Salah
satu isu penting di negara kita saat ini, selain politik dan ekonomi, adalah teknologi
informasi, yakni beberapa situs yang dianggap radikal diblokir oleh pemerintah.
Situs-situs internet tersebut dianggap menebarkan paham-paham radikal yang
berpotensi merusak tatanan keberagaman bangsa. Secara pribadi, saya tidak
setuju dengan pemblokiran tersebut. Karena situs-situs tersebut berisikan
ide-ide tentang keyakinan agama tertentu. Meskipun menebarkan radikalisme atau
fundamentalisme agama tertentu, situs-situs tersebut hanyalah berisikan ide.
Memang idenya bisa berbahaya, namun haruskah diblokir? Apakah penulis situs
tersebut salah? Mungkin. Katanya bebas berpendapat. Namun, bagaimana dengan
pembacanya? Apakah pembacanya seorang yang kritis atau mudah dipengaruhi?
Berhubungan
dengan isu di atas yang disertai oleh reaksi pemerintah memblokir beberapa
situs tersebut, apakah masyarakat kita merupkan pembaca yang kritis? Kalau saja
kita memiliki kemampuan membaca dan memahami bacaan dengan kritis, maka tentu
keberadaan situs-situs tersebut bukanlah ancaman. Reaksi pemerintah menunjukkan
bahwa masyarakat kita tidak memiliki budaya literasi (baca-tulis) yang baik,
sehingga mudah dipengaruhi. Masyarakat kita masih mempertahankan budaya lisan,
bukan tulisan, sehingga tidak terbiasa dengan yang namanya berpikir kritis.
Berikut ini adalah pembahasan tentang pentingnya keberaksaraan (literasi) dalam
kehidupan sehari-hari, dan secara khusus di dunia pendidikan.
Keberaksaraan
Membaca
adalah sebuah aktivitas menerima, menganalisis, dan menafsirkan sesuatu,
misalnya buku atau bacaan. Menulis adalah suatu
kegiatan untuk menciptakan suatu catatan atau informasi pada suatu media dengan menggunakan aksara. Sedangkan keberaksaraan (literasi) adalah kemampuan membaca
dan menulis. Mampu membaca artinya mampu memahami teks, sedangkan mampu menulis
artinya mampu menghasilkan teks/tulisan.
Keberaksaraan (literasi) berhubungan dengan pendidikan karena
melalui pendidikan seseorang mulai belajar membaca dan menulis. Pelajaran
membaca lebih dari sekadar belajar melek huruf, namun memiliki kebiasaan
kecakapan fungsional untuk memahami bacaan. Kecakapan dan kebiasaan membaca
merupakan kunci utama pembuka ilmu pengetahuan. Sementara, kecakapan menulis
merupakan bekal dasar bagi asah kemampuan logika, sistematika, meneliti, dan
mencipta.
Dalam
dunia pendidikan, keberaksaraan sangat penting. Kurikulum pendidikan seharusnya
mewajibkan pelajaran mengarang (baca-tulis dalam arti luas dan bermakna,
misalnya karya tulis ilmiah) mulai dari sekolah dasar hingga menengah, bahkan
perguruan tinggi. Setidaknya ada lima hal yang patut dipertimbangkan mengapa
kurikulum harus memberikan perhatian serius terhadap pelajaran baca-tulis.
Pertama, tradisi tulis merupakan sarana
ketepatan. Tulisan dipandang sebagai instrumen ketepatan dan kekuatan.
Sementara kebiasaan lisan merupakan kebiasaan sederhana, tidak bertata
bahasa, dan tidak patut. Di Indonesia,
yang lebih menonjol adalah kebiasaan lisan. Coba perhatikan orang lebih suka
menanyakan alamat kepada orang lain ketimbang membaca peta. Orang lebih suka
nongkrong di warung-warung. Di kalangan pelajar, biasanya lebih suka nongkrong
dan mengobrol ketimbang diskusi kelompok.
Mengapa
tulisan lebih tepat? Karena saat kita menulis tentu kita akan mempertimbangkan
banyak hal, terlebih lagi kalau tulisan ilmiah yang harus sesuai dengan
sistematika. Karena kalau tidak, tulisan kita tidak akan dipercaya. Berbeda
dengan kebiasaan lisan yang seringkali dipenuhi spekulasi, tergesa-gesa, dan
tidak sistematis. Karena itu, mulai sekarang belajarlah menulis. Syaratnya
adalah banyaklah membaca.
Kedua, keberaksaraan merupakan ukuran keberadaban. Tentu kita
masih ingat pelajaran di sekolah tentang masa prasejarah dan sejarah. Yang
membedakan prasejarah dengan sejarah adalah tulisan. Di masa prasejarah, manusia
belum mengenal tulisan. Sejauh yang sangat ingat, bangsa Mesir telah mengenal
tulisan sejak tahun 4000 sebelum masehi. Artinya bangsa Mesir saat itu sudah memasuki
masa sejarah. Dan kita tahu bahwa salah satu peradaban tertua di dunia adalah
peradaban Mesir.
Romawi
kuno adalah contoh lain peradaban yang sudah maju. Lebih dari dua ribu tahun
lalu, bangsa ini sudah mengenal tulisan. Salah satu penulis terkenal yang
tulisannya sudah dipublikasikan kira-kira tahun 16 sebelum masehi adalah Ovid.
Selain puisi-puisinya, Ovid sudah membahas mengenai aborsi kala itu. Misalnya,
ia pernah menuliskan tentang aborsi dengan bahasa yang indah bahwa “macan
betina yang mengendap-endap di Armenia dan singa betina tidak tega
menghancurkan anaknya, sementara gadis-gadis yang lembut melakukannya…”
Sekolah
sebagai lembaga pendidikan formal seharusnya merupakan lembaga yang
menghasilkan generasi-generasi yang mengubah peradaban bangsa kita.
Lulusan-lulusan sekolah tidak hanya menjadi pencari kerja, melainkan ikut
memikirkan perkembangan bangsa ini. Lulusan-lulusan sekolah harus membawa
perubahan. Pertanyaannya adalah apakah sekolah mampu menciptakan generasi yang
bisa mengubah peradaban bangsa? Karena pada kenyataannya, hingga saat ini,
dunia pendidikan gagal. Lihat saja di pinggir-pinggir jalan, pada jam belajar,
masih terdapat beberapa pelajar yang merokok, liar, penampilan berantakan;
apakah mereka ini yang mengubah peradaban bangsa ke arah yang lebih baik?
Kemana gurunya dan kepala sekolahnya? Apa saja peranan pengawas sekolah
sehingga banyak sekolah tidak beres? Dunia pendidikan kita memang sedang tidak
beres saat ini. Jangankan menumbuhkan budaya baca, untuk mendisiplinkan
siswa pun gagal.
Ketiga, keberaksaraan merupakan organ
kemajuan sosial. Gambaran nyata dari demokrasi modern di Barat terletak pada
derajat literasinya yang tinggi. Dipercaya bahwa naiknya tingkat literasi suatu
masyarakat mengarah pada munculnya institusi-institusi sosial yang rasional dan
demokratis; juga pada perkembangan industrial dan pertumbuhan ekonomi. Dengan
munculnya institusi-institusi sosial yang rasional dan demokratis akan
mengurangi kelompok-kelompok radikal atau fundamental agama.
Pemikiran-pemikiran sempit hanya bisa diberantas dengan budaya baca. Dalam hal
ini, bacaan harus beragam, bukan hanya membaca yang mendukung pemikiran kita
saja, tetapi juga membaca sumber lain sehingga wawasan bertambah dan cakrawala
berpikir bertambah luas.
Harapan
saya juga sama mengenai sekolah. Sekolah harus menjadi lembaga sosial yang
rasional dan demokratis. Dimulai dengan membiasakan baca-tulis, mulai dari guru
hingga murid, sehingga tercipta orang-orang yang mampu berpikir rasional dan
mampu bersosialisasi secara demokratis. Sehingga ketika lulus dari sekolah,
para murid tersebut siap menjadi warga negara yang baik, memiliki wawasan luas,
dan mampu bersaing dengan bangsa lain.
Keempat, keberaksaraan merupakan instrumen
budaya dan perkembangan saintifik. Maksudnya, tulisan dan literasi sebagian
besar bertanggung jawab bagi kemunculan modus pemikiran modern yang khas,
seperti filsafat, sains, keadilan, dan pengobatan. Sebaliknya, literasi
merupakan musuh dari ketakhyulan, mitos, dan magis. Menurut Hegel (seorang
filsuf), keagungan Yunani terutama bersandar pada literasi alfabet.
Peradaban
yang diciptakan Yunani dan Romawi adalah yang pertama ada di muka bumi yang
berdiri di atas aktivitas membaca masyarakat; pertama kali dilengkapi dengan
sarana-sarana berekspresi yang memadai dalam dunia tulis; pertama kali mampu
menempatkan dunia tulis dalam sirkulasi umum.
Di
zaman yang sudah canggih ini pun, kalau kita amati, masyarakat kita masih
banyak yang percaya pada mitos-mitos, takhyul, dan magis. Bagaimana kita bisa
berkembang dan ikut dalam persaingan global bila masih berpandangan seperti
itu? Bangsa lain sudah mengirimkan astronot-astronotnya ke luar angkasa,
sementara masyarakat kita masih disibukkan dengan “gerhana matahari adalah
pertanda buruk” atau “pohon tua yang ada penghuninya harus dihormati”.
Kelima, keberaksaraan sebagai instrumen dari
perkembangan kognitif (pengetahuan). Salah satu budaya yang berkembang di
masyarakat kita saat ini adalah merayakan kedangkalan. Kedalaman ilmu dan
wawasan kemanusiaan dihindari. Maksudnya, masyarakat lebih menyukai kemudahan.
Media sosial, televisi, dan internet digunakan untuk hal-hal yang menyenangkan
saja, bukannya sebagai media untuk menambah pengetahuan. Media sosial lebih banyak berisi hal-hal yang
tidak penting dan tidak bermanfaat.
Dalam
bidang pendidikan terjadi juga yang namanya budaya kedangkalan. Sekolah
dijadikan jalan untuk mendapat pekerjaan. Lulusan-lulusan sekolah diarahkan
untuk bekerja, apalagi dengan maraknya sekolah-sekolah kejuruan. Seharusnya
sekolah lebih dari itu. Di sekolah, para murid tidak hanya memperoleh
pengetahuan, tetapi juga mampu berpikir kritis, mampu mengembangkan
pengetahuannya menjadi ilmu. Ilmu pengetahuan yang diperoleh bisa dijadikan
sarana untuk menciptakan teknologi baru. Lulusan sekolah juga diharapkan ada
yang jadi pemikir yang mampu memikirkan pemecahan masalah bangsa ini.
Untuk
mengembangkan pengetahuan tersebut, satu-satunya cara adalah memiliki budaya
literasi yang tinggi. Buku-buku sebagai sumber pengetahuan harus menjadi
‘santapan’ wajib bagi para murid. Kebiasaan membaca ini bisa didorong oleh
keteladanan guru. Jadi, guru juga harus memiliki budaya literasi yang tinggi.
Sumber bacaan: Pendidikan untuk Transformasi Bangsa (Tim PGRI, 2014), wikipedia, dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar