maka siswa tersebut diusir dari kelas. Tindakan guru biasanya tanpa evaluasi diri atau mencari tahu penyebab si anak tidak mengerjakan tugasnya, atau guru tersebut merasa diremehkan, dlsb. Hukuman tidak konsisten terhadap perilaku anak, itulah kekerasan.
Saya pikir, mungkin perlu bagi seorng guru mempelajari dan mendalami tentang pemberian hukuman yang tepat kepada peserta didik agar tidak terjerumus pada tindakan kekerasan. Berbagai tinjauan bisa dilakukan seperti tinjauan dari sisi sosiologi, psikologi, ataupun agama.

Guru Malas Baca
Saya pikir inilah masalah utama pendidikan Indonesia. Guru malas membaca. Ujung tombak pendidikan justru tidak mencerminkan karakteristik seorang intelektual. Seorang intelektual selalu membahas ide-ide (gagasan) besar. Orang yang senang dan tidak jemu membahas gagasan. Orang yang selalu memikirkan kaitan antara satu bidang kehidupan dengan bidang kehidupan lainnya. Orang yang selalu membuka diri untuk bertukar pikiran. Orang yang mempertaruhkan gagasannya. Orang yang memiliki komitmen moral yang kuat; memiliki keprihatinan yang nyata terhadap nilai-nilai inti dari masyarakat. Bagaimana seorang guru membahas gagasan dengan siswanya, jika tidak pernah membaca buku? Jika guru hanya menguasai materi yang sama bertahun-tahun? Guru seperti apa yang akan diteladani seorang murid? 

Implikasi dari malas membaca yang ditularkan guru kepada muridnya adalah kurangnya wawasan, kurangnya kemampuan berpikir kritis, sehingga mudah disusupi oleh isu-isu yang berpotensi memecah belah bangsa. Mungkin hal ini menjadi penyebab mudahnya generasi penerus diprovokasi menggunakan isu-isu rasial. Ketidakmampuan memilah (menganalisis) bacaan membuat seseorang mudah dipengaruhi oleh isu-isu negatif. Dan justru ketidakmampuan tersebut diperoleh dari sekolah. Sebuah ironi pendidikan.

Begitu banyak problematika di dunia pendidikan kita. Dan dibutuhkan komitmen yang kuat dari berbagai pihak – pemerintah, birokrat, masyarakat, keluarga, dan para pendidik – untuk membenahi pendidikan kita. Langkah-langkah pemerintah perlu didukung dan diawasi, meskipun saat ini belum ada gebrakan dari pemerintah. Mungkin yang paling utama adalah memastikan sistem pendidikan nasional apa yang diterapkan di sekolah-sekolah, sehingga tidak ada lagi dualisme kurikulum. Semoga menteri pendidikan berani mengambil langkah.


Sumber bacaan:
Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.sc.Ed. Pengembangan Kreativitas dan Entrepreneurship dalam Pendidikan Nasional.
Dr. M. Djamal, M.Pd. Fenomena Kekerasan di Sekolah.
Dr. Daoed Yoesoef. 10 Wacana tentang Aneka Masalah Kehidupan bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar