Minggu, 10 September 2017

Guru Masa Lalu v.s. Guru Masa Kini




Guru Masa Lalu

Paradigma guru masa lalu: pada abad 20 (antara 1901 – 2000) adalah masa dimana ilmu pengetahuan diidentifikasi sebagai sebuah "konsep" pengetahuan. Pengetahuan tersebut ditransfer kepada siswa. Guru adalah penguasa kelas, sumber ilmu pengetahuan, dan dianggap “serba-tahu”. Ceramah adalah metode mengajar favorit. Sebaliknya, siswa adalah peserta yang kepalanya siap diisi oleh pengetahuan baru. Siswa disebut pintar, jika siswa tersebut mampu memroses pengetahuan dalam memorinya dan mampu menjawab semua pertanyaan yang diajukan guru. Kemampuan awal yang dituntut adalah menghafal/mengingat. Pada abad ini pendidikan direduksi hanya sekadar mengingat, memahami, dan mengamalkan. Dengan kata lain, kemampuan berpikirnya hanya pada level rendah. Atau disebut sebagai lower order thinking skills (LOTS). Apabila ada orang-orang tertentu yang mampu menemukan hal baru, itu hanya sedikit dan biasanya dicap sebagai “pemberontak”di kelas.

Guru Masa Kini

Posisi guru saat ini yaitu abad 21 (antara 2001 – 2100). Menurut world forum economic, kemampuan pertama yang harus dimiliki abad ini adalah complex problem solving, disusul oleh critical thinking dan  creativity. Kemampuan ini hanya bisa dicapai jika (dan hanya jika) ada perubahan paradigma pendidikan dari LOTS ke HOTS (higher order thinking skills). Pada abad ini, proses pendidikan harus mencapai tingkat “menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta”. Tiga kata inilah (analisis-evaluasi-cipta) yang seharusnya dipraktikan di kelas-kelas masa kini – tanpa mengabaikan atau membuang LOTS tentunya.


Kolaborasi dan kompetisi

Kalau dulu kelas didesain agar murid di dalamnya saling berkompetisi, maka saat ini, selain kompetisi, kelas juga harus didesain dengan prinsip kolaborasi. Kelas yang didesain hanya dengan prinsip kompetisi akan menghasilkan lulusan yang mau menang sendiri karena semasa sekolah tidak pernah dilatih untuk bekerja sama dengan sesamanya. Mungkin inilah alasan mengapa saat ini banyak orang melanggar aturan, misalnya di jalan raya, oleh karena mereka mau menang sendiri. Menganggap diri nomor satu, yang lain nomor dua.

Sementara untuk memajukan peradaban bangsa, kita membutuhkan orang-orang yang bisa berkompetisi dan mampu berkolaborasi. Semangat kompetisi bertujuan untuk mengalahkan pesaing, sementara semangat kolaborasi bertujuan untuk memajukan kehidupan bersama yang lebih baik. Dan ini sejalan dengan semangat gotong royong yang merupakan keunikan bangsa Indonesia.
Bagaimana menerapkan ini di sekolah? Sulit rasanya jika tidak dimulai dari guru. Kebiasaan guru yang gemar “ceramah” di depan kelas, dan siswa pasif mendengarkan, sangat sulit diubah. Bahkan dengan pendekatan saintifik a la kurtilas pun tidak memberikan perubahan oleh karena guru tidak memahami perannya dengan benar. Biasanya ketika siswa tidak bisa menyelesaikan satu/beberapa soal, maka mereka akan bertanya ke guru privat (bimbel). Dengan kata lain, ujung-unjungnya, kembali lagi ke LOTS.

Guru harus move on. Guru harus mau berubah. Guru yang move on tidak membawa siswanya ke dunianya (dunia masa lalu), namun dia masuk ke dunia siswa dan mencoba meraba dan mempersiapkan masa depannya (Zaki Mubarak, 2017).
Guru masa kini harus mau membuka diri dalam menguasai keterampilan yang dibutuhkan oleh anak didiknya sesuai kondisi abad mereka hidup – baik saat ini maupun masa depan. Mau tidak mau: guru harus menjadi complex-problem-solver, critical thinker, dan orang yang kreatif terlebih dahulu; dan guru harus mampu mencapai level higher order thinking skills lebih dulu sebelum berdiri di depan kelas.

Hal ini sebenarnya telah didukung oleh atau sejalan dengan kurikulum 2013 yang didesain  sesuai tuntutan peradaban saat ini. Minimal ada 4 keterampilan yang harus dikuasai: berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan komunikatif. Pendekatan pembelajarannya adalah pendekatan inkuiri (siswa aktif mencari tahu) dan pendekatan ilmiah (mengamati, menanya, mencoba, menalar, mengkomunikasikan). Dan, paling tidak ada empat model pembelajaran, yaitu (1) Inquiry discovery learning, (2) problem based learning, (3) project based learning, (4) cooperative learning.
Sekarang, tinggal gurunya. Apakah guru mau move on? Apakah guru terbuka pada perubahan? Apakah guru mau belajar?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar