Kamis, 19 Desember 2019

Reputasi


Dalam kehidupan sehari-hari kita sering berhadapan dengan pandangan orang lain terhadap diri kita. Ketika kita berhadapan dengan orang lain, kita akan menampilkan diri kita yang terbaik. Dan selalu waspada terhadap pendapat orang tentang kita. Karena itu, kita akan dengan cermat mendengarkan saat orang tersebut menyinggung mengenai diri kita.

Demikian pula sebaliknya. Kita berusaha memberikan penilaian yang baik kepada orang yang berdiri di hadapan kita. Kita menjaga agar orang di hadapan kita itu tetap merasa bahagia saat berbicara dengan kita.

Namun hubungan kita dengan orang lain tidak sesederhana cerita di atas. Kita setiap hari berhadapan dengan banyak orang lain. Pertama-tama keluarga sendiri, tetangga, sesama warga setempat, hingga hubungan yang lebih luas. Lebih lagi saat ini pertemanan tidak saja di dunia nyata, tetapi merambah juga di dunia maya. Malahan pertemanan di dunia maya bisa jauh lebih banyak dari kenyataan.

Dari hubungan kita dengan sesama yang sangat kompleks itu muncullah di dalam diri kita untuk selalu menampilkan diri yang terbaik kita. Keinginan menampilkan diri kita yang terbaik adalah dorongan yang sangat dalam. Kita selalu memperhatikan bagaimana orang menilai diri kita. Dari situlah muncul istilah reputasi.

Secara umum, orang mengartikan reputasi sebagai nama baik. Nama baik lebih berharga daripada emas dan permata, kata orang bijaksana. Itulah sebabnya orang senang memiliki nama baik.

Reputasi adalah sesuatu yang menyebabkan kita memperoleh nama baik. Dari pengertian ini bisa dilihat dua hal: pertama, kata ‘sesuatu’. Sesuatu di sini bisa bermakna gelar, jabatan, penilaian orang lain, termasuk juga penilaian diri sendiri. Gelar bisa berarti gelar kehormatan atau pun gelar akademik. Sedangkan jabatan berarti posisi kita di dalam suatu organisasi, komunitas, atau pemerintahan.

Kedua, reputasi adalah sesuatu yang kita usahakan. Ia tidak datang dengan sendirinya. Orang-orang hebat yang terkenal yang telah memiliki reputasi adalah orang-orang yang telah melalui perjuangan hidup yang tidak mudah. Mereka telah melewati setiap tantangan demi tantangan. Dengan kata lain, orang yang tidak berusaha bisa dikatakan tidak layak mendapatkan reputasi. Tidak ada yang patut disematkan kepada orang malas.

Hanya saja tragisnya, pada zaman ini ada banyak orang yang menempuh jalan pintas. Malas bekerja, malas berusaha, namun menginginkan reputasi. Itu sebabnya terdapat orang yang suka membeli ijazah, menyuap oknum agar mendapatkan jabatan, dan sebagainya.

Berikutnya, ada yang menarik soal gelar dan jabatan. Biasanya gelar merupakan sesuatu yang melekat (atribut) dalam diri kita yang tidak bisa dilepas dengan begitu saja, kecuali dalam kasus tertentu. Misalnya saja gelar kesarjanaan yang menempel pada nama kita. Sedangkan jabatan adalah sesuatu yang sifatnya sementara dan suatu saat bisa digantikan oleh orang lain.

Orang-orang yang terlalu membanggakan (menyombongkan) jabatannya mungkin tidak memahami bahwa posisinya tersebut bisa digantikan orang lain. Artinya, dia bukanlah satu-satunya yang layak pada posisi tersebut. Orang lain bisa saja menggantikannya atau merebutnya dengan cara-cara tertentu.

Gelar, meskipun tampaknya melekat pada kita, pun tidak perlu terlalu dibanggakan karena orang lain pun sudah banyak yang memiliki gelar, bahkan bisa jadi gelar mereka lebih tinggi dan lebih banyak dari kita. Intinya adalah baik gelar atau jabatan – meskipun membuat kita memperoleh nama baik – itu bukanlah hal yang patut terlalu dibanggakan apalagi disombongkan. Rahasianya adalah rendah hati.

Selanjutnya saya akan bahas adalah dua hal (sesuatu) yang menyebabkan kita memperoleh nama baik: penilaian orang lain (eksternal) dan penilaian diri sendiri (internal).

Penilaian atau pendapat orang lain. Pilihan mana yang lebih baik: menjadi orang yang paling cerdas, tetapi dianggap orang paling bodoh? Atau, menjadi orang yang paling bodoh, tetapi dianggap orang paling cerdas?

Apakah Anda memilih menjadi orang cerdas walaupun dianggap orang paling bodoh? Apakah Anda memilih sebaliknya? Begitulah cara kerja dari ‘pendapat orang lain’. Kita terjebak pada anggapan orang lain terhadap kita. Tanpa sadar kita sering memilih menjadi yang kedua; lebih senang dianggap sebagai orang paling cerdas padahal tidak, lebih senang dianggap orang kaya padahal miskin, lebih senang dianggap orang paling baik hati padahal perilaku sehari-hari menunjukkan sebaliknya.

Itu adalah jebakan reputasi. Kita cenderung merasa cemas mengenai bagaimana orang lain memandang kita. Timbullah yang dinamakan gengsi atau perasaan malu dalam pikiran kita.

Sebenarnya, pendapat orang lain tidak lebih penting daripada yang kita pikirkan. Sekalipun orang lain memuji kita setinggi langit (atau meyeret nama kita ke dalam lumpur), dampaknya terhadap hidup kita lebih kecil ketimbang gengsi atau perasaan malu yang kita pikirkan. Dengan kata lain, yang lebih membuat kita cemas dan merasa hancur adalah gengsi kita sendiri – bukan pendapat orang lain.

Cara mengatasi perasaan malu tersebut adalah, pertama, jangan terlalu berfokus pada reputasi. Reputasi akan datang dengan sendirinya bila kita fokus melakukan hal-hal yang bermanfaat dan terus berjuang meningkatkan kualitas diri kita.

Ciri-ciri orang yang fokus pada reputasi, sederhananya, dapat kita lihat dari media sosial. Perhatikan seberapa kita menginginkan orang lain memberi ‘like’ atau komentar pada postingan kita. Terlebih bila postingan kita mengenai kesuksesan/pencapaian kita. Jika kita terlalu fokus pada reputasi, maka kita akan kecewa bila hanya sedikit yang memberi respons.

Ciri lain yang mungkin dapat kita amati (ini bagi diri sendiri) adalah seberapa besar kita menginginkan ulasan/pendapat positif/pujian orang lain terhadap hasil kerja kita. Kita menjadikan pujian sebagai ukuran kesuksesan (ingat tentang gengsi di atas!).  Sedangkan sebaliknya, kita segera merasa stress dan resah ketika kritikan datang. Ini bisa mengganggu tidur hahaha. (orang yang tidak terlalu fokus pada reputasi bisa tertidur lelap di malam hari).

Cara kedua adalah pusatkan perhatian pada penilaian internal. Puaslah dengan diri sendiri. Hiduplah dengan cara yang membuat Anda kuat memandang diri Anda sendiri di depan cermin. Bukan sebaliknya: ketika Anda berdiri di depan cermin, Anda malah sibuk memikirkan bagaimana orang lain memandang Anda. Saya kira itu salah satu jenis kebodohan.

Cara ketiga adalah tetap rendah hati. Kerendahan hati adalah kualitas atau keadaan di mana Anda tidak berpikir bahwa Anda lebih baik daripada orang lain. Sedikit saja kita berpikir bahwa kita lebih baik dari orang lain, kita bukanlah orang yang rendah hati. Orang yang rendah hati tidak menyombongkan kesuksesannya, jabatannya, atau gelarnya. Justru sebaliknya, ia merahasiakannya. Dan menurut saya, ini adalah reputasi terbaik. 


Hasil gambar untuk orang berdasi
sumber: google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar