Suatu sore aku sedang membaca buku.
Sebenarnya sedang menikmati waktu luang di sore sabtu. Suara televisi terus
terdengar agar kamarku tidak sepi. Pintu kamar kubuka sedikit agar udara bisa
keluar masuk. Angin meniup pelan kain penutup jendela. Di luar terdengar
seperti biasa; deru kendaraan, suara-suara percakapan pejalan kaki, percakapan
tetangga sebelah yang sedang kumpul-kumpul, dan diselingi kicauan
burung-burung.
Ada banyak hal terlintas di
kepalaku. Terutama saat membaca buku. Pertama, tentang berita-berita kejahatan
yang terjadi di berbagai daerah. Apa lagi kalau bukan pembegalan. Aku pernah
mengobrol dengan seseorang tentang kejahatan ini. Muncul pertanyaan di kepalaku
atas kasus kejahatan yang sangat kejam ini: “apakah manusia semakin bejat?”
Lalu kami berdiskusi panjang-lebar, bahkan bisa dibilang tak tentu arah. Banyak
pandangan keluar dari percakapan tersebut. Kadang-kadang juga aneh.
Kedua, tentang korupsi. Bangsa ini
sedang dalam masalah besar. Pejabat negara, secara bersama-sama, melakukan
tindak kejahatan luar biasa yaitu korupsi. Memang masih ditemukan pejabat yang
bersih, namun jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Bayangkan saja jika korupsi
di satu daerah mencapai triliunan, bagaimana jika hal tersebut terjadi di hampir
semua daerah di Indonesia? Bukti hasil korupsi yang mencapai triliunan
menunjukkan bahwa sebenarnya Indonesia ini kaya. Namun, karena para pejabatnya
bejat, negara ini akan tetap menghadapi kemiskinan (secara materi).
Ketiga, tentang hukuman mati para
tersangka bandar/pengedar narkoba. Secara pribadi, aku tidak setuju dengan
hukuman mati. Alasanku adalah manusia tidak berhak menentukan hidup-mati
sesamanya, sekalipun kejahatannya besar. Secara moral, menurutku, hukuman mati
adalah tindakan hukum yang salah. Kecuali bila hukum kita tidak berdiri di atas
landasan moral. Lalu, mengapa pengedar narkoba kelas dunia bisa masuk negara
kita? Bukankan ini pertanyaan yang harus dijawab oleh pemerintah kita?
Sebenarnya masalah-masalah tersebut di atas tidak berhubungan langsung dengan
diriku. Aku bukan pakar hukum, bukan pakar narkoba, juga bukan kriminolog. Aku
hanya seorang guru matematika, bukan guru sosiologi atau antropologi. Namun,
dampak dari masalah-masalah tersebut sungguh terasa. Salah satunya adalah
tentang keamanan. Aku mulai merasa resah kalau pulang malam setelah kuliah;
jangan-jangan ada tindak kejahatan terhadap diriku. Barangkali ini juga dialami oleh (semua)
masyarakat lain. Aku adalah bagian dari masyarakat itu. Para pelaku kejahatan,
koruptor, dan bandar narkoba juga merupakan bagian dari masyarakat.
Pertanyaan yang muncul di kepalaku
adalah “ada apa dengan masyarakat kita?” Masyarakat seolah terbagi dalam dua
bagian; baik dan jahat. Dan ‘mendominasi’ dan ‘didominasi’. Kelompok masyarakat
yang satu mendominasi yang lain, atau sebaliknya. Parahnya adalah kelompok yang
jahatlah yang mendominasi. Contohnya, pelaku korupsi (yang jahat) sedang
mendominasi masyarakat lain dalam hal kekuasaan. Karena mereka ‘penguasa’,
mereka dengan bebas atau sembunyi-sembunyi melakukan kejahatan. Mereka punya
akses untuk melakukannya, sementara masyarakat lain tidak.
Ada apa dengan masyarakat kita?
Mengapa selera dan kebiasaannya semakin cenderung ke arah kejahatan? Ada
pendapat mengatakan bahwa selera dan kebiasaan individu/kelompok merupakan
suatu bentukan sosial. Kalau begitu apa yang membentuk hal tersebut (bentukan
sosial)?
Menurutku, fenomena ini (kejahatan,
korupsi, dll) terjadi disebabkan oleh krisis budaya. Kita, bangsa Indonesia,
terlena dengan kekayaan alam (laut, hutan, sawah, dll.) sehingga daya juang
hidupnya kurang karena segala sesuatu sudah tersedia di alam. Dengan kata lain,
dengan usaha yang sedikit, bisa mendapatkan makan-minum. Di tengah kenyamanan
ini, masyarakat kita mengalami demokrasi. Semua bebas berpendapat. Kalau dahulu
pemerintah otoriter, sekarang kedaulatan di tangan rakyat. Bangsa kita juga
menghadapi arus globalisasi dan kapitalisme. Batas-batas antar negara sudah
mulai (secara pelan) ‘hilang’. Pemilik modal berkuasa. Sementara di sisi lain,
bangsa kita, masyarakat pada umumnya, tidak siap menghadapi perubahan ini. Kita
terlihat kalah dalam persaingan dunia. Kelompok masyarakat yang ‘berkuasa’,
yang memiliki akses, dalam hal ini para pejabat, memanfaatkan kekuasaan mereka
untuk meraup harta sebanyak mungkin (memperkaya diri). Sementara kelompok
masyarakat awam berkutat dengan kesulitan-kesulitan hidup. Kesulitan ini
memaksa mereka untuk melakukan kejahatan. Memilih cara yang salah demi
kelangsungan hidup.
Pada kesempatan lain, ada tawaran
untuk ‘bebas’ dari rasa frustasi karena tantangan hidup yang berat yaitu
obat-obat terlarang (narkoba) yang terkesan memberi ‘kenikmatan’. Untuk sesaat
mungkin nikmatnya terasa. Namun, jangka panjangnya bisa membunuh generasi muda.
Sebagian kelompok masyarakat lagi
memilih cara ini karena lumayan menjanjikan. Mudah, cepat kaya, meskipun resiko
besar. Pemerintah yang sibuk dengan dirinya sendiri menyebabkan para bandar narkoba
dengan mudah berkeliaran karena pengawasan kurang.
Masyarakat kita terkotak-kotak.
Ibarat dalam satu rumah kontrakan, namun tinggal dalam kamar-kamar yang berbeda
dan tidak saling menyapa. Kalaupun ada sapaan, cenderung terkesan tidak akrab,
saling curiga, atau tidak peduli. Yang satu merasa puas dengan hidupnya, yang
lain terus bergelut dengan penderitaan hidup. Kita memang tinggal dalam satu
negara, tapi kita tidak sungguh-sungguh bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar