Jumat, 03 April 2015

Pentingnya Budaya Literasi

Salah satu isu penting di negara kita saat ini, selain politik dan ekonomi, adalah teknologi informasi, yakni beberapa situs yang dianggap radikal diblokir oleh pemerintah. Situs-situs internet tersebut dianggap menebarkan paham-paham radikal yang berpotensi merusak tatanan keberagaman bangsa. Secara pribadi, saya tidak setuju dengan pemblokiran tersebut. Karena situs-situs tersebut berisikan ide-ide tentang keyakinan agama tertentu. Meskipun menebarkan radikalisme atau fundamentalisme agama tertentu, situs-situs tersebut hanyalah berisikan ide. Memang idenya bisa berbahaya, namun haruskah diblokir? Apakah penulis situs tersebut salah? Mungkin. Katanya bebas berpendapat. Namun, bagaimana dengan pembacanya? Apakah pembacanya seorang yang kritis atau mudah dipengaruhi?

Berhubungan dengan isu di atas yang disertai oleh reaksi pemerintah memblokir beberapa situs tersebut, apakah masyarakat kita merupkan pembaca yang kritis? Kalau saja kita memiliki kemampuan membaca dan memahami bacaan dengan kritis, maka tentu keberadaan situs-situs tersebut bukanlah ancaman. Reaksi pemerintah menunjukkan bahwa masyarakat kita tidak memiliki budaya literasi (baca-tulis) yang baik, sehingga mudah dipengaruhi. Masyarakat kita masih mempertahankan budaya lisan, bukan tulisan, sehingga tidak terbiasa dengan yang namanya berpikir kritis. Berikut ini adalah pembahasan tentang pentingnya keberaksaraan (literasi) dalam kehidupan sehari-hari, dan secara khusus di dunia pendidikan.


Keberaksaraan
Membaca adalah sebuah aktivitas menerima, menganalisis, dan menafsirkan sesuatu, misalnya buku atau bacaan. Menulis adalah  suatu kegiatan untuk menciptakan suatu catatan atau informasi pada suatu media dengan menggunakan aksara. Sedangkan keberaksaraan (literasi) adalah kemampuan membaca dan menulis. Mampu membaca artinya mampu memahami teks, sedangkan mampu menulis artinya mampu menghasilkan teks/tulisan.
Keberaksaraan (literasi) berhubungan dengan pendidikan karena melalui pendidikan seseorang mulai belajar membaca dan menulis. Pelajaran membaca lebih dari sekadar belajar melek huruf, namun memiliki kebiasaan kecakapan fungsional untuk memahami bacaan. Kecakapan dan kebiasaan membaca merupakan kunci utama pembuka ilmu pengetahuan. Sementara, kecakapan menulis merupakan bekal dasar bagi asah kemampuan logika, sistematika, meneliti, dan mencipta.
Dalam dunia pendidikan, keberaksaraan sangat penting. Kurikulum pendidikan seharusnya mewajibkan pelajaran mengarang (baca-tulis dalam arti luas dan bermakna, misalnya karya tulis ilmiah) mulai dari sekolah dasar hingga menengah, bahkan perguruan tinggi. Setidaknya ada lima hal yang patut dipertimbangkan mengapa kurikulum harus memberikan perhatian serius terhadap pelajaran baca-tulis.

Pertama, tradisi tulis merupakan sarana ketepatan. Tulisan dipandang sebagai instrumen ketepatan dan kekuatan. Sementara kebiasaan lisan merupakan kebiasaan sederhana, tidak bertata bahasa,  dan tidak patut. Di Indonesia, yang lebih menonjol adalah kebiasaan lisan. Coba perhatikan orang lebih suka menanyakan alamat kepada orang lain ketimbang membaca peta. Orang lebih suka nongkrong di warung-warung. Di kalangan pelajar, biasanya lebih suka nongkrong dan mengobrol ketimbang diskusi kelompok.
Mengapa tulisan lebih tepat? Karena saat kita menulis tentu kita akan mempertimbangkan banyak hal, terlebih lagi kalau tulisan ilmiah yang harus sesuai dengan sistematika. Karena kalau tidak, tulisan kita tidak akan dipercaya. Berbeda dengan kebiasaan lisan yang seringkali dipenuhi spekulasi, tergesa-gesa, dan tidak sistematis. Karena itu, mulai sekarang belajarlah menulis. Syaratnya adalah banyaklah membaca.

Kedua, keberaksaraan merupakan ukuran keberadaban. Tentu kita masih ingat pelajaran di sekolah tentang masa prasejarah dan sejarah. Yang membedakan prasejarah dengan sejarah adalah tulisan. Di masa prasejarah, manusia belum mengenal tulisan. Sejauh yang sangat ingat, bangsa Mesir telah mengenal tulisan sejak tahun 4000 sebelum masehi. Artinya bangsa Mesir saat itu sudah memasuki masa sejarah. Dan kita tahu bahwa salah satu peradaban tertua di dunia adalah peradaban Mesir.
Romawi kuno adalah contoh lain peradaban yang sudah maju. Lebih dari dua ribu tahun lalu, bangsa ini sudah mengenal tulisan. Salah satu penulis terkenal yang tulisannya sudah dipublikasikan kira-kira tahun 16 sebelum masehi adalah Ovid. Selain puisi-puisinya, Ovid sudah membahas mengenai aborsi kala itu. Misalnya, ia pernah menuliskan tentang aborsi dengan bahasa yang indah bahwa “macan betina yang mengendap-endap di Armenia dan singa betina tidak tega menghancurkan anaknya, sementara gadis-gadis yang lembut melakukannya…”
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal seharusnya merupakan lembaga yang menghasilkan generasi-generasi yang mengubah peradaban bangsa kita. Lulusan-lulusan sekolah tidak hanya menjadi pencari kerja, melainkan ikut memikirkan perkembangan bangsa ini. Lulusan-lulusan sekolah harus membawa perubahan. Pertanyaannya adalah apakah sekolah mampu menciptakan generasi yang bisa mengubah peradaban bangsa? Karena pada kenyataannya, hingga saat ini, dunia pendidikan gagal. Lihat saja di pinggir-pinggir jalan, pada jam belajar, masih terdapat beberapa pelajar yang merokok, liar, penampilan berantakan; apakah mereka ini yang mengubah peradaban bangsa ke arah yang lebih baik? Kemana gurunya dan kepala sekolahnya? Apa saja peranan pengawas sekolah sehingga banyak sekolah tidak beres? Dunia pendidikan kita memang sedang tidak beres saat ini. Jangankan menumbuhkan budaya baca, untuk mendisiplinkan siswa  pun gagal.

Ketiga, keberaksaraan merupakan organ kemajuan sosial. Gambaran nyata dari demokrasi modern di Barat terletak pada derajat literasinya yang tinggi. Dipercaya bahwa naiknya tingkat literasi suatu masyarakat mengarah pada munculnya institusi-institusi sosial yang rasional dan demokratis; juga pada perkembangan industrial dan pertumbuhan ekonomi. Dengan munculnya institusi-institusi sosial yang rasional dan demokratis akan mengurangi kelompok-kelompok radikal atau fundamental agama. Pemikiran-pemikiran sempit hanya bisa diberantas dengan budaya baca. Dalam hal ini, bacaan harus beragam, bukan hanya membaca yang mendukung pemikiran kita saja, tetapi juga membaca sumber lain sehingga wawasan bertambah dan cakrawala berpikir bertambah luas.
Harapan saya juga sama mengenai sekolah. Sekolah harus menjadi lembaga sosial yang rasional dan demokratis. Dimulai dengan membiasakan baca-tulis, mulai dari guru hingga murid, sehingga tercipta orang-orang yang mampu berpikir rasional dan mampu bersosialisasi secara demokratis. Sehingga ketika lulus dari sekolah, para murid tersebut siap menjadi warga negara yang baik, memiliki wawasan luas, dan mampu bersaing dengan bangsa lain.

Keempat, keberaksaraan merupakan instrumen budaya dan perkembangan saintifik. Maksudnya, tulisan dan literasi sebagian besar bertanggung jawab bagi kemunculan modus pemikiran modern yang khas, seperti filsafat, sains, keadilan, dan pengobatan. Sebaliknya, literasi merupakan musuh dari ketakhyulan, mitos, dan magis. Menurut Hegel (seorang filsuf), keagungan Yunani terutama bersandar pada literasi alfabet.
Peradaban yang diciptakan Yunani dan Romawi adalah yang pertama ada di muka bumi yang berdiri di atas aktivitas membaca masyarakat; pertama kali dilengkapi dengan sarana-sarana berekspresi yang memadai dalam dunia tulis; pertama kali mampu menempatkan dunia tulis dalam sirkulasi umum.
Di zaman yang sudah canggih ini pun, kalau kita amati, masyarakat kita masih banyak yang percaya pada mitos-mitos, takhyul, dan magis. Bagaimana kita bisa berkembang dan ikut dalam persaingan global bila masih berpandangan seperti itu? Bangsa lain sudah mengirimkan astronot-astronotnya ke luar angkasa, sementara masyarakat kita masih disibukkan dengan “gerhana matahari adalah pertanda buruk” atau “pohon tua yang ada penghuninya harus dihormati”.

Kelima, keberaksaraan sebagai instrumen dari perkembangan kognitif (pengetahuan). Salah satu budaya yang berkembang di masyarakat kita saat ini adalah merayakan kedangkalan. Kedalaman ilmu dan wawasan kemanusiaan dihindari. Maksudnya, masyarakat lebih menyukai kemudahan. Media sosial, televisi, dan internet digunakan untuk hal-hal yang menyenangkan saja, bukannya sebagai media untuk menambah pengetahuan.  Media sosial lebih banyak berisi hal-hal yang tidak penting dan tidak bermanfaat.
Dalam bidang pendidikan terjadi juga yang namanya budaya kedangkalan. Sekolah dijadikan jalan untuk mendapat pekerjaan. Lulusan-lulusan sekolah diarahkan untuk bekerja, apalagi dengan maraknya sekolah-sekolah kejuruan. Seharusnya sekolah lebih dari itu. Di sekolah, para murid tidak hanya memperoleh pengetahuan, tetapi juga mampu berpikir kritis, mampu mengembangkan pengetahuannya menjadi ilmu. Ilmu pengetahuan yang diperoleh bisa dijadikan sarana untuk menciptakan teknologi baru. Lulusan sekolah juga diharapkan ada yang jadi pemikir yang mampu memikirkan pemecahan masalah bangsa ini.
Untuk mengembangkan pengetahuan tersebut, satu-satunya cara adalah memiliki budaya literasi yang tinggi. Buku-buku sebagai sumber pengetahuan harus menjadi ‘santapan’ wajib bagi para murid. Kebiasaan membaca ini bisa didorong oleh keteladanan guru. Jadi, guru juga harus memiliki budaya literasi yang tinggi.

Kita harus memperjuangkan budaya baca-tulis dan itu dimulai dari diri kita. Pesan kepada para guru, jadilah teladan bagi para siswa dalam hal membaca. Sudah waktunya guru juga menulis dan mempublikasikan tulisannya di media masa, internet, atau blog pribadi. Media sosial seperti facebook juga bisa dijadikan sebagai media untuk mempublikasikan tulisan. Bahkan guru juga diharapkan meneliti dan hasil penelitiannya diketahui oleh orang lain, terkhusus para siswa. Kiranya sekolah bisa menjadi contoh budaya literasi yang tinggi di masyarakat. Semakin tinggi derajat literasi suatu bangsa, maka semakin berkembanglah bangsa tersebut. Kiranya ini menjadi motivasi bagi kita semua.

Sumber bacaan: Pendidikan untuk Transformasi Bangsa (Tim PGRI, 2014), wikipedia, dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar