Kita
sering mendengar tindakan malpraktik dalam dunia medis yang mengakibatkan
seorang pasien tambah menderita bahkan meninggal dunia. Bukannya mendapat
pertolongan malah menambah penderitaan yang disebabkan oleh kesalahan seorang
tenaga medis atau dokter. Kesalahannya bisa saja karena salah mendiagnosis,
salah memberikan obat, salah penanganan, atau salah prosedur, dll.
Namun,
bagaimana dengan dunia pendidikan? Apakah di dunia pendidikan bisa terjadi
malpraktik sebagaimana di dunia medis? Dari sebuah buku berjudul “Pendidikan
untuk Transformasi Bangsa”, yang baru saya baca, ternyata malpraktik bisa
terjadi di dunia pendidikan. Mungkin kita sudah menyadari bahwa di dunia
pendidikan bisa terjadi kesalahan, namun belum memahami bahwa hal tersebut
adalah malpraktik.
Beberapa
tindakan malpraktik dalam dunia pendidikan menurut Hasan (dalam tim PGRI, 2014):
Pertama, pelaksanaan tugas mengajar
oleh seseorang guru tidak sesuai dengan kualifikasi latar belakang pendidikan
yang diprasyaratkan oleh peraturan tentang profesi guru. Dalam UURI No. 14
tahun 2005 (pasal 8) tertulis: Guru wajib memiliki kualifikasi akademik,
kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki
kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dan pasal 9: Kualifikasi
akademik sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi
program sarjana atau program diploma empat. Inilah yang seharusnya menjadi
landasan hukum bagi setiap penyelenggara pendidikan, termasuk sekolah swasta, dalam
merekrut dan penempatan tenaga pendidik di sekolah.
Kita
sering mendengar dari berita di tv bahwa masih banyak sekolah memiliki guru
yang tidak memenuhi kualifikasi seperti yang tertulis di UU. Beberapa sebab,
salah satunya distribusi guru yang tidak merata terutama ke daerah terpencil
sehingga guru yang tidak memenuhi kualifikasi pun terpaksa direkrut sebagai
tenaga pendidik, sementara guru yang memenuhi kualifikasi menumpuk di perkotaan.
Bisa juga karena, di beberapa sekolah, biasanya swasta, mempekerjakan guru yang
bukan berlatar belakang pendidikan, misalnya sarjana ekonomi mengajar pelajaran
ekonomi di SMA. Meskipun guru ekonomi tersebut memenuhi kualifikasi untuk bidang
ekonomi, namun guru tersebut tidak memiliki pengetahuan di bidang psikologi
anak, psikologi perkembangan, psikologi pendidikan, metode pembelajaran,
pengembangan silabus, penulisan rencana pelaksanaan pembelajaran, dll., yang
sangat dibutuhkan di sekolah. Bila hal ini terjadi, bagaimana guru tersebut
menghadapi siswa yang bermasalah dengan (misalnya) motivasi belajar?
Memang
bukan jaminan juga seorang guru berlatar belakang pendidikan langsung mampu
mengajar dengan baik. Terlebih jika kualitas lembaga pendidikan tenaga
kependidikan (LPTK) kurang begitu bagus. Untuk masalah ini, LPTK wajib membenahi diri, pemerintah perlu
mengevaluasi setiap LPTK yang ada dan memerperbaiki kualitasnya.
Kedua, malpraktik terjadi kerika seorang guru melaksanakan tugas
tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan atau keilmuan yang dimilikinya,
misalnya seorang guru bahasa Indonesia mengajar matematika atau pelajaran lain.
Ini sering terjadi di sekolah. Penyebabnya mungkin karena kurangnya tenaga
pendidik untuk jurusan tertentu sehingga diatasi dengan cara menugaskan guru
lain yang bukan bidangnya. Atau karena lulusan calon guru berlatar belakang
tertentu jarang, seperti guru dari lulusan pendidikan kimia atau fisika.
Guru
yang mengajar tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan atau keilmuannya
memang bisa melakukan transfer pengetahuan kepada murid. Namun, guru tersebut
bukanlah pendidik profesional karena melanggar UU tentang guru dan dosen. Apa jadinya
bila seorang guru melanggar aturan? Bagaimana seorang guru mengajari murid
tentang pentingnya menaati aturan sementara dirinya sendiri sedang melanggar
UU? Memang tidak sepenuhnya guru yang salah. Sering juga terjadi karena guru
yang bersangkutan ditugaskan/dipekerjakan oleh yayasan, bila ia mengajar di sekolah
swasta, dan mau atau tidak-mau harus menuruti “kehendak” yayasan. Dalam hal
ini, yayasan atau penyelenggara pendidikan yang perlu memahami pentingnya
profesionalitas guru.
Ketiga,
malpraktik yang dilakukan oleh seorang guru yang memang memiliki kewenangan
sebagai guru tetapi melakukan tindakan profesi yang salah misalnya seperti
melakukan bullying, memberikan
penjelasan yang menyesatkan, melakukan diskriminasi terhadap siswa karena latar
belakang (sosial, ekonomi, psikologi, agama, etnis, gender, dll), menilai
prestasi siswa secara salah dan mengambil keputusan/tindakan salah.
Dalam
UURI No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen pada pasal 20 (c), tertulis bahwa
dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban “bertindak objektif
dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku,
ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status
sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran. Kenyataan di lapangan, banyak
guru memberikan nilai secara tidak objektif. Misalnya, kalau nilai prestasi seorang
anak sering di bawah standar, maka dengan “rasa iba” sang guru memberikan nilai
sesuai standar atau karena pengaruh tekanan dari atasan agar sekolah tidak “malu”
atau tekanan dari orang tua murid yang menginginkan nilai anaknya bagus semua. Masih
banyak juga terdapat di sekolah guru-guru yang memarahi murid dengan kasar,
mengancam dengan cara mengurangi nilai, menghukum secara berlebihan, bahkan ada
yang sampai pelecehan seksual.
Membaca
penjelasan di atas rasanya menggambarkan wajah pendidikan kita saat ini. Pendidikan
kita diwarnai dengan tindakan malpraktik. Siapa lagi korbannya, kalau bukan
generasi muda bangsa. Pemerintah, penyelenggara pendidikan, dan setiap elemen masyarakat wajib bertanggung
jawab atas tindakan malpraktik ini. Tindakan yang salah ini harus segera
diatasi. Manajemen pendidikan harus dibenahi. Landasan hukum, landasan
psikologi, landasan filsafat, dan landasan lain dalam pendidikan harus
diperjelas dan ditegaskan kembali. Dan masih banyak lagi yang harus dilakukan
demi tercapainya tujuan pendidikan nasional. (Sumber bacaan: Tim PGRI. 2014. Pendidikan Untuk Transformasi Bangsa. Kompas Penerbit Buku: Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar