Minggu, 08 Maret 2015

Kejahatan Begal, Korupsi, dan Narkoba (Opini)

Suatu sore aku sedang membaca buku. Sebenarnya sedang menikmati waktu luang di sore sabtu. Suara televisi terus terdengar agar kamarku tidak sepi. Pintu kamar kubuka sedikit agar udara bisa keluar masuk. Angin meniup pelan kain penutup jendela. Di luar terdengar seperti biasa; deru kendaraan, suara-suara percakapan pejalan kaki, percakapan tetangga sebelah yang sedang kumpul-kumpul, dan diselingi kicauan burung-burung.
Ada banyak hal terlintas di kepalaku. Terutama saat membaca buku. Pertama, tentang berita-berita kejahatan yang terjadi di berbagai daerah. Apa lagi kalau bukan pembegalan. Aku pernah mengobrol dengan seseorang tentang kejahatan ini. Muncul pertanyaan di kepalaku atas kasus kejahatan yang sangat kejam ini: “apakah manusia semakin bejat?” Lalu kami berdiskusi panjang-lebar, bahkan bisa dibilang tak tentu arah. Banyak pandangan keluar dari percakapan tersebut. Kadang-kadang juga aneh.
Kedua, tentang korupsi. Bangsa ini sedang dalam masalah besar. Pejabat negara, secara bersama-sama, melakukan tindak kejahatan luar biasa yaitu korupsi. Memang masih ditemukan pejabat yang bersih, namun jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Bayangkan saja jika korupsi di satu daerah mencapai triliunan, bagaimana jika hal tersebut terjadi di hampir semua daerah di Indonesia? Bukti hasil korupsi yang mencapai triliunan menunjukkan bahwa sebenarnya Indonesia ini kaya. Namun, karena para pejabatnya bejat, negara ini akan tetap menghadapi kemiskinan (secara materi).

Ketiga, tentang hukuman mati para tersangka bandar/pengedar narkoba. Secara pribadi, aku tidak setuju dengan hukuman mati. Alasanku adalah manusia tidak berhak menentukan hidup-mati sesamanya, sekalipun kejahatannya besar. Secara moral, menurutku, hukuman mati adalah tindakan hukum yang salah. Kecuali bila hukum kita tidak berdiri di atas landasan moral. Lalu, mengapa pengedar narkoba kelas dunia bisa masuk negara kita? Bukankan ini pertanyaan yang harus dijawab oleh pemerintah kita?
Sebenarnya masalah-masalah tersebut  di atas tidak berhubungan langsung dengan diriku. Aku bukan pakar hukum, bukan pakar narkoba, juga bukan kriminolog. Aku hanya seorang guru matematika, bukan guru sosiologi atau antropologi. Namun, dampak dari masalah-masalah tersebut sungguh terasa. Salah satunya adalah tentang keamanan. Aku mulai merasa resah kalau pulang malam setelah kuliah; jangan-jangan ada tindak kejahatan terhadap diriku.  Barangkali ini juga dialami oleh (semua) masyarakat lain. Aku adalah bagian dari masyarakat itu. Para pelaku kejahatan, koruptor, dan bandar narkoba juga merupakan bagian dari masyarakat.
Pertanyaan yang muncul di kepalaku adalah “ada apa dengan masyarakat kita?” Masyarakat seolah terbagi dalam dua bagian; baik dan jahat. Dan ‘mendominasi’ dan ‘didominasi’. Kelompok masyarakat yang satu mendominasi yang lain, atau sebaliknya. Parahnya adalah kelompok yang jahatlah yang mendominasi. Contohnya, pelaku korupsi (yang jahat) sedang mendominasi masyarakat lain dalam hal kekuasaan. Karena mereka ‘penguasa’, mereka dengan bebas atau sembunyi-sembunyi melakukan kejahatan. Mereka punya akses untuk melakukannya, sementara masyarakat lain tidak.
Ada apa dengan masyarakat kita? Mengapa selera dan kebiasaannya semakin cenderung ke arah kejahatan? Ada pendapat mengatakan bahwa selera dan kebiasaan individu/kelompok merupakan suatu bentukan sosial. Kalau begitu apa yang membentuk hal tersebut (bentukan sosial)?
Menurutku, fenomena ini (kejahatan, korupsi, dll) terjadi disebabkan oleh krisis budaya. Kita, bangsa Indonesia, terlena dengan kekayaan alam (laut, hutan, sawah, dll.) sehingga daya juang hidupnya kurang karena segala sesuatu sudah tersedia di alam. Dengan kata lain, dengan usaha yang sedikit, bisa mendapatkan makan-minum. Di tengah kenyamanan ini, masyarakat kita mengalami demokrasi. Semua bebas berpendapat. Kalau dahulu pemerintah otoriter, sekarang kedaulatan di tangan rakyat. Bangsa kita juga menghadapi arus globalisasi dan kapitalisme. Batas-batas antar negara sudah mulai (secara pelan) ‘hilang’. Pemilik modal berkuasa. Sementara di sisi lain, bangsa kita, masyarakat pada umumnya, tidak siap menghadapi perubahan ini. Kita terlihat kalah dalam persaingan dunia. Kelompok masyarakat yang ‘berkuasa’, yang memiliki akses, dalam hal ini para pejabat, memanfaatkan kekuasaan mereka untuk meraup harta sebanyak mungkin (memperkaya diri). Sementara kelompok masyarakat awam berkutat dengan kesulitan-kesulitan hidup. Kesulitan ini memaksa mereka untuk melakukan kejahatan. Memilih cara yang salah demi kelangsungan hidup.
Pada kesempatan lain, ada tawaran untuk ‘bebas’ dari rasa frustasi karena tantangan hidup yang berat yaitu obat-obat terlarang (narkoba) yang terkesan memberi ‘kenikmatan’. Untuk sesaat mungkin nikmatnya terasa. Namun, jangka panjangnya bisa membunuh generasi muda.  Sebagian kelompok masyarakat lagi memilih cara ini karena lumayan menjanjikan. Mudah, cepat kaya, meskipun resiko besar. Pemerintah yang sibuk dengan dirinya sendiri menyebabkan para bandar narkoba dengan mudah berkeliaran karena pengawasan kurang.
Masyarakat kita terkotak-kotak. Ibarat dalam satu rumah kontrakan, namun tinggal dalam kamar-kamar yang berbeda dan tidak saling menyapa. Kalaupun ada sapaan, cenderung terkesan tidak akrab, saling curiga, atau tidak peduli. Yang satu merasa puas dengan hidupnya, yang lain terus bergelut dengan penderitaan hidup. Kita memang tinggal dalam satu negara, tapi kita tidak sungguh-sungguh bersama. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar