Dalam
kehidupan sehari-hari kita sering berhadapan dengan pandangan orang lain
terhadap diri kita. Ketika kita berhadapan dengan orang lain, kita akan
menampilkan diri kita yang terbaik. Dan selalu waspada terhadap pendapat orang
tentang kita. Karena itu, kita akan dengan cermat mendengarkan saat orang
tersebut menyinggung mengenai diri kita.
Demikian pula
sebaliknya. Kita berusaha memberikan penilaian yang baik kepada orang yang
berdiri di hadapan kita. Kita menjaga agar orang di hadapan kita itu tetap
merasa bahagia saat berbicara dengan kita.
Namun
hubungan kita dengan orang lain tidak sesederhana cerita di atas. Kita setiap
hari berhadapan dengan banyak orang lain. Pertama-tama keluarga sendiri,
tetangga, sesama warga setempat, hingga hubungan yang lebih luas. Lebih lagi
saat ini pertemanan tidak saja di dunia nyata, tetapi merambah juga di dunia
maya. Malahan pertemanan di dunia maya bisa jauh lebih banyak dari kenyataan.
Dari hubungan
kita dengan sesama yang sangat kompleks itu muncullah di dalam diri kita untuk
selalu menampilkan diri yang terbaik kita. Keinginan menampilkan diri kita yang
terbaik adalah dorongan yang sangat dalam. Kita selalu memperhatikan bagaimana
orang menilai diri kita. Dari situlah muncul istilah reputasi.
Secara umum,
orang mengartikan reputasi sebagai nama baik. Nama baik lebih berharga daripada
emas dan permata, kata orang bijaksana. Itulah sebabnya orang senang memiliki
nama baik.
Reputasi
adalah sesuatu yang menyebabkan kita memperoleh nama baik. Dari pengertian ini
bisa dilihat dua hal: pertama, kata ‘sesuatu’. Sesuatu di sini bisa bermakna
gelar, jabatan, penilaian orang lain, termasuk juga penilaian diri sendiri.
Gelar bisa berarti gelar kehormatan atau pun gelar akademik. Sedangkan jabatan
berarti posisi kita di dalam suatu organisasi, komunitas, atau pemerintahan.
Kedua,
reputasi adalah sesuatu yang kita usahakan. Ia tidak datang dengan sendirinya.
Orang-orang hebat yang terkenal yang telah memiliki reputasi adalah orang-orang
yang telah melalui perjuangan hidup yang tidak mudah. Mereka telah melewati
setiap tantangan demi tantangan. Dengan kata lain, orang yang tidak berusaha bisa
dikatakan tidak layak mendapatkan reputasi. Tidak ada yang patut disematkan kepada
orang malas.
Hanya saja
tragisnya, pada zaman ini ada banyak orang yang menempuh jalan pintas. Malas
bekerja, malas berusaha, namun menginginkan reputasi. Itu sebabnya terdapat
orang yang suka membeli ijazah, menyuap oknum agar mendapatkan jabatan, dan
sebagainya.
Berikutnya, ada
yang menarik soal gelar dan jabatan. Biasanya gelar merupakan sesuatu yang
melekat (atribut) dalam diri kita yang tidak bisa dilepas dengan begitu saja,
kecuali dalam kasus tertentu. Misalnya saja gelar kesarjanaan yang menempel
pada nama kita. Sedangkan jabatan adalah sesuatu yang sifatnya sementara dan
suatu saat bisa digantikan oleh orang lain.
Orang-orang
yang terlalu membanggakan (menyombongkan) jabatannya mungkin tidak memahami
bahwa posisinya tersebut bisa digantikan orang lain. Artinya, dia bukanlah
satu-satunya yang layak pada posisi tersebut. Orang lain bisa saja
menggantikannya atau merebutnya dengan cara-cara tertentu.
Gelar,
meskipun tampaknya melekat pada kita, pun tidak perlu terlalu dibanggakan karena
orang lain pun sudah banyak yang memiliki gelar, bahkan bisa jadi gelar mereka
lebih tinggi dan lebih banyak dari kita. Intinya adalah baik gelar atau jabatan
– meskipun membuat kita memperoleh nama baik – itu bukanlah hal yang patut
terlalu dibanggakan apalagi disombongkan. Rahasianya adalah rendah hati.
Selanjutnya
saya akan bahas adalah dua hal (sesuatu) yang menyebabkan kita memperoleh nama
baik: penilaian orang lain (eksternal) dan penilaian diri sendiri (internal).
Penilaian atau
pendapat orang lain. Pilihan mana yang lebih baik: menjadi orang yang paling
cerdas, tetapi dianggap orang paling bodoh? Atau, menjadi orang yang paling
bodoh, tetapi dianggap orang paling cerdas?
Apakah Anda
memilih menjadi orang cerdas walaupun dianggap orang paling bodoh? Apakah Anda
memilih sebaliknya? Begitulah cara kerja dari ‘pendapat orang lain’. Kita terjebak
pada anggapan orang lain terhadap kita. Tanpa sadar kita sering memilih menjadi
yang kedua; lebih senang dianggap sebagai orang paling cerdas padahal tidak,
lebih senang dianggap orang kaya padahal miskin, lebih senang dianggap orang
paling baik hati padahal perilaku sehari-hari menunjukkan sebaliknya.
Itu adalah
jebakan reputasi. Kita cenderung merasa cemas mengenai bagaimana orang lain
memandang kita. Timbullah yang dinamakan gengsi atau perasaan malu dalam
pikiran kita.
Sebenarnya,
pendapat orang lain tidak lebih penting daripada yang kita pikirkan. Sekalipun orang
lain memuji kita setinggi langit (atau meyeret nama kita ke dalam lumpur),
dampaknya terhadap hidup kita lebih kecil ketimbang gengsi atau perasaan malu
yang kita pikirkan. Dengan kata lain, yang lebih membuat kita cemas dan merasa
hancur adalah gengsi kita sendiri – bukan pendapat orang lain.
Cara mengatasi
perasaan malu tersebut adalah, pertama, jangan terlalu berfokus pada reputasi. Reputasi
akan datang dengan sendirinya bila kita fokus melakukan hal-hal yang bermanfaat
dan terus berjuang meningkatkan kualitas diri kita.
Ciri-ciri
orang yang fokus pada reputasi, sederhananya, dapat kita lihat dari media
sosial. Perhatikan seberapa kita menginginkan orang lain memberi ‘like’ atau
komentar pada postingan kita. Terlebih bila postingan kita mengenai
kesuksesan/pencapaian kita. Jika kita terlalu fokus pada reputasi, maka kita
akan kecewa bila hanya sedikit yang memberi respons.
Ciri lain
yang mungkin dapat kita amati (ini bagi diri sendiri) adalah seberapa besar
kita menginginkan ulasan/pendapat positif/pujian orang lain terhadap hasil
kerja kita. Kita menjadikan pujian sebagai ukuran kesuksesan (ingat tentang
gengsi di atas!). Sedangkan sebaliknya,
kita segera merasa stress dan resah ketika kritikan datang. Ini bisa mengganggu
tidur hahaha. (orang yang tidak terlalu fokus pada reputasi bisa tertidur lelap
di malam hari).
Cara kedua
adalah pusatkan perhatian pada penilaian internal. Puaslah dengan diri sendiri.
Hiduplah dengan cara yang membuat Anda kuat memandang diri Anda sendiri di
depan cermin. Bukan sebaliknya: ketika Anda berdiri di depan cermin, Anda malah
sibuk memikirkan bagaimana orang lain memandang Anda. Saya kira itu salah satu
jenis kebodohan.
Cara ketiga
adalah tetap rendah hati. Kerendahan hati adalah kualitas atau keadaan di mana
Anda tidak berpikir bahwa Anda lebih baik daripada orang lain. Sedikit saja
kita berpikir bahwa kita lebih baik dari orang lain, kita bukanlah orang yang
rendah hati. Orang yang rendah hati tidak menyombongkan kesuksesannya,
jabatannya, atau gelarnya. Justru sebaliknya, ia merahasiakannya. Dan menurut
saya, ini adalah reputasi terbaik.
sumber: google |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar