Sabtu, 28 November 2015

Untuk Guru

"Karena waktu itu aku bertanya pada murid-murid yang akan meninggalkan bangku sekolah. Siapakah yang akan melanjutkan ke sekolah guru? Di antara murid yang lima puluh itu cuma tiga yang mengacungkan jarinya... Dan aku berkata kepada mereka. Kalau di antara lima puluh orang cuma tiga orang yang menjadi guru, siapakah yang akan mengajar anak-anakmu nanti? Sekiranya kelak engkau jadi jenderal, adakah akan senang hatimu kalau anakmu diajar oleh anak tukang sate? Tak ada yang menjawab di antara mereka. Kemudian kunasihati mereka yang ingin jadi guru. Kalau engkau tidak yakin betul, lepaskan cita-citamu untuk jadi guru itu, kataku. Seorang guru adalah kurban -kurban untuk selama-lamanya. Dan kewajibannya terlampau berat - membuka sumber kebajikan yang tersembunyi dalam tubuh anak-anak bangsa. Dan mereka yang tiga orang itu bilang dengan sungguh-sungguh, Kami bercita-cita menjadi guru walau bagaimanapun sukarnya. Dan aku mengangguk-anggukkan kepalaku kepada tiga orang itu."

Kisah di atas kuambil dari dialog seorang tokoh dalam cerita “Bukan Pasar Malam” karya Pramoedya Ananta Toer.
Tugas guru memang sangat berat. Pramoedya menuliskan di bagian lain di buku yang sama: “Yang berat ialah mengajar, menelan pahit getirnya kesalahan-kesalahan pendidikan orang tua si murid...”
Menurut Pramoedya, tugas guru sejatinya adalah membuka sumber kebajikan yang tersembunyi dalam diri anak bangsa. Ini bisa diartikan bahwa ada selubung yang harus dibuka dalam diri murid yaitu kebodohan dan pikiran sempit. Kebodohan dan pikiran sempit ini hanya bisa diberantas melalui pendidikan. Karena itu, pendidikan bersifat membebaskan, bukan mengekang. Murid harus melek huruf agar mereka memiliki pengetahuan yang luas. Pikiran mereka harus diasah agar mampu memecahkan berbagai-bagai permasalahan. Itulah yang harus dilakukan oleh guru. Tidak mudah, bukan?
Tantangan yang dihadapi guru juga lumayan berat. Salah satunya, orang tua murid sendiri. Pemahaman orang tua tentang pendidikan sudah bergeser. Dan ini harus diperbaiki. Pendidikan pertama dan terutama haruslah dari keluarga. Kenyataannya, malah diserahkan penuh kepada guru. Pendidikan juga dianggap sebagai cara untuk meningkatkan strata sosial, sehingga lebih mengutamakan perolehan nilai/ijazah ketimbang pembentukan karakter si anak.
Masalah lainnya, ya, lingkungan sekitar yang tidak mendukung. Lingkungan selalu menyajikan nilai-nilai yang bertentangan dengan pendidikan. Tidak ada keteladanan. Masalah yang tidak kalah penting adalah kebijakan pemerintah mengenai pendidikan yang masih belum memuaskan.
Oleh karena itu, menjadi guru adalah panggilan mulia. Sama seperti profesi-profesi lainnya.
(Tulisan ini saya ambil dari catatan di facebook sendiri dalam rangka peringatan Hari Guru).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar