Sabtu, 28 Maret 2015

Malpraktik dalam Dunia Pendidikan

Kita sering mendengar tindakan malpraktik dalam dunia medis yang mengakibatkan seorang pasien tambah menderita bahkan meninggal dunia. Bukannya mendapat pertolongan malah menambah penderitaan yang disebabkan oleh kesalahan seorang tenaga medis atau dokter. Kesalahannya bisa saja karena salah mendiagnosis, salah memberikan obat, salah penanganan, atau salah prosedur, dll.
Namun, bagaimana dengan dunia pendidikan? Apakah di dunia pendidikan bisa terjadi malpraktik sebagaimana di dunia medis? Dari sebuah buku berjudul “Pendidikan untuk Transformasi Bangsa”, yang baru saya baca, ternyata malpraktik bisa terjadi di dunia pendidikan. Mungkin kita sudah menyadari bahwa di dunia pendidikan bisa terjadi kesalahan, namun belum memahami bahwa hal tersebut adalah malpraktik.
Beberapa tindakan malpraktik dalam dunia pendidikan menurut Hasan (dalam tim PGRI, 2014): Pertama, pelaksanaan tugas mengajar oleh seseorang guru tidak sesuai dengan kualifikasi latar belakang pendidikan yang diprasyaratkan oleh peraturan tentang profesi guru. Dalam UURI No. 14 tahun 2005 (pasal 8) tertulis: Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dan pasal 9: Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat. Inilah yang seharusnya menjadi landasan hukum bagi setiap penyelenggara pendidikan, termasuk sekolah swasta, dalam merekrut dan penempatan tenaga pendidik di sekolah.
Kita sering mendengar dari berita di tv bahwa masih banyak sekolah memiliki guru yang tidak memenuhi kualifikasi seperti yang tertulis di UU. Beberapa sebab, salah satunya distribusi guru yang tidak merata terutama ke daerah terpencil sehingga guru yang tidak memenuhi kualifikasi pun terpaksa direkrut sebagai tenaga pendidik, sementara guru yang memenuhi kualifikasi menumpuk di perkotaan. Bisa juga karena, di beberapa sekolah, biasanya swasta, mempekerjakan guru yang bukan berlatar belakang pendidikan, misalnya sarjana ekonomi mengajar pelajaran ekonomi di SMA. Meskipun guru ekonomi tersebut memenuhi kualifikasi untuk bidang ekonomi, namun guru tersebut tidak memiliki pengetahuan di bidang psikologi anak, psikologi perkembangan, psikologi pendidikan, metode pembelajaran, pengembangan silabus, penulisan rencana pelaksanaan pembelajaran, dll., yang sangat dibutuhkan di sekolah. Bila hal ini terjadi, bagaimana guru tersebut menghadapi siswa yang bermasalah dengan (misalnya) motivasi belajar?
Memang bukan jaminan juga seorang guru berlatar belakang pendidikan langsung mampu mengajar dengan baik. Terlebih jika kualitas lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) kurang begitu bagus. Untuk masalah ini,  LPTK wajib membenahi diri, pemerintah perlu mengevaluasi setiap LPTK yang ada dan memerperbaiki kualitasnya.
Kedua, malpraktik terjadi kerika seorang guru melaksanakan tugas tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan atau keilmuan yang dimilikinya, misalnya seorang guru bahasa Indonesia mengajar matematika atau pelajaran lain. Ini sering terjadi di sekolah. Penyebabnya mungkin karena kurangnya tenaga pendidik untuk jurusan tertentu sehingga diatasi dengan cara menugaskan guru lain yang bukan bidangnya. Atau karena lulusan calon guru berlatar belakang tertentu jarang, seperti guru dari lulusan pendidikan kimia atau fisika.
Guru yang mengajar tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan atau keilmuannya memang bisa melakukan transfer pengetahuan kepada murid. Namun, guru tersebut bukanlah pendidik profesional karena melanggar UU tentang guru dan dosen. Apa jadinya bila seorang guru melanggar aturan? Bagaimana seorang guru mengajari murid tentang pentingnya menaati aturan sementara dirinya sendiri sedang melanggar UU? Memang tidak sepenuhnya guru yang salah. Sering juga terjadi karena guru yang bersangkutan ditugaskan/dipekerjakan oleh yayasan, bila ia mengajar di sekolah swasta, dan mau atau tidak-mau harus menuruti “kehendak” yayasan. Dalam hal ini, yayasan atau penyelenggara pendidikan yang perlu memahami pentingnya profesionalitas guru.
Ketiga, malpraktik yang dilakukan oleh seorang guru yang memang memiliki kewenangan sebagai guru tetapi melakukan tindakan profesi yang salah misalnya seperti melakukan bullying, memberikan penjelasan yang menyesatkan, melakukan diskriminasi terhadap siswa karena latar belakang (sosial, ekonomi, psikologi, agama, etnis, gender, dll), menilai prestasi siswa secara salah dan mengambil keputusan/tindakan salah.
Dalam UURI No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen pada pasal 20 (c), tertulis bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajibanbertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran. Kenyataan di lapangan, banyak guru memberikan nilai secara tidak objektif. Misalnya, kalau nilai prestasi seorang anak sering di bawah standar, maka dengan “rasa iba” sang guru memberikan nilai sesuai standar atau karena pengaruh tekanan dari atasan agar sekolah tidak “malu” atau tekanan dari orang tua murid yang menginginkan nilai anaknya bagus semua. Masih banyak juga terdapat di sekolah guru-guru yang memarahi murid dengan kasar, mengancam dengan cara mengurangi nilai, menghukum secara berlebihan, bahkan ada yang sampai pelecehan seksual.
Membaca penjelasan di atas rasanya menggambarkan wajah pendidikan kita saat ini. Pendidikan kita diwarnai dengan tindakan malpraktik. Siapa lagi korbannya, kalau bukan generasi muda bangsa. Pemerintah, penyelenggara pendidikan, dan setiap elemen masyarakat wajib bertanggung jawab atas tindakan malpraktik ini. Tindakan yang salah ini harus segera diatasi. Manajemen pendidikan harus dibenahi. Landasan hukum, landasan psikologi, landasan filsafat, dan landasan lain dalam pendidikan harus diperjelas dan ditegaskan kembali. Dan masih banyak lagi yang harus dilakukan demi tercapainya tujuan pendidikan nasional. (Sumber bacaan: Tim PGRI. 2014. Pendidikan Untuk Transformasi Bangsa. Kompas Penerbit Buku: Jakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar