Pernah
aku berpikir bahwa aku lebih baik hidup tanpa cinta -tanpa mencintai seseorang.
Hidup tanpa cinta
sepertinya lebih bebas. Bebas melakukan apa saja tanpa ada yang melarang. Ya,
begitulah pikiran-pikaran liarku tentang cinta. Hingga suatu sore menjelang
malam, hujan turun. Hujan begitu derasnya meluruhkan pikiranku. Hujan
mengingatkanku tentangmu. Tentang meja dan dua bangku di sisinya yang kita
duduki kala itu.
Dari
balik jendela kamarku, aku memandang
keluar. Garis-garis hujan menghiasi pandangan. Bagian luar kaca jendelaku basah
oleh titik-titik hujan yang terbawa angin. Tidak ada satu orang pun kulihat
melintas di luar. Hari sudah gelap.
***
Sore
itu, di sebuah kantin, kita berteduh. Hujan sangat deras. Angin bertiup
kencang. Seringkali angin membawa
butiran-butiran hujan menyapu wajah kita dan beberapa orang yang juga
berada di kantin itu. Mulanya kita hanya
duduk sebentar di situ sambil istirahat setelah sejak siang kita belajar. Dan hujan pun turun sebelum kita pulang.
Barangkali hujan sore itu seperti hujan pada zaman nabi Nuh. Sangat deras. Air
menggenang di mana-mana. Kecokelatan. Saat itu, setengah hatiku ingin hujan
segera reda. Setengahnya lagi aku ingin bersamamu lebih lama dan berharap hujan
masih bertahan. Tapi hujan tidak berpihak padaku. Hujan mengabaikan suara
hatiku.
***
Di
lain waktu, kita berdua pernah ke toko buku. Kita lewati rak-rak raksasa berisi
ratusan buku. Membaca beberapa buku. Saling menujukkan kalimat-kalimat indah
yang kita dapati dari buku. Aku mengenang momen itu. Saat kita pulang, ternyata
di luar hujan. Deras. Lagi-lagi hujan. Kita memilih berteduh di beranda. Duduk
sambil menunggu hujan reda.
***
Dari
balik jendela kamarku aku memandang keluar. Garis -garis hujan menghiasi
pandangan. Hujan menurunkan kenangan-kenangan lain tentangmu. Hujan yang turun
malam ini, bagiku bukan hujan biasa. Memang hidup lebih baik jika ada cinta.
Hujan
malam itu reda di larut malam. Dan aku, larut dalam lamunanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar